Monday, 14 December 2015

12 Peristiwa Penting Nagari Suliek Ayie ( Bag-III )

7. 24 APRIL 1957, (Musyawarah Akbar Nagari)

Adalah tanggal dibukanya Konperensi Negeri Tradisionil V di Sulit Air yang diselenggarakan oleh “Pusat Organisasi Warganegeri Sulit Air (POWSA) yang berlangsung sampai tanggal 8 Mei 1957. Dimulai tgl 24 Ramadhan 1376 dan baru berakhir pada tgl 4 Syawal 1376. Konperensi tsb dihadiri oleh tokoh- tokoh Sulit Air masa itu dan ikut memberikan buah pikiran sesuai dengan bidangnya masing-masing, yakni HZA Ahmad (Pertambangan di Sulit Air); Ramawi Izhar, cucu Ongku Palo Gaek, Komisaris Dewan Banteng (Mambangkik Batang Tarandam, Menilai Harta Terpendam); Rasyidin Rasyad Ms (Meninjau Sulit Air Masa Kini dan Masa Datang); IAL Dt. Nan Sati (Badan Pembangunan Negeri Sulit Air); Mawardy Djalins (Neraca Pelajar Sulit Air Tahun 1957); Djamaluddin Tambam (Tinjauan Kemakmuran Sulit Air di Masa Datang); Kahar Thaher (Koperasi Pertanian Cengkeh); M. Salim Amany (Pendidikan Agama di Sulit Air), Adat, pendidikan & beasiswa, AD/ART POWSA, diakhiri Shalat Idul Fitri, pertandingan sepakbola di Lapangan Koto Tuo, Malam Gembira dan Resepsi Halal bi Halal bi Halal. 

Dalam suratkabat Haluan, Padang, tgl 9/5/1957, saya baca berita berjudul “Sulit Air Bentuk Yayasan Pencinta Negara, Perluas Pintu Perkawinan Dengan Menambah Suku”. Diberitakan, dalam konperensi yang dihadiri Bupati Solok Nurdin Dt. Majo Sati itu, diputuskan untuk mencari kemungkinan pembukaan tambang Timbulun diserahkan kepada Yayasan Pencinta Negara yang diketuai HZA Ahmad, memperluas pintu perkawinan dengan menambah jumlah suku di Sulit Air menjadi 15 suku, yang diharapkan segera dapat diputuskan oleh Kerapatan Adat Sulit Air. Dibentuk “Pusat Organisasi Sulit Air” (POWSA) di Jakarta dg Ketum HZA Ahmad, Ketua I M. Jusuf Ahmad, Ketua II Wali Nagari Salim Thaib, Panitera I AA Dt. Pamuncak, Panitera II A. Dt. Sutan Malano, Bendahara I Djamaluddin Tambam dan Bendahara II Darusalam Dt. Samarajo. Pembantu Umum Dali Mutiara dan Nurdin Dt. Majo Sati dan 5 orang penasehat (Mr. Dt. Jamin, Adinegoro, Riva’i Yunus, Camat X Koto Diatas dan Rohana Djamil). 

Program pembangunan ekonomi rakyat akan diserahkan kepada suatu Panitia Khusus. Rohana Djamil ZA Ahmad dalam tulisannya berjudul “Pembangunan Negeri Yang Sambung Bersambung” mengatakan:
“Konperensi Tradisional V telah menelorkan suatu hasil yang besar, ialah berdirinya suatu organisasi yang besar, yang meliputi seluruh warga negeri , baik yang di rantau maupun yang dikampung. Organisasi itu bernama POWSA, singkatan Persatuan Organisasi2 dan Warga Negeri Sulit Air. Konperensi ini telah mengambil langkah2 penting di dalam segala kebutuhan hidup dan penghidupan, meliputi 7 bidang, yakni Pemerintahan, Pembangunan, Ekonomi, Pendidikan dan Agama, Adat, Sosial dan Keamanan dan Umum”. 

Selanjutnya disebutkan rincian ketujuh bidang tsb. Kita patut mencatat konperensi ini sebagai salahsatu peristiwa penting dan besar dalam Sejarah Sulit Air. Inilah buat pertama kalinya masyarakat Sulit Air mengadakan suatu pertemuan besar yang disebut konperensi, dengan susunan acara, tempat, waktu dan pembicara yang demikian tertib dan teratur, bagai layaknya organisasi modern. Hebatnya lagi, kebanyakan pembicara telah menyerahkan bahan2 tertulis hingga semua terdokumentir dengan baik dan dibukukan dengan cetakan yang bagus. Dalam buku itu terdapat berbagai iklan perusahaan-perusahaan warga Sulit Air dan Ucapan Selamat Idul Fitri dari berbagai perusahaan milik warga Sulit Air pada masa itu. 

Saya pandang buku ini mencatat suatu peristiwa yang bernilai historis. Yang mungkin tidak terkalahkan oleh organisasi manapun pada masa sekarang ini, konperensi itu berlangsung selama 8 hari, siang dari pukul 09.30 s/d 14.00 dan malam pukul 21,00 s/d 24.00 (sesudah shalat Tarawih), maklum diadakan dalam suasana puasa dan lebaran. Konperensi tsb disebut sebagai yang ke-5, karena konperensi-konperensi sebelumnya, yakni yang ke- 1 s/d ke-4, yang berlangsung sejak tahun 1935 (kecuali Masa Jepang dan Revolusi Fisik), hanya berupa rapat-rapat biasa atau musyawarah-ceramah dagang, yang dikoordinir oleh Alwin Dt. Sutan Malano bersama Wali Nagari Sulit Air, pada setiap bulan puasa, belum tertib dan belum terorganisir secara baik. Maka penyelenggaraan konperensi tsb merupakan lompatan kemajuan dan salahsatu tonggak perjalanan sejarah Sulit Air yang perlu diketahui dan diwarisi semangatnya oleh generasi muda Sulit Air.

8. 17 Agustus 1971, (Menjadi Nagari Terbaik).

Atraksi Seni dalam acara pembukaan MTQ se-Kab Solok di Lap Koto Tuo
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud menetapkan Sulit Air sebagai desa terbaik Sumatera Barat 1971, baik untuk tingkat Kabupaten Solok maupun untuk tingkat Provinsi Sumatera Barat. Ada 620 desa di Sumatera Barat yang diperlombakan, meliputi rencana dan pelaksanaan proyek pembangunan, jalannya pemerintahan, administrasi, kesehatan, pertanian, agama, pendidikan, keamanan dan lain-lain. Sebagai juara pertama, pemerintah memberi hadiah sebesar Rp 590.000,- kepada Sulit Air . Uang sebesar itu oleh Wali Nagari Nasrullah Salim Dt. Polong Kayo SH dengan persetujuan DPRN Sulit Air digunakan untuk pembuatan irigasi Rambun Gando (Rp 100.000,-), penyelesaian Kantor Wali Nagari Sulit Air (Rp 190.000,-) dan pembuatan jalan Sulit Air – Talawi (Rp 300.000,-).

Tanggal 17 Agustus 1971 ini pun layak kita catat sebagai salahsatu tonggak penting dalan sejarah Sulit Air. Solok dan Payakumbuh merujuk hari jadinya dari tanggal dan tahun SK Mendagri Amir Machmud yang meningkatkan status kedua kota itu menjadi kotamadya. Maka Sulit Air pun dapat menjadikan tanggal dan tahun SK Mendagri Amir Machmud yang menetapkan Sulit Air sebagai desa terbaik di Sumatera Barat yakni tanggal 17 Agustus 1971 sebagai Hari Jadi Sulit Air, jika kita mau. Tujuannya untuk membangkitkan semangat juang anak nagari dengan mengabadikan suatu kenangan atas prestasi yang pernah dicapai untuk dapat terjadi lagi, yakni sebagai nagari terbaik di Sumatera Barat.

9. 7 Desember 1972, (SAS & KAN Polemik Pernikahan Satu Suku)
Musyawarah para Datuk-Datuk melengkapi peradaban Nagari
Adalah tanggal ditetapkannya Keputusan “Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sulit Air” tentang Perluasan Pintu Perkawinan bagi Warga Sulit Air. Keputusan tsb diambil sebagai jawaban KAN Sulit Air atas prasaran “Perbanyakan Suku, Suatu Partisipasi Adat Dalam Pembinaan Orde Pembangunan di Sulit Air”, yang disampaikan oleh Team Ketua DPP SAS (Rozali Usman, Kaharuddin Saleh Bujang Sati, H. Ny. Rosma Rais dan H. Djamaluddin Tambam) yang disampaikan dalam Sidang Istimewa KAN Sulit Air tanggal 7 September 1072. Dalam sidang istimewa tsb, DPP SAS pada pokoknya minta kepada KAN Sulit Air, agar 4 suku di Sulit Air (Limo Panjang, Limo Singkek, Simabur dan Piliang) diperluas (dimekarkan) menjadi 15 suku, sesuai dengan jumlah datuk (penghulu) nyinyiek di Sulit Air. 

Alasan permintaan tsb banyak sekali. Namun yang terpenting adalah dengan diperbanyaknya suku, maka pernikahan antara sesama warga Sulit Air akan semakin terbuka luas, disebabkan banyaknya pilihan jodoh. Dari 3 anggota suku yang dapat dikawini menjadi 14 anggota suku (yakni orang-orang di luar suku sendiri). KAN diberi waktu 3 bulan untuk membahas dan memutuskan permintaan DPP SAS itu. Dalam waktu selama 3 bulan itu, timbullah kehebohan dan kegaduhan yang luar biasa dalam masyarakat Sulit Air. Ini tergambar dari pemberitaan Suara SAS No. 04/1972 antara lain sebagai berikut: “Di berbagai tempat perdebatan tsb telah berlangsung sedemikian rupa, hingga dapat menimbulkan terundangnya ketegangan2 dan ucapan2 yang bersifat negatif, perkataan2 yang berbau fitnah serta isyu2 yang tidak sedap. Lebih2 di Sulit Air sendiri , suhu perdebatan telah berada pada tingkat yang demikian panas. 

Dari kalangan mereka yang beroposisi dengan DPP SAS telah dimuntahkan ucapan2 yang ‘over emotional’ bahwa bila suku diperbanyak akan berhenti menjadi penghulu, akan merombak rumahgadang, bahkan ada yang akan membakarnya, malah ada yang akan bergantung di Pangka Titi. Sebaliknya dari kalangan yang membela prasaran DPP SAS, hampir pula ada yang akan melakukan penempelengan dan pengejaran terhadap oknum2 yang sudah terlalu ‘over acting’ dalam mencuci maki prasaran”. Dalam suasana perbedaan pendapat pro-kontra yang demikian tajam dan perdebatan yang demikian lama serta berlarut-larut memakan waktu 3 bulan, akhirnya dapat dipahami lahirnya Keputusan 7 Desember 1972 yang kompromistis namun aneh dan membingungkan. Butir ke-2 keputusan tsb menyebutkan : membolehkan/membenarkan perkawinan antara warga Sulit Air yang berlainan Datuk Ninik dalam persukuannya secara adat di perantauan dan tidak akan dituntut secara adat. 

Keputusan tsb ditetapkan oleh 17 anggota perumus atas penunjukan KAN, yakni AB Dt. Bagindo Rajo, NS Dt. Polong Kayo, MY Dt. Endah Bongsu, R. Dt. Tan Aceh, R, Dt. Rajo Putih, Sy. Dt. Rajo Alam, Is. Dt. Malakomo, H. Dt. Majo Bosa, Y. Dt. Permato Kayo, Y. Dt. Perhimpunan, Z. Dt. Paduko Rajo Lelo, K. Malin Marajo, Darwis Damin, M. Tamim, Zainuddin Rasyad, Tamim Pakih Mudo, dan Nadirsyah. Keputusan ini oleh sebagian masyarakat dirasakan aneh, diskriminatif dan tidak adil, karena Kerapatan Adat Nagari memperbolehkan warganya kawin dengan orang yang satu suku dengan ybs tapi hanya bagi warga perantauan.

Walau dengan embel-embel berlainan datuk ninik, tetap saja disebut kawin se-suku, yang bertentangan dengan pilar utama adat Minangkabau. Dalam adat Minang, kawin harus ke luar suku (exogami), tidak boleh dengan orang-orang yang satu suku (endogami). Kalau penduduk suatu negeri sudah semakin banyak, maka adat memperbolehkan suku itu ditambah atau dimekarkan, sesuai dengan musyawarah dan hasil kesepakatan para penghulu di dalam kerapatan adat. Banyak negeri di luar Sulit Air, yang jauh lebih kecil penduduknya dibandingkan Sulit Air, yang pada masa itu mempunyai lebih dari 4 suku, seperti Cupak, Pianggu dan Koto Hilalang (5 suku); Singkarak, Enam Suku dan Tarung-tarung (6 suku); Selayo (7 suku) dan seterusnya. Mengingat demikian banyaknya penduduk Sulit Air, maka wajar sekali bila Sulit Air memiliki 15 suku. Apalagi menurut tambo, Sulit Air itu dulu memang pernah memiliki 15 suku, sesuai dengan jumlah 15 kelompok orang satu Datuk Ninik yang terdapat dalam masyarakat Sulit Air, sampai sekarang.

Mengapa bukan solusi 15 suku itu yang diambil? Bukankah hal itu sudah diputuskan dalam Konperensi Tradisionil V Tahun 1957, seperti dapat dibaca dan dijadikan kepala berita oleh suratkabar HaLuan, Padang, tanggal 9 Mei 1957, seperti telah diungkap pada butir 4 di atas? Bahkan sepanjang penelusuran saya, keinginan seperti itu sudah pernah dikemukakan oleh ahli adat Jausa Dt. Majo Bongsu pada rapat-rapat tradisionil bulan puasa di tahun 1935 di Sulit Air, yang kemudian dipopulerkan sebagai Konperensi Tradisionil Sulit Air ke- I. Dengan adanya Keputusan KAN 7 Desember 1972, maka sejarah berjalan mundur, pola 4 suku tetap dipertahankan, hanya diperbolehkan perkawinan antara orang-orang yang berlainan datuk ninik walau satu suku, tapi harus dilaksanakan di perantauan. 

Apa sebab DPP SAS dengan berat hati menerima juga keputusan itu, bahkan merayakannya secara besar-besaran dengan memotong sapi, pesta anak nagari menyantap gulai jawi di Balairungsari dan Medan Nan Bapaneh Balai Lamo? Karena ada dua butir keputusan tsb yang memberi peluang perbanyakan suku tsb akan dapat diwujudkan juga nanti: Pertama, pada konsiderans Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb ada disebutkan bahwa untuk membuat suku baru diperlukan alat perlengkapan suatu suku (seperti urang nan 4 jinih) yang memerlukan persyaratan adat tertentu, waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Dan pada butir ke- 2 disebutkan bahwa belum sependapat dengan perbanyakan suku atau penambahan suku sebagai usaha perluasan pintu perkawinan secara adat. Dan pada butir ke- 3 ditegaskan bahwa warga Sulit Air yang tinggal di kampung (Sulit Air) bila menghendaki pula perkawinan serupa itu, akan dibicarakan lebih mendalam dalam Kerapatan Adat Negeri Sulit Air. 
SAS dalam perjalanan waktu memeberikan pembangunan yang nyata untuk nagari
Maka DPP SAS mencoba menghibur diri dengan menyebut Keputusan KAN 7 Desember 1972 yang telah banyak menguras pikiran, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar ( 3 bulan masa persidangan) sebagai suatu lompatan yang amat penting dalam sejarah Sulit Air. Suatu masa transisi dari pola 4 suku menjadi pola 15 suku. Hingga perlu berjuang terus sampai pola 15 suku tsb dapat segera terwujud dalam masyarakat adat Sulit Air. Terutama dengan maksud mulia untuk memperluas pintu perkawinan bagi putera-puteri Sulit Air. Namun kenyataan tidak seindah impian dan harapan. Sejarah Sulit Air kemudian berbicara lain. Walau pengurus KAN Sulit Air, demikian juga DPP SAS, sudah silih berganti naik ke panggung Sejarah Sulit Air, pola 4 suku tetap berlaku dan pola 15 suku tak pernah terwujud sampai sekarang. 

Tak pernah pula kita dengar, orang melaksanakan pernikahan antar datuk ninik sepersukuan di perantauan dengan merujuk atau memanfaatkan Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb secara formal. Sebabnya, orang merasa perkawinan dengan cara demikian itu masih tetap disebut orang sebagai kawin sesuku, karena sukunya sama. Yang sering terjadi, keinginan orangtua untuk mengawinkan putera-puterinya dengan sesama warga Sulit Air terpaksa tidak dapat diteruskan, karena keduanya berasal dari suku yang sama. Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb sering pula disebut orang sebagai keputusan yang banci, karena kalau dilaksanakan, pelakunya bila lelaki akan menjadi ninik-mamak, namun sekaligus juga menjadi urang sumando di dalam persukuannya, yang bisa jadi olok-olok dalam masyarakat Sulit Air. Kecuali bisa sukunya sudah dimekarkan dan dibuat suku-suku baru berdasarkan keputusan KAN, ini dapat dibenarkan oleh adat Minang, maka tidak dapat lagi disebut kawin sesuku. 

Keputusan 7 Desember 1972, yang menyebutkan belum sependapat dengan perbanyakan suku karena hal tsb memerlukan persyaratan tertentu, waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Artinya, KAN Sulit Air bukan tidak setuju dengan perbanyakan suku, tapi belum waktunya! Adalah menarik untuk mengetahui apa yang terjadi di Sulit Air dua tahun setelah Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb dikeluarkan. Warta berita yang ditulis oleh wali nagari Sulit Air sendiri di dalam majalah “Suara SAS” no.2 Tahun 1975, halaman 19-20, bercerita sebagai berikut: “ Sejak tahun 1974 sampai kini (1975) tercatat perbuatan maksiat (zina) sebanyak 8 kali. Perbuatan ini dilakukan antara mamak dengan kemenakan, mertua dengan menantu, orang-orang satu persukuan, adik dengan ipar, dan lain-lain. Semua pelakunya, begitu diketahui umum, pergi beterbangan menuju perantauan, hingga sangat menyulitkan di dalam penyelesaiannya. Sejauh penelitian yang diadakan, sebab-sebab terjadinya perbuatan terkutuk itu, tidak ada sangkut-pautnya dengan tekanan ekonomi seperti halnya di kota-kota. Tapi lebih banyak karena dorongan kebutuhan sexual (kebutuhan alamiah) yang tidak dapat mereka kekang. Hampir pada setiap kesempatan, Pemerintahan Nagari telah berulang kali meminta perhatian bersama akan banyaknya ‘janda balaki’ (isteri-isteri yang ditinggalkan suaminya pergi merantau bertahun-tahun) di Sulit Air, begitu juga gadis-gadis berumur yang sudah waktunya untuk kawin”. 

Karena dalam berita itu jelas disebut bahwa pelaku perbuatan-perbuatan maksiat (zina) tsb adalah mamak dengan kemenakan, orang-orang sepersukuan, di samping adik dengan ipar, maka penyelesaiannya menjadi amat sulit , bila sebagai solusinya mereka harus dinikahkan. Bagaimana akan menikahkannya, keduanya sesuku, yang terlarang sekali menurut adat, apalagi ini terjadi di Sulit Air. Maka sesuai dengan butir ke-3 Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb, KAN Sulit Air seharusnya segera mengadakan Sidang Istimewa untuk meninjaklanjuti keputusan tsb. Solusi yang paling tepat untuk berbagai kasus maksiat tsb, tiada jalan lain kecuali perbanyakan suku, sesuai dengan prasaran DPP SAS tsb. Namun hal yang ditunggu-tunggu tsb tidak kunjung dan tidak pernah terjadi. 

Sekarang sudah tahun 2015, berarti sejak tahun 1972, sudah 43 tahun! Bila dihitung sejak tahun 1935, sejak pertama kali gagasan itu dicetuskan oleh ahli adat Jausa Dt. Majo Bongsu, berarti sudah 80 tahun! Masih kurang jugakah kasus-kasus maksiat dan waktu untuk menyatakan SUDAH sependapat dengan perbanyakan suku, syarat-syarat apa lagi yang diperlukan? Keadaan masyarakat Sulit Air sekarang sudah seperti tahun 1970-an tsb. Lihat saja facebook di internet pada komputer kita masing-masing, ramai dan heboh anak-anak muda kita warga Sulit Air membicarakan kasus-kasus maksiat dan perihal kawin sesuku tsb. Banyak di antara mereka yang tidak memahami akar permasalahan sesungguhnya, hingga debat berubah menjadi pro adat dan pro syari’at Islam. Dua hal yang sebenarnya tidak perlu dipertentangkan, bila mereka memahami akar dan pokok permasalahan sebenarnya! 

Maka bagi saya Keputusan KAN 7 Desember 1972 ini menjadi salahsatu peristiwa penting dan menghebohkan dalam sejarah Sulit Air yang tidak kunjung juga mendapat solusi dari KAN Sulit Air sampai sekarang. Dia telah menjadi hutang dan beban sejarah bagi KAN Sulit Air secara kelembagaan untuk menuntaskannya. Keputusan KAN tentang dibenarkannya perkawinan antara orang berbeda datuk ninik di dalam persukuannya, tidak satu kali pun terjadi, setidaknya secara formal keadatan sampai sekarang. Artinya keputusan itu tak ada gunanya, telah gagal dalam pelaksanaannya! Risikonya, keputusan tsb sesuai dengan salahsatu bunyi fasalnya, harus ditindaklanjuti atau disempurnakan dengan keputusan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masa sekarang. Apalagi pada masa-masa sesudah keluarnya keputusan tsb, seperti diungkapkan di atas, semakin banyak terjadi kasus kemaksiatan. Semakin kerap kedengaran orang melakukan perkawinan sesuku, tanpa sanksi apapun dari KAN Sulit Air dan masalah kawin sesuku kembali marak dibicarakan oleh generasi muda Sulit Air sekarang. 
Masjid Raya bukti fisik sumbangsih perantau untuk nagari
Selain prasaran, program pembangunan Rumah Sakit Balik Parit dengan sponsor Jamaluddin Tambam pada tahun 1975, pembangunan kembali Mesjid Raya Sulit Air dengan sponsor Yayasan Rozali Usman-Rais Taim (RORA), yang diresmikan oleh Gubernur Sumbar Prof. Drs. Harun Zein pada tgl 26 Februari 1976 (dan beliau nyatakan sebagai mesjid termodern di Sumatra Barat), dan pembangunan lain-lain adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan prasaran perbanyakan suku itu. DPP SAS masa itu menjadikan Persatuan, Pembaharuan, dan Pembangunan sebagai Trilogi Perjuangan-nya. Pembangunan tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik tanpa Pembaharuan dalam arti menyeluruh. Pembaharuan tidak pula dapat diwujudkan dengan baik tanpa Persatuan segenap potensi masyarakat Sulit Air. Maka tgl 7 September 1972 dan berpuncak pada tgl 7 September 1972, patut ditulis sebagai peristiwa penting dalam sejarah Sulit Air dimana DPP SAS mencoba mewujudkan “Trilogi Perjuanghan SAS” tsb. 

(Bersambung)
Sumber: Drs. Hamdullah Salim

--- Sekian ---

No comments:

Post a Comment