Sunday 31 July 2016

SAS sudah berusia 104 tahun (kisah keempat)

SAS baru baru ini, memaklumatkan hari jadi nagari bersama seluruh tigo tungku sajarangan
PENYUSUNAN AD-ART SAS
1. Dalam serial yg lalu disebutkan diatas dan berdasarkan penelusuran saya pada tahun 1970 ada 15 kota perantauan Sulit Air yang sudah punya perkumpulan bernama SAS. Ke-15 kota perantauan itu adalah: Padang, Pekan Baru, Medan, Tembilahan, Rengat, Teluk Kuantan, Jambi, Palembang, Betung, Palembang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Teluk Betung dan Jakarta. Tapi saya kemudian ingat bahwa Batu Raja dan Muara Dua pada tahun 1970 tsb juga sudah punya SAS. Justru pada tahun 1969 saya selaku Ketua “Corps Da’wah Wisma Gunung Merah” Yogyakarta membawa Ustadz Drs. Sulaiman Mahmud berda’wah ke kedua kota tsb atas petunjuk yang diberikan JA Dt Bagindo Marajo, ketua SAS Teluk Betung. Pengajian-pengajian justru diadakan di Gedung Pertemuan SAS, tidak jauh jauh dari Stasiun Kereta Api Batu Raja. Dan di Muara Dua, pengajian-pengajian diberikan di mesjid yang dibangun SAS, sebagian besar jemaahnya warga Sulit Air. 

Muara Dua pada waktu itu belum dapat dikatakan kota, mandi masih di tepian sungai, seperti kita mandi di Batang Katialo, yang dipenuhi warga Sulit Air dengan segala canda dan tawanya, asyik sekali rasanya. Muara Dua waktu itu bagaikan Sulit Air kedua, Dengan adanya catatan tambahan ini, berarti sudah ada 17 SAS perantauan. Ada juga kota lain seperti Pontianak dan Magelang yang menyebut SAS, tapi jumlah warga Sulit Airnya belum cukup untuk disebut perkumpulan (minimal 12 keluarga).
2. Panitia Pelaksana Konperensi sebenarnya sudah menyampaikan undangan kepada semua SAS-SAS perantauan yang ada alamatnya. Tapi yang dapat hadir hanya 7 utusan yakni dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Teluk Betung, Palembang, Padang dan Pekan Baru. Ada satu lagi utusan yakni Ahmad Paduko Baso (kakak Ramli Paduko Sutan) dari Pontianak yang gigih mengikuti konperensi sampai selesai karena kukuh menyebut utusan SAS Pontianak, pada hal di kota tsb baru 2-3 keluarga. 

Perkumpulan warga Sulit Air di Bandung semula bernama Warsab (Warga Sulit Air Bandung), pada tgl 2 September 1962 berubah menjadi PPSA (Persatuan Perantau Sulit Air) dengan maksud untuk membentuk organisasi persatuan warga Sulit Air yang punya cabang di kota-kota lainnya. Ini terinspirasi dari kesuksesan DPP IPPSA dan IPPSA menyelenggarakan Konperensi IPPSA V, tgl 22 s/d 24 Juli 1962 di Yogyakarta. Nah, keinginan atau embrio untuk membentuk organisasi pemersatu itu memang lahir dari konperensi yang bersejarah itu, yang juga melahirkan jargon “Sulit Air Jaya”. Tapi karena prakarsa ini macet, nama PPSA kembali berubah menjadi Warsab. Pada saat berlangsung Konperensi SAS di Ciloto, oleh utusannya nama Warsab langsung diganti menjadi SAS Cabang Bandung.
Mengapa hanya ada 7 SAS perantauan yang dapat hadir, ditambah dengan dari Pontianak itu? Ini dapat dimaklumi karena semula konperensi itu memang dimaksudkan untuk membentuk DPP SAS dan AD-ART SAS. Baru kemudian akan diadakan Konperensi SAS I, yang mengundang utusan-utusan dari seluruh perantauan. Tapi sejarah berbicara lain, konperensi itu kemudian dinyatakan sebagai Konperensi SAS I. 

Sebab lain, hubungan transportasi dengan Ibukota Jakarta tidaklah semudah dan semurah sekarang. Repelita I Pemerintah Orde Baru baru dimulai (1969), pembangunan jalan raya Trans Sumatera baru dikerjakan. Hubungan jalan raya antara Tanjung Karang dengan Palembang, di mana banyak terdapat kantong-katong masyarakat perantauan Sulit Air masih sulit. Umumnya orang pada waktu itu naik KA Patas Kertapati Palembang-Tanjung Karang. Disambung naik oplet atau bus ke Panjang, baru naik kapal Panjang- Merak (sekitar 6 jam), disambung naik bus ke Jakarta. Jadi jalan yang ditempuh sekali. Naik pesawat udara, tarifnya rata-rata empat kali naik angkutan darat itu. Dan dari Jakarta ke Ciloto Puncak itu, sebagian besar peserta naik bus Jakarta-Bandung. Yang punya dan naik sedan, saya kira tidak melebihi jumlah jari di tangan. Saya sendiri datang menghadiri konperensi tsb mendampingi utusan SAS Yogyakarta yang dipimpin oleh Zainal AbidinTipo.
3. Konperensi dibuka pada Jum’at malam tanggal 3 Juli 1970 dan dihadiri oleh Wali Nagari Nasrullah Salim Dt. Polong Kayo, berisi sambutan-sambutan. Selain mengambil tempat di villa “Aida” (milik HM Joesoef Ahmad) juga menyewa sebuah ruang pertemuan, terletak tidak dari villa tsb. Hari Sabtu, membicarakan perihal kesepakatan penyatuan organisasi di dalam SAS berpusat di Jakarta sedang SAS di tempat lain merupakan cabang-cabang SAS, pembahasan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) SAS dalam sidang-sidang komisi. 

Hari ketiga Minggu 5 Juli 1970, sebelum santap siang, dilanjutkan sidang pembahasan AD-ART SAS yang dipimpin oleh Syamsulbahri Nur. Beliau tadinya adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja di Jambi kemudian dimutasikan ke Pontianak; lalu beralih profesi mendirikan perusahaan embarkasi muatan kapal laut (EMKL) PT. “Jasa Sukma” di Tanjung Priok. Dan Syamsulbahri berpengalaman dan aktif di dalam keorganisasian persyarikatan Muhammadiyyah.
Pembahasan yang agak lama adalah perihal dimana dan kapan SAS lahir dilahirkan? Berbagai macam pendapat yang muncul. Ada yang bilang, kalau ingin tahu tahun kelahiran SAS, pergi ke Lubuok Toreh Gando, di sana ada dicatatkan. Saya penasaran, di tahun 1973 waktu Konperensi SAS III, saya berkunjung ke Lubuok Toreh. E, ternyata benar, di suatu batu ada dituliskan kata-kata “Dilarang mandi bertelandjang disini” dan di bawahnya ada kata-kata dalam hurup besar: SAS. Tapi angka tahunnya sudah samar sekali, tidak terbaca lagi. Jelas sekali grafiti itu dibuat sesudah lahirnya SAS. 
Cabang SAS Padang berkontribusi besar dalam pergerakan organisasi ini dimasa lampau
Dalam Konperensi SAS di Ciloto itu, utusan SAS Padang gigih sekali mempertahankan bahwa SAS itu sudah ada di Padang pada tahun 1918. Maka sidang kemudian memutuskan bahwa SAS dilahirkan di Padang pada tahun 1918. Karena tidak jelas tanggalnya, maka tanggal pengesahan AD-ART SAS tgl 5 Juli 1970 sebagai hari lahirnya konstitusi SAS ditetapkan sebagai tanggal kelahirannya, hingga lengkap menjadi 5 Juli 1918. Dengan ditemukannya Prasasti Mato Ayie SAS 1912, seperti telah saya sampaikan, berubah lagi tahunnya, maka ditetapkanlah tanggal 5 Juli 1912, sebagai Hari Lahir SAS.
Pada hari ketiga tsb, yakni Minggu 5 April 1970, sebelum santap siang, semua pembahasan mengenai AD-ART SAS sudah diselesaikan, tinggal mengetik ulang hal-hal yang dikoreksi, diperbaiki bahasanya, ditambah atau dikurangi, untuk dibacakan dan disahkan di dalam sidang pleno, pada malam penutupan (closing ceremony). Dan pada siang itu juga secara aklamasi ditetapkan Syamsulbahri Nur sebagai Ketua Umum DPP SAS buat pertama kalinya dan diberi wewenang untuk melengkapi formasi dan personalia DPP SAS yang pertama itu.
4. Yang menjadi kenangan indah bagi saya dari konperensi SAS yang baru pertama kali diadakan itu, bagaimana riang gembiranya tokoh-tokoh Sulit Air dan para penggembira warga Sulit Air yang berbondong-bondong datang ke Ciloto untuk memeriahkannya. Pada hal pada masa-masa sebelumnya banyak di antara mereka yang berseteru keras, indak sabuni, termasuk para ibu-ibu, yang sudah barang tentu, mengikuti aliran kemauan suaminya masing-masing. 

Berbeda dengan masa sekarang, Ciloto Puncak di waktu itu benar-benar dingin, menggeletarkan bibir, lutut dan tulang, hingga banyak yang menggunakan jaket, jas, atau mantel. Rasa-rasa terbayang gerak langkah Ibu Aminah Amran selaku tuan rumah pemilik villa, menginspeksi kancah-kancah gulai ompuok, mencicipi gulai: -ola taraso garamnyo atau lai indak ka-asinan? Ketika selubung daun pisang dibuka, maka berhamburanlah keluar aroma harum gulai jawi pamasak kambiang, yang membuat perut para peserta semakin lapar, ingin cepat-cepat menyantapnya. Dan sewaktu acara santap siang datang, banyak yang minta tambuah, maklum hari dingin amat, membuat perut tak kunjung kenyang, menyantap menu-menu khas Sulik Ayie, racikan para ibu tsb.
5. Ada satu lagi kenangan indah saya. Waktu acara santap siang selesai, atas permintaan panitia, maka berdirilah Kaharuddin Saleh Bujang Sati, untuk mengumpulkan derma dari para peserta yang akan disumbangkan kepada nagari Sulit Air. Sebagaimana biasa, kalau Bujang Sati yang berbicara, orang-orang tentu terdiam dan senang mendengar ucapan dan kelakarnya. Beliau seorang orator ala Sulit Air yang luar biasa, banyak yang terngaga dan tetawa mendengar obrolannya. Beliau memancing agar banyak orang memberikan sumbangan untuk membangun. 

Di masa itu, karena merasa gengsi dan malu disentil Bujang Sati di hadapan orang ramai, disebutkan saja angka sumbangan yang besar, pada hal belum tentu ada kemampuan untuk membayarnya nanti. Bujang Sati yang berpengalaman dengan hal tsb, ketika ada yang mengangkat dan berteriak:
“Bujang Sati, tolong catat, ambo duo ratui ribu!"
Mendengar teriakan tsb Bujang Sati tersenyum dan mungkin karena sekedar ingin berkelakar memanaskan , dijawabnya teriakan tsb: “Indak usah duo ratui ribu. Saratuih ribu jadi………tapi kini!” Orang tsb, Ramli Paduko Sutan jadi tersinggung dan merah mukanya dan dibalasnya: “Itu manyingguong namo e ma Bujang. Gorah kudo indak topek di forum resmi sarupo. Jadi pamimpin harus mampu mengendalikan emosi!”
Suasana jadi tegang dan hening, menanti apa gerangan yang hendak dikatakan Bujang Sati. Bujang Sati tetap tenang dan senyum, dijawabnya santai: “Paduko Sutan, siapo nan emosi? Kalau emosi tontu ambo indak bisa tasonyum, muko sirah, co la liek ongku-ongku sakalian, bukankah muko ambo jonieh, indak ado tando-tando sadang emosi?”. Ucapan Bujang Sati disambut tepuk tangan oleh hadirin, suasana yang tegang kembali mencair, tergelak-gelak kembali, termasuk Ramli Paduko Sutan dari Bandung. (Bersambung)

Sumber: H. Drs. Hamdullah Salim

Friday 15 July 2016

SAS sudah berusia 104 tahun (kisah ketiga)

Suasana Mubes SAS ke-XX (tahun2010), diselenggarakan di kampung halaman
MENJELANG KONPERENSI SAS CILOTO

Sebagai kelengkapan dan latar belakang lahirnya Konperensi Pembentukan DPP SAS di Ciloto Puncak tgl 3-5 Juli 1970, seperti telah diungkapakan pada serial sebelumnya, ada baiknya saya kemukakan berbagai peristiwa penting yang mendahuluinya sebagai berikut.

1. Tahun 1970 saya pandang sebagai tahun paling konduisif bagi penyelenggaraan suatu konperensi yang tujuannya untuk menyatukan SAS sebagai organisasi perantauan Sulit Air yang terpusat dan struktural. Artinya memiliki anggaran dasar dan anggaran (AD-ART) sebagai pedoman pengaturan organisasi, memiliki pusat pimpinan sebagai “pusat jala pumpunan ikan” (dewan pimpinan pusat) sebagai pengatur dan pengendali organisasi, memiliki cabang-cabang di kota-kota perantauan yang sudah cukup warga Sulit Air-nya bagi berdirinya suatu perkumpulan (dewan pimpinan cabang) dan koordinator wilayah untuk mengkoordinasikan kegiatan antar cabang-cabang SAS yang berdekatan.

2. Upaya itu dimulai oleh DPP IPPSA (dibawah Ketum Zulfikar Joesoef Ahmad) bersama IPPSA Jakarta, Bandung dan Yogyakarta dengan mencetuskan “Kebulatan Tekad IPPSA” yang menginginkan SAS sebagai organisasi pemersatu, pada bulan Januari 1965 di Jakarta (Tunas Muda Yogya, Feb/1965). Disusul kemudian dengan keberhasilan DPP IPPSA memprakarsai pergantian nama PAS (Persatuan Anak Sulit Air) menjadi SAS Teluk Betung-Karang pada bulan Maret 1965 dalam suatu deklarasi yang ditandatanani Ketua PAS Nurdin Rauf dan sekretaris Saidina Umar(“Obor Pemuda”, Jkt, 13/2/1965). Kemudian DPP IPPSA bersama IPPSA Jakarta berhasil menyelenggarakan “Musyawarah Organisasi-organisasi Warga Sulit Air”, pada tgl 25 dan 26 Desember 1965 di Ruang Rapat Mesjid Agung “Al Azhar” Kebayoran Baru, Jakarta. Dalam Konperensi IPPSA VII tahun 1967 di Sulit Air dibawah Ketum DPP IPPSA Nur Aksar dicetuskan resolusi yang menghendaki SAS sebagai satu2nya organiasai bagi segenap warga perantauan Sulit Air dan perlu segera dibentuk DPP SAS (Tunas Muda No. 1/1970). Dalam sidang pleno Konperensi IPPSA VIII tgl 3 Februari 1970 di Palembang yang dipimpin Jusna Joesoef Ahmad dan sekretaris Darwin Nurdin ditelurkan resolusi agar segera dibentuk DPP SAS sebagai realisasi persatuan warga Sulit Air dalam suatu organisasi yang diseragamkan namanya (Tunas Muda, Jkt, No.1/1970).

3. Maka pada tahun 1970 warga perantauan Sulit Air sampailah pada saat yang berbahagia untuk menjadikan SAS sebagai organisasi pemersatu, tunggal, terpusat dan memiliki konstitusi organisasi. Jusna Joesoef Ahmad (sekarang Doktor) di dalam editorial “Tunas Muda” edisi Juni-Juli 1970, sebagai pemimpin redaksinya, antara lain menulis: “Pembentukan satu-satunya nama organisasi bagi segenap warga perantauan Sulit Air dicetuskan oleh DPP IPPSA, dijadikan kebulatan tekad, baik di Konperensi IPPSA VII Sulit Air tahun 1967 maupun Konperensi IPPSA VIII Palembang baru-baru ini. Sekarang telah dibentuk Dewan Sponsor dan Panitia Pelaksananya. Telah ditetapkan tempat dan waktunya pada awal Juli 1970 di Ciloto Puncak. Semua ini sangat menggembirakan dan memberi harapan baik. Sebagai golongan muda kita sampaikan terima kasih dan salut atas usaha itu, karena ini juga berarti merealisir cita-cita IPPSA"

Sedang pimpinan umumnya Mashar Muluk, dalam edisi yang sama menulis: “Maka wajarlah kiranya kita di sini mendesak kepada seluruh perantauan Sulit Air untuk menyatukan organisasi perantauan dengan nama S.A.S. (Sulit Air Sepakat) dan kemudian dengan segera mungkin mengadakan pertemuan dengan seluruh SAS yang ada di perantauan. Dibicarakan soal-soal organisasi SAS, tentu pula harus diadakan AD-ART-nya”. 

Dari tulisan Mahar Muluk ini dapat pula kita ambil kesimpulan, bahwa konperensi yang hendak diselenggarakan itu adalah Konperensi Pembentukan DPP SAS, bukan Konperensi SAS I. Tapi sejarah kemudian berbicara lain, bahwa konperensi itu kemudian populer sebagai Konperensi SAS I tahun 1970 di Ciloto. Dan untuk itu kita tentu tidak punya keberatan apa-apa. Namun ada hal lain yang tidak boleh kita lupakan dan perlu kita sebut. Hal apa pula itu? Saya katakan, bahwa tahun 1970 itu benar-benar sudah konduisif bagi penyatuan semua organisasi perantauan Sulit Air di dalam wadah tunggal; SAS sudah dalam kondisi “hamil tua” bagi kelahiran DPP SAS, AD-ART SAS. Selain disebabkan hal-hal yang telah sebutkan di atas, ada peristiwa lain yang perlu kita catat dalam perjalanan Sejarah SAS. 

4. Masyarakat Sulit Air Jawa Tengah (Yogya, Solo, Semarang dan Magelang) pada tgl 8 November 1969 yang dengan dimotori IPPSA Yogyakarta mengadakan pertemuan di Kaliurang, kota pegunungan berhawa sejuk di Gunung Merapi, untuk berlimau-bersilaturrahmi, menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Pertemuan silaturrahmi tsb menghasilkan beberapa keputusan penting. Menghidupkan kembali SAS Jateng, menerbitkan majalah “Tjanang Gunungpapan” sebagai corongnya dan pengganti majalah “Tunas Muda” yang pernah berjaya di Yogya dan telah berpindah ke kota lain; membentuk “Arisan SAS Jateng”; mengadakan pertemuan warga Sulit Air Yogyakarta sekali sebulan dan warga SAS Jateng secara berkala; mengusahakan tanah pekuburan warga Sulit Air di Yogya; mendirikan asrama puteri “Wisma Gunung Putih” bagi IPPSAWATI dan menyelenggarakan Konperensi SAS seluruh Indonesia di Yogyakarta, dengan maksud antara lain untuk membentuk DPP SAS. 
Gedung Wisma baru berdiri megah, yang dibawah naungan Yayasan Gunung Merah (YGM) Jl Jambon I Tegal Rejo. Bukti perjuangan perantauan SAS jauh ke tanah jawa untuk belajar dan berinteraksi.
Hebatnya, sebagian besar keputusan tsb terealisir. SAS Jateng, Arisan SAS Jateng, dan penerbitan “Tjanang Gunungpapan” terlaksana dengan baik. “Tjanang Gunungpapan” yang terbitsetiap bulan sangat besar peranannya dalam masyarakat Sulit Air sebagai sarana penerangan, sarana pendidikan, sarana hiburan dan sarana pembentuk opini masyarakat Sulit Air. Tanah pekuburan SAS berhasil dimiliki di Plumbon Yogyakarta. Yang belum terwujud sampai sekarang adalah “Wisma Gunung Putih” untuk asrama IPPSAWATI Yogya. 

Konperensi SAS yang pertama sebagaimana dikehendaki Kebulatakan IPPSA tsb, SAS Jateng bersama IPPSA-nya siap menyelenggarakannya. Hal ini tak perlu diragukan, mengingat keberhasilan mereka dalam mewujudkan berdirinya “Wisma Gunung Merah” yang fenomenal dan monumental di tahun 1961 dan Konperensi IPPSA ke-V yang sangat berhasil di tahun 1962 di Yogyakarta. Menurut saya, bangkitnya berbagai kegiatan keorganisasian masyarakat Sulit Air pada tahun-tahun sesudahnya justru terinspirasi dan terpicu oleh Konperensi IPPSA ke- V Yogyakarta tsb. Konperensi IPPSA ke- V Yogyakarta yang juga tenar dengan simposium “Memagar Kelapa Condong”-nya, lahirnya semboyan dan semangat “Sulit Air Jaya” yang sampai sekarang masih sering diucapkan dan dituliskan orang. 

Pokoknya tokoh-tokoh SAS Jateng, seperti Zainal Abidin Tipo, Barmawi Miin, Buyung Arfah, Munir St Keadilan, Bakhtiar Sutan Baheram, Bakhruddin Rky Rajo Imbang, Lukman Muman dengan dukungan IPPSA Yogya siap menyelenggarakan konperensi tsb. Mungkin, kebulatan tekad Silaturrahmi SAS dan IPPSA Jateng Kaliurang November 1969 dan keputusan Konperensi IPPSA VIII Palembang Februari 1970 telah menyadarkan SAS dan IPPSA Jakarta untuk berkolaborasi dengan rekan-rekan mereka di Bandung untuk menyelenggarakan Konperensi Pembentukan DPP SAS di Ciloto Puncak pada awal Juli 1970, sebagaimana telah kita utarakan pada serial sebelumnya. Bila SAS dan IPPSA Jakarta dan Warsab Bandung tidak juga segera mengambil prakarsa tsb, maka tentulah SAS Jateng dan IPPSA Yogya yang akan mengambil alih penyelenggaraan konperensi tsb dan tentulah jalan Sejarah SAS akan menjadi lain. Allah juga yang mengatur dan menentukan segala sesuatu yang telah terjadi itu. 

5. Berdasarkan hal-hal yang saya kemukakan di atas, maka saya berkesimpulan tahun 1970 sebagai tonggak perjalanan amat penting dalam sejarah SAS maupun IPPSA. Tahun 1970 adalah puncak perjuangan IPPSA dalam mewujudkan cita-cita Sulit Air Jaya yang didengung-dengungkan dalam Konperensi IPPSA V IPPSA 1962 di Yogyakata, dengan mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Sulit Air. Tanggal 28 Oktober 1962 lahir “Yayasan Pembangunan Sulit Air” (YAPSA) yang diketuai oleh Djamaluddin Adinegoro (Bapak Jurnalistik dan Tokoh Nasional, orang Lintau yang beristerikan Alidar Jamal, orang Sulit Air), dibantu Amir Shambazy, HM Joesoef Ahmad, Syamsulbahri Nur, Jamaluddin Tambam, Yunus Taher, KaharuddinSaleh, Mawardy Jalins dsb-nya. 12 s/d 16 Agustus 1963 YAPSA menyelenggarakan “Musyawarah Pembangunan Sulit Air”, mirip-mirip “Musyawarah Pembangunan Nasional RI” pada masa itu. 

Cita-cita Adinegoro yang dekat dengan Waperdam Chairul Saleh (orang kepercayaan Presiden Sukarno sebagai tangan kanannya) amatlah besar dan mulia, hendak menjadikan Sulit Air yang dipandangnya potensial untuk dijadikan desa percontohan dan perintis dalam “Pola Pembangunan Semesta Berencana Nasional” yang diputuskan MPR-S (juga diketuai Chairul Saleh) melalui YAPSA tsb. Adinegoro dalam pidato di Musyawarah Pembangunan Sulit Air tsb menyampaikan suatu pidato berjudul “Dari Desa ke Kota, Sulit Air Mempelopori Desa-desa SulitAir” 

Namun sayang, cita-cita besar dan amat luhur itu akhirnya gagal di tengah jalan dengan tumbangnya Pemerintahan Orde Lama Lama secara perlahan pada akhir 1965, setelah pemberontakan PKI/G.30.S yang gagal pada 1 Oktober 1965. YAPSA sebenarnya banyak jasanya dalam memberikan sumbangan kepada berbagai kegiatan masyarakat, namun kegagalannya yang amat fatal adalah pembangunan rumah sakit di Sarosa Sulit Air. Untuk membangun rumahsakit tsb masyarakat telah banyak berkorban, dengan begotongroyong mengangkut pasir dan batu ke lokasi, namun kemudian menjadi usaha yang sia-sia. Sementara itu muncul kompetitor YAPSA yakni Panitia Pembangunan PSA Gando pada awal 1964 di Jakarta di bawah pimpinan RaisTaim St. Alamsyah, hartawan-dermawan Sulit Air di masa itu.

Antara YAPSA dan Panitia PSA kemudian terjadi persaingan keras dan pertentangan tajam. YAPSA punya media namanya Sarosa, Panitia PSA pun punya bulletin “Laporan PSA” yang rajin terbit setiap bulan. Persaingan dan pertentangan berkembang sedemikian rupa, berkembang ke kota-kota perantauan lain, memasuki ranah pribadi dan keluarga. Saya mencatat di Jakarta muncul 16 perkumpulan/yayasan/koperasi dan ada yang punya cabang di kota-kota perantauan lain, yang pada hakekatnya bersumber kepada pertentangan dua kubu tsb. Tahun 1964 dan 1965 merupakan tahun kelam yang amat membahayakan bagi persatuan warga Sulit Air, yang mulai mereda setelah DPP IPPSA dan IPPSA Jakarta berhasil mengumpulkan pihak-pihak yang bertikai dalam “Musyawarah Organisasi-organisasi Warga Sulit Air” tgl 25-26 Desember 1965 di Mesjid Al Azhar Jakarta Selatan dan kemudian mereka bersepakat untuk membentuk SAS Jakarta, yang kepengurusannya dimonopoli oleh senioren-senioren IPPSA seperti telah disebutkan.
Majalah Tunas Muda - corong Informasi media IPPSA sudah ada sejak tahun 1951
Tetapi pertentangan dan perseteruan tsb belum benar-benar mereda sebelum Konperensi SAS di Ciloto 1970 dan bary berakhir serta bersatu kembali setelah Konperensi SAS II tahun 1972 di Palembang dengan terbentuknya DPP SAS “Kopa Bosi” yang dipimpin Rozali Usman-KS Bujang Sati-Rosma Rais-Jamaluddin Tambam, yang mencerminkan penyatuan kekuatan kedua kubu yakni YAPSA (KS Bujang Sati – Jamaluddin Tambam) dan Panitya PSA (Hj. Rosma Rais) di bawah kepiawaian Ketum Rozali Usman, yang juga mantan Ketum DPP IPPSA. (bersambung...)
Sumber: Drs. H. Hamdullah Salim

Tuesday 12 July 2016

SAS sudah berusia 104 tahun (kisah kedua)

Bukti prasasti SAS ada di kota padang
GAGASAN SAS - SEBAGAI ORGANISASI PEMERSATU

Berdasarkan bukti tertulis yang saya temui, sampai dengan tahun 1970 atau 58 tahun setelah lahirnya SAS di Padang pada tahun 1912, setidaknya ada 14 kota perantauan warga Sulit Air, yang menamakan perkumpulan atau paguyubannya dengan nama Sulit Air Sepakat (SAS). Ke-15 kota perantauan itu adalah: Padang, Pekan Baru, Medan, Tembilahan, Rengat, Teluk Kuantan, Jambi, Palembang, Betung, Palembang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Teluk Betung dan Jakarta. Di Bandung masih bernama Warsab (warga Sulit Air Bandung), sebelumnya PPSA (Persatuan Perantau Sulit Air). Teluk Betung dan Jakarta disebut yang terakhir karena kedua kota ini yang terakhir di dalam SAS, berkat perjuangan gigih DPP IPPSA dibawah Ketua Umum Zulfikar Joesoef Ahmad. Sebelumnya, di Teluk Betung perkumpulan kita bernama PAS (Persatuan Anak Sulit Air). Dan di Jakarta POWSA (Persatuan Organisasi Warga Sulit Air) dan 15 nama lainnya.

Salahsatu program kerja DPP IPPSA Zulfikar Joesoef Ahmad (1964 – 1966) yang terpilih melalui Konperensi IPPSA VI di Bandung pada tahun 1964 adalah mempersatukan semua warga perantauan Sulit Air dalam satu organisasi tunggal; disamping IPPSA yang khusus untuk kalangan pelajar dan mahasiswa Sulit Air. Karena banyak sekali kota perantauan Sulit Air yang menamakan perkumpulannya SAS, nama yang ideal bagi organisasi tunggal itu adalah SAS. Untuk itu DPP IPPSA bersama IPPSA Jakarta, Yogya dan Bandung, pada bulan Januari 1965, di ruang rapat SD Gang Thomas Tanah Abang Jakata (kepala sekolahnya Ibu Dahniar Zein), mendeklarasikan sebuah kebulatan tekad untuk mewujudkan sebuah organisasi tunggal bagi segenap warga perantauan Sulit Air yang pengelolaannya dikoordinir oleh sebuah dewan pimpinan pusat (DPP). Sayang tokoh legendaris IPPSA Zulfikar Joesoef Ahmad tidak berusia panjang, tahun 1968 dia berpulang dalam usia 28 tahun (1940 – 1968). 
Diperingati satu abad SAS dihadiri oleh seluruh pengurus cabang SAS & IPPSA se-Indonesia
Berkat perjuangan DPP IPPSA, warga Sulit Air di Teluk Betung – Tanjung Karang, yang punya lebih dari 1000 jiwa, yang perkumpulannya semula bernama PAS (Persatuan Anak Sulit Air), berhasil diyakinkan untuk merubahnya menjadi SAS. Kemudian DPP IPPSA berhasil membujuk 10 perkumpulan warga Sulit Air. Kesepuluh perkumpulan tsb adalah JAPSA (Amir Shambazy), Panitia PSA (Rais Taim St Alamsyah), DPP PEPSA (Syamsubahar Maarif), DPP GEPSA (Zulkarnain Jamin), PEPSA Jakarta (Jalil Muluk), GEPSA Jakarta (Syamsuddin Enek), Perwakilan Muhammadiyyah Sulit Air di Jakarta (Kahar Taher), Budi Caniago (Kuraisyin St Mudo), Cinto Caniago (Kaharuddin Saleh Bujang Sati), Koperasi Wanita Sulit Air Rasyidin Rasyad), ditambah perwakilan warga dari Palembang (B. Dt. Bagindo Malano), Bandung (Saladin Isa) dan Semarang (Bahrul Bahrony) untuk menghadiri “Musyawarah Organisasi-organisasi Warga Sulit Air”, pada tgl 25 dan 26 Desember 1965 di Ruang Rapat Mesjid Agung “Al Azhar” Kebayoran Baru, Jakarta. 

Musyawarah yang berlangsung di bulan Ramadhan itu, bersepakat untuk menghilangkan segala perselisihan yang telah terjadi dan menciptakan sebuah organisasi kesatuan tunggal di Jakarta, yang diberi nama SAS. Maka dibentuklah SAS Jakarta yang dipimpin oleh 3 orang ketua, yakni Annas Nurdin, Darwis Sutan Malano dan Syahruddin Kasim; sekretaris Jalil Muluk, Habibullah S.J. dan Zulkarnain Jamin; bendahara Ny. Syamsariana, Darwis Taher dan H. Sutan Ismail. Dan HZA Ahmad ditunjuk sebagai Pembina. Pada tgl 18 Mei 1969, pimpinan SAS Jakarta beralih kepada kuartet Sofyan Hasan-A. Karim Saleh-Bahrul Bahrony- Jurnalis Uddin, sekretaris Nur Aksar, Zulkarnain Jamin dan Harlis Bahrony. Sebelum rapat pembentukan pengurus baru itu, dibacakan surat DPP IPPSA ditandatangani oleh Ketum Nur Aksar dan Sekum HB Chandra, yang mengusulkan bahwa telah tiba waktunya bagi SAS Jakarta untuk mengadakan musyawarah besar warga Sulit Air untuk menjadikan SAS sebagai organisasi tunggal warga perantauan Sulit Air dan pembentukan DPP SAS. 

PERSIAPAN PEMBENTUKAN DPP SAS 

Perjuangan IPPSA selama 5 tahun akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 1970, SAS Jakarta dan Warga Sulit Air Bandung (Warsab) bersepakat untuk mensponsori penyelenggaraan Konperensi Pembentukan DPP SAS tanggal 3 s/d 5 Juli 1970 di villa “Aida” (milik HM Joesoef Ahmad) di Ciloto –Puncak Jabar. Panitia Pelaksana diketuai Dr. Jurnalis Uddin (Jakarta), wakil Rozali Usman (Bandung), sekretaris Nur Aksar (Jakarta), wakilnya Syarman Syam SH (Ketum DPP IPPSA), bendahara Bahrul Bahrony (Jakarta) dan wakilnya Drs. Musmar Muin (Bandung). Ditambah dengan berbagai seksi (A. Karim Saleh, Mishar Bahrony, Aida Joesoef Ahmad, HB Chandra, Harlis Bahrony dan Rainal Rais) Jelas sekali tokoh-tokoh Sulit Air di Jakarta dan Bandung terlihat kompak bersatu dalam kepanitiaan ini. Kalau kita cermati semua nama itu adalah senioren-senioren IPPSA seluruhnya, bahkan ada mantan dan ketum DPP IPPSA yakni A. Karim Saleh, Rozali Usman, Musmar Muin, Nur Aksar dan Syarman Syam, bahkan Jurnalis Uddin juga jadi Pj. Ketum DPP IPPSA Yogya. Dapat pula kita ambil kesimpulan bahwa tahun 1970 tsb adalah tahun senioren-senioren IPPSA (lahir tahun 1951) mengambil alih kepemimpinan baru Sulit Air melalui SAS. Wali nagari Sulit Air Nasrullah Salim Dt. Polong Kayo pada saat ini, juga adalah mantan Sekjen DPP IPPSA Yogya (1957 – 1962). 
Sarasehan yang diselenggarakan SAS-IPPSA cab Jogya bagian tujuan dari sumber akademisi berprestasi
Peralihan tongkat generasi kepemimpinan itu menjadi terasa demikian sempurna dan terasa harmonis karena didampingi oleh suatu Dewan Sponsor sebanyak 39 orang yakni tokoh-tokoh Sulit Air Jakarta-Bandung yang dikenal umum di masa itu, yakni Rozali Usman, Musmar Muin, Ramli Paduko Sutan, Bahar Surin, Usman Ahmad, Amir Syambazy, HM Joesoef Amad, Kaharuddin Saleh Bujang Sati, H. Rais Taim, H. Jamaluddin Tambam, IAL Dt. Nan Sati, Syamsulbari Nur, Darwis St Malano, Darwis Taher, HZA Ahmad, HM Zein, Z.Camil, Mawardy Jalins, Rasyidin Rasyad, Syamsubahar Maarif, H. UsmanTaher, Muhammad Tiding, AB Dt Bijo Dirajo, Marjohan Djamin, Jusuf Cupak, Syamsunur Nur, Junus Taher, Zainuddin, Kolonel Munir, Hasan Basri Taher, Suhaemi Djamin, Abubakar Saad, Ibu Hj. Rosma Rais, Ibu Dahniar Zein, Ibu Elly Amir Shambazy, Ibu Nurma Syamsulbahri, Ibu Rasyidah KS Bujang Sati dan Ibu Hj. Aminah Amran. 

Mungkin Anda bertanya mengapa Rozali Usman, Musmar Muin dan Mawardy Jalins, masuk dalam Dewan Sponsor, bukankah ketiganya itu senioren IPPSA? Benar, tapi ketiganya sudah jadi pengusaha tenar pada masa itu. Musmar Muin dalam kefarmasian (apotik), Mawardy Djalins dalam bidang penerbitan buku, lebih-lebih Rozali Usman dengan CV “Remaja Karya”nya di Bandung sedang naik benar “daun”nya, sadang barayie asam e. Dan ke-6 ibu yang disebut di atas, selain dikenal sebagai tokoh-tokoh wanita Sulit Air di Jakarta (termasuk Uni Rosma yang hartawan-dermawan), juga dikenal sebagai ahli-ahli masak ala Sulit Air yang faham betul selera tinggi urang awak, yang akan membuat konperensi SAS pertama itu sebagai konperensi yang sulit dilupakan di daerah dingin pegunungan Puncak, yang kadarnya jauh lebih dingin daripada sekarang. Bisakah Anda membandingkan komposisi kepemimpinan Sulit Air di Jakarta-Bandung pada tahun 1970 itu dengan komposisi kepemimpinan Sulit Air Jakarta-Bandung sekarang, setelah menempuh kurun waktu 46 tahun? 

Dengan menyebutkan nama-nama tsb, saya juga sekedar ingin mengenang bagaimana hebatnya perjuangan IPPSA dalam menyatukan segenap potensi SDM Sulit Air di Jakarta dan Bandung di kala itu, dalam merajut kembali hubungan silaturrahmi antara pemimpin-pemimpin Sulit Air yang sejak tahun 1964 dirobek-robek oleh perpecahan yang demikian parah dan menyedihkan! Bayangkan di Jakarta ada 16 perkumpulan warga Sulit Air, yang berasal dari dua kubu yang saling berseteru. Dan semua nama yang disebutkan di atas menjadi penggerak atau anggota dari 1-2 perkumpulan tsb. Bayangkan orang-orang yang tadinya walau sudah dipersatukan dalam SAS Jakarta, pada hakekatnya mereka belum barelok betul, masih baudu atau indak sabuni, setidaknya masih malu2, sekarang mereka diharak ke Ciloto, untuk membentuk DPP SAS, bagolak-golak dan makan lomak.
Sumber: H. Drs .Hamdullah Salim

Sunday 10 July 2016

SAS sudah berusia 104 tahun (kisah pertama)

Sudah disepakati bahwa paguyuban/perkumpulan (Sulit ASir Sepakat) SAS itu dilahirkan pada tanggal 5 Juli 1912. Dan pada Musyawarah Kerja SAS 2012 di Bukit Sentul Bogor tgl 6 s/d 8 Juli 2012 diperingati Satu Abad SAS dalam suatu upacara yang meriah. Selasa yang tanggal 5 Juli 2016 adalah hari ulang tahun SAS yang ke- 104. Untuk sekedar mengenang dan memperingati hari bersejarah organisasi pemersatu masyarakat perantauan Sulit Air tsb, saya coba menjelaskan secara sepintas asal-usul ditetapkannya tanggal 5 Juli 1912 sebagai hari kelahiran SAS.

Dalam rangka meyusun sejarah SAS, pada tahun 2011 saya bersama Korwil SAS Sumbar Arsyad Nurdin, PM Dt Malin Penghulu dan Yarsyid Effendi dari DPP SAS, dll berkunjung ke Tanah Pemakaman SAS di Mato Ayie. Maksud semula hanya sekedar untuk berkunjung ke makam Dt. Sutan Marajo Nan Besar alias Dt. Bangkik, tokoh besar Sulit Air di awal abad ke- 20, yang sudah lama kepingin menziarahi kuburnya. E, secara tidak terduga, di sana kami menemukan suatu batu prasasti di dinding makam, yang dengan jelas mencantumkan kata-kata: S.A.S. 1912. Dan tidak jauh dari sana terdapat kuburan berukuran besar dan istimewa, yang berbeda dengan kuburan-kuburan warga Sulit Air lainnya. Pada batu nisan kuburan dituliskan: "Peringatan MAHJOEDIN gelar DATOEK SOETAN MAHARAJA. Lahir di Soelit Ajer Pada 27 November 1860. BERPOELANG KERACHMATOELLAH pada hari Chamis 23 JUNI 1921. Oerang jang mengoeatkan adat MINANGKABAU "

Dalam koran Oetoesan Melaju yang dipimpin Dt Bangkit pada tahun 1921, sesudah kepergian beliau, saya temukan surat edaran yang menyebutkan sumbangan-sumbangan dari masyarakat adat Minangkabau yang amat mencintai beliau bagi pembuatan makam itu secara khusus dan istimewa. Dt Bangkik, selain dikenal sebagai wartawan ulung dan ahli adat terkemuka, juga seorang penganut aliran tarekat Naqsabandiah, yang sangat menghormati leluhur, orang mati dan kuburannya. Maka berdasarkan penelusuran dan analisis yang saya lakukan, SAS yang beliau dirikan pada tahun 1912 dan dibuatkan prasastinya di tanah pekuburan orang-orang Sulit Air di Mato Ayie tsb, terutama dimaksudkan sebagai perkumpulan untuk menghormati orang yang sudah meninggal.

Sebutan yang populer di Padang masa itu adalah kongsi mati. Bukan saja orang Minang, masyarakat Cina, Keling (India), pekumpulan kedaerahan dan kenagarian (seperti Pariaman) juga mempunyai perkumpulan kematian di Padang yang disebut kongsi mati. Fungsi utama perkumpulan kongsi mati tsb adalah mengurus dan membantu keluarga anggota yang ditimpa musibah kematian. Mulai dari upacara pemakaman jenazahnya, selamatan tiga hari ber-turut, hari ke- 40, ke- 100, setiap tahun dan yang ke- 1000 hari! 
Mahyudin Dt. Soetan Maharaja bapak Pers Melayu asal Sulit Air
Dt Bangkik mendirikan SAS di Padang juga dengan maksud untuk mengurus dan membantu keluarga2 Sulit Air di Padang yang tertimpa musibah kematian tsb dengan tradisi2 selamatannya itu. Untuk itulah SAS kemudian memiliki tanah pemakaman khusus bagi warga Sulit Air di Mato Ayie itu, terletak di pinggir jalan strategis Padang – Teluk Bayur. Ini menunjukkan bahwa sudah banyak sekali warga Sulit Air yang merantau dan menetap di Padang pada awal abad ke- 20 itu. Kalau ada di antara mereka yang meninggal di Padang, tentulah merupakan beban yang berat bagi keluarga yang ditinggalkan untuk membiayai tradisi2 selamatan yang harus mereka laksanakan.

Lebih-lebih bagi warga yang tak punya keluarga, warga miskin yang menyewa rumah, yang hanya sekedar berdagang “air asam” di kaki lima atau berjojo menyandang kacang rebus di kuduk, berjalan kaki di malam yang dingin, mangkal di tempat-tempat yang ramai. Atau berkeliling kota, berteriak dari rumah ke rumah…..kacang rabui, e kacaaang! Kalau dikabarkan pedagang-pedagang kecil itu tertimpa kecelakaan atau meninggal dunia, siapa yang akan mengurus jenazahnya? Maka untuk itulah Dt Bangkik mendirikan SAS, secara bersama bergotong royong mengurus penguburan jenazah, menyelenggarakan selamatan sesuai dengan kadar kemampuan keluarga dan bantuan yang dapat diberikan oleh SAS. 

Dengan cara demikianlah, SAS dapat mengamalkan “koba bayiek bahimbauan, koba buruok bahambauan” cara Sulit Air di nagari orang. Demikian juga bila anggota SAS itu berhelat bermenantu SAS turun membantu, tapi yang banyak disebut orang ketika warga ditimpa musibah kematian tsb. Saya masih ingat waktu Ketua III DPP SAS Jamaluddin Tambam, yang juga latar belakang perantauan Padang, ketika berkunjung ke cabang2 SAS dan Sulit Air, saya mendampingi beliau selaku sekretaris di tahun 1972-73. Dalam pidatonya yang berapi-api membangkitkan semangat warga Sulit Air untuk bangkit membangun, beliau suka menyinggung masa SAS sebagai perkumpulan mengurus orang mati di Padang itu. Teriak Bapak Haji Jamaluddin Tambam: “Dulu SAS ini di Padang terkenal sebagai perkumpulan mengurus orang mati, kongsi mati! Tapi sekarang saya menginginkan, SAS ini tak lagi hanya sekedar mengurus orang mati, tapi juga mengurus kebutuhan orang hidup, memikirkan pembangunan dan kemajuan Sulit Air!”
 
Dengan berpulangnya Dt Bangkik pada tahun 1921, kegiatan SAS nampak meredup. Apalagi dengan munculnya ulama2 lulusan Thawallib Padangpanjang seperti Salim Amany, Zainal Abidin Ahmad, Nurdin Taher dll yang menginginkan pemurnian ajaran Islam bagi masyarakat Sulit Air. Tradisi selamatan-2 orang mati semakin memudar pula. Apalagi dengan berdirinya Muhammadiyyah di Sulit Air pada tahun 1932 yang terkenal dengan pemberantasan TBC (bukan nama penyakit menular, tapi), singkatan: Tahayul, Bid’ah dan Churafat, selamatan2 tsb sudah tidak dilaksanakan orang lagi. Kecuali di dusun2 masih ada yang mengadakan, terutama dari golongan tarekat (suluk) tsb. Namun SAS sebagai organisasi pemersatu warga perantauan Sulit Air berkembang di kota2 perantauan lain, dengan kegiatan mengadakan wirid pengajian, takziah kematian tanpa selamatan2, yang kemudian berkembang menjadi salat berjamaah, taraweh, halal bi halal, memiliki tanah darat (pemakaman) dsb-nya. 

Cikal bakal Yayasan Gunung Merah Jogyakartya 

Di Yogyakarta, yang demikian jauh dari Sulit Air, SAS sudah berdiri pada tahun 1947. Ketuanya Bakhruddin Rky Rajo Imbang (kakek saya), sekretarisnya Amir Shambazy, bendaharanya Rusli Munaf Sutan Paduko. Alamatnya di Jalan Tugu Kidul 41, kemudian terkenal sebagai RM “Sinar Budi”, dikenal sebagai rumah bersejarah pada masa Revolusi Kemerdekaan, tempat berkumpul para tokoh dan pejuang RI, pada waktu Yogyakata menjadi Ibukota (1945 -1949). Kakek saya itu juga seorang tentara, yang mendapat brevet “Legiun Veteran RI”. Kata beliau kepada saya di tahun 1958, di bawah rumah itu banyak disimpan senjata para pejuang!.

 Di dalam buku peringatan “Konperensi Negeri Tradisional ke- V Tahun 1957” di Sulit Air, saya temukan nama-nama SAS kota perantauan yang menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1376 Hijriah/ 1 Mei 1957. Kelimanya adalah: SAS Yogyakarta, SAS Solo, SAS Palembang, SAS Padang, dan SAS Pekan Baru. Waktu itu Jakarta menggunakan sebutan “Persatuan Organisasi Warga Sulit Air” (POWSA) Jakarta. Sedang Bandung menggunakan nama “Warga Sulit Air Bandung” (WARSAB).

Sewaktu menyusun buku “Sejarah Yayasan Gunung” dan “Wisma Gunung Merah” Yogya, yang dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1961, saya temui juga 5 SAS perantauan yang berbeda dengan 5 SAS tsb di atas yang memberikan sumbangan bagi pembelian asrama IPPSA di Yogyakarta itu. Kelima SAS itu adalah: SAS Betung, SAS Pringswu, SAS Medan, SAS Tembilahan dan SAS Manna. Dengan catatan2 tertulis yang diketemukan secara kebetulan, setidaknya sudah ada 10 kota perantauan, sebelum tahun 1961, yang menggunakan SAS. Teluk Betung waktu itu menggunakan nama (PAS), singkatan Persatuan Anak Sulit Air! PAS ini sudah berdiri pada tahun 1950, yang anggotanya selain warga perantauan di Teluk Betung, juga dari Tanjung Karang. Tahun 1969 PAS berhasil membangun gedung pertemuan, dan sebuah mesjid yang banyak disumbang pembangunannya oleh anggota PAS. (bersambung...)

Sumber : H. Drs. Hamdullah Salim