Dalam rangka
meyusun sejarah SAS, pada tahun 2011 saya bersama Korwil SAS Sumbar
Arsyad Nurdin, PM Dt Malin Penghulu dan Yarsyid Effendi dari DPP SAS,
dll berkunjung ke Tanah Pemakaman SAS di Mato Ayie. Maksud semula hanya
sekedar untuk berkunjung ke makam Dt. Sutan Marajo Nan Besar alias Dt.
Bangkik, tokoh besar Sulit Air di awal abad ke- 20, yang sudah lama
kepingin menziarahi kuburnya. E, secara tidak terduga, di sana kami
menemukan suatu batu prasasti di dinding makam, yang dengan jelas
mencantumkan kata-kata: S.A.S. 1912. Dan tidak jauh dari sana terdapat
kuburan berukuran besar dan istimewa, yang berbeda dengan
kuburan-kuburan warga Sulit Air lainnya. Pada batu nisan kuburan
dituliskan: "Peringatan MAHJOEDIN gelar DATOEK SOETAN MAHARAJA. Lahir
di Soelit Ajer Pada 27 November 1860. BERPOELANG KERACHMATOELLAH pada
hari Chamis 23 JUNI 1921. Oerang jang mengoeatkan adat MINANGKABAU ".
Dalam koran Oetoesan Melaju yang dipimpin Dt Bangkit pada tahun 1921,
sesudah kepergian beliau, saya temukan surat edaran yang menyebutkan
sumbangan-sumbangan dari masyarakat adat Minangkabau yang amat mencintai beliau
bagi pembuatan makam itu secara khusus dan istimewa. Dt Bangkik, selain
dikenal sebagai wartawan ulung dan ahli adat terkemuka, juga seorang
penganut aliran tarekat Naqsabandiah, yang sangat menghormati leluhur,
orang mati dan kuburannya. Maka berdasarkan penelusuran dan analisis
yang saya lakukan, SAS yang beliau dirikan pada tahun 1912 dan dibuatkan
prasastinya di tanah pekuburan orang-orang Sulit Air di Mato Ayie tsb,
terutama dimaksudkan sebagai perkumpulan untuk menghormati orang yang
sudah meninggal.
Sebutan yang populer di Padang masa itu adalah kongsi mati. Bukan saja orang Minang, masyarakat Cina, Keling (India), pekumpulan kedaerahan dan kenagarian (seperti Pariaman) juga mempunyai perkumpulan kematian di Padang yang disebut kongsi mati. Fungsi utama perkumpulan kongsi mati tsb adalah mengurus dan membantu keluarga anggota yang ditimpa musibah kematian. Mulai dari upacara pemakaman jenazahnya, selamatan tiga hari ber-turut, hari ke- 40, ke- 100, setiap tahun dan yang ke- 1000 hari!
Sebutan yang populer di Padang masa itu adalah kongsi mati. Bukan saja orang Minang, masyarakat Cina, Keling (India), pekumpulan kedaerahan dan kenagarian (seperti Pariaman) juga mempunyai perkumpulan kematian di Padang yang disebut kongsi mati. Fungsi utama perkumpulan kongsi mati tsb adalah mengurus dan membantu keluarga anggota yang ditimpa musibah kematian. Mulai dari upacara pemakaman jenazahnya, selamatan tiga hari ber-turut, hari ke- 40, ke- 100, setiap tahun dan yang ke- 1000 hari!
Dt Bangkik mendirikan SAS di
Padang juga dengan maksud untuk mengurus dan membantu keluarga2 Sulit
Air di Padang yang tertimpa musibah kematian tsb dengan tradisi2
selamatannya itu. Untuk itulah SAS kemudian memiliki tanah pemakaman
khusus bagi warga Sulit Air di Mato Ayie itu, terletak di pinggir jalan
strategis Padang – Teluk Bayur. Ini menunjukkan bahwa sudah banyak
sekali warga Sulit Air yang merantau dan menetap di Padang pada awal
abad ke- 20 itu. Kalau ada di antara mereka yang meninggal di Padang,
tentulah merupakan beban yang berat bagi keluarga yang ditinggalkan
untuk membiayai tradisi2 selamatan yang harus mereka laksanakan.
Lebih-lebih bagi warga yang tak punya keluarga, warga miskin yang menyewa rumah, yang hanya sekedar berdagang “air asam” di kaki lima atau berjojo menyandang kacang rebus di kuduk, berjalan kaki di malam yang dingin, mangkal di tempat-tempat yang ramai. Atau berkeliling kota, berteriak dari rumah ke rumah…..kacang rabui, e kacaaang! Kalau dikabarkan pedagang-pedagang kecil itu tertimpa kecelakaan atau meninggal dunia, siapa yang akan mengurus jenazahnya? Maka untuk itulah Dt Bangkik mendirikan SAS, secara bersama bergotong royong mengurus penguburan jenazah, menyelenggarakan selamatan sesuai dengan kadar kemampuan keluarga dan bantuan yang dapat diberikan oleh SAS.
Lebih-lebih bagi warga yang tak punya keluarga, warga miskin yang menyewa rumah, yang hanya sekedar berdagang “air asam” di kaki lima atau berjojo menyandang kacang rebus di kuduk, berjalan kaki di malam yang dingin, mangkal di tempat-tempat yang ramai. Atau berkeliling kota, berteriak dari rumah ke rumah…..kacang rabui, e kacaaang! Kalau dikabarkan pedagang-pedagang kecil itu tertimpa kecelakaan atau meninggal dunia, siapa yang akan mengurus jenazahnya? Maka untuk itulah Dt Bangkik mendirikan SAS, secara bersama bergotong royong mengurus penguburan jenazah, menyelenggarakan selamatan sesuai dengan kadar kemampuan keluarga dan bantuan yang dapat diberikan oleh SAS.
Dengan cara demikianlah, SAS dapat mengamalkan “koba bayiek bahimbauan, koba buruok bahambauan” cara Sulit Air di nagari orang. Demikian juga bila anggota SAS itu berhelat bermenantu SAS turun membantu, tapi yang banyak disebut orang ketika warga ditimpa musibah kematian tsb. Saya masih ingat waktu Ketua III DPP SAS Jamaluddin Tambam, yang juga latar belakang perantauan Padang, ketika berkunjung ke cabang2 SAS dan Sulit Air, saya mendampingi beliau selaku sekretaris di tahun 1972-73. Dalam pidatonya yang berapi-api membangkitkan semangat warga Sulit Air untuk bangkit membangun, beliau suka menyinggung masa SAS sebagai perkumpulan mengurus orang mati di Padang itu. Teriak Bapak Haji Jamaluddin Tambam: “Dulu SAS ini di Padang terkenal sebagai perkumpulan mengurus orang mati, kongsi mati! Tapi sekarang saya menginginkan, SAS ini tak lagi hanya sekedar mengurus orang mati, tapi juga mengurus kebutuhan orang hidup, memikirkan pembangunan dan kemajuan Sulit Air!”
Dengan
berpulangnya Dt Bangkik pada tahun 1921, kegiatan SAS nampak meredup.
Apalagi dengan munculnya ulama2 lulusan Thawallib Padangpanjang seperti
Salim Amany, Zainal Abidin Ahmad, Nurdin Taher dll yang menginginkan
pemurnian ajaran Islam bagi masyarakat Sulit Air. Tradisi selamatan-2
orang mati semakin memudar pula. Apalagi dengan berdirinya Muhammadiyyah
di Sulit Air pada tahun 1932 yang terkenal dengan pemberantasan TBC
(bukan nama penyakit menular, tapi), singkatan: Tahayul, Bid’ah dan
Churafat, selamatan2 tsb sudah tidak dilaksanakan orang lagi. Kecuali di
dusun2 masih ada yang mengadakan, terutama dari golongan tarekat
(suluk) tsb. Namun SAS sebagai organisasi pemersatu warga perantauan
Sulit Air berkembang di kota2 perantauan lain, dengan kegiatan
mengadakan wirid pengajian, takziah kematian tanpa selamatan2, yang
kemudian berkembang menjadi salat berjamaah, taraweh, halal bi halal,
memiliki tanah darat (pemakaman) dsb-nya.
Cikal bakal Yayasan Gunung Merah Jogyakartya
Di Yogyakarta, yang
demikian jauh dari Sulit Air, SAS sudah berdiri pada tahun 1947.
Ketuanya Bakhruddin Rky Rajo Imbang (kakek saya), sekretarisnya Amir
Shambazy, bendaharanya Rusli Munaf Sutan Paduko. Alamatnya di Jalan Tugu
Kidul 41, kemudian terkenal sebagai RM “Sinar Budi”, dikenal sebagai
rumah bersejarah pada masa Revolusi Kemerdekaan, tempat berkumpul para
tokoh dan pejuang RI, pada waktu Yogyakata menjadi Ibukota (1945
-1949). Kakek saya itu juga seorang tentara, yang mendapat brevet
“Legiun Veteran RI”. Kata beliau kepada saya di tahun 1958, di bawah
rumah itu banyak disimpan senjata para pejuang!.
Di dalam buku peringatan “Konperensi Negeri Tradisional ke- V Tahun 1957” di Sulit Air, saya temukan nama-nama SAS kota perantauan yang menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1376 Hijriah/ 1 Mei 1957. Kelimanya adalah: SAS Yogyakarta, SAS Solo, SAS Palembang, SAS Padang, dan SAS Pekan Baru. Waktu itu Jakarta menggunakan sebutan “Persatuan Organisasi Warga Sulit Air” (POWSA) Jakarta. Sedang Bandung menggunakan nama “Warga Sulit Air Bandung” (WARSAB).
Di dalam buku peringatan “Konperensi Negeri Tradisional ke- V Tahun 1957” di Sulit Air, saya temukan nama-nama SAS kota perantauan yang menyampaikan ucapan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1376 Hijriah/ 1 Mei 1957. Kelimanya adalah: SAS Yogyakarta, SAS Solo, SAS Palembang, SAS Padang, dan SAS Pekan Baru. Waktu itu Jakarta menggunakan sebutan “Persatuan Organisasi Warga Sulit Air” (POWSA) Jakarta. Sedang Bandung menggunakan nama “Warga Sulit Air Bandung” (WARSAB).
Sewaktu menyusun buku “Sejarah
Yayasan Gunung” dan “Wisma Gunung Merah” Yogya, yang dilahirkan pada
tanggal 5 Mei 1961, saya temui juga 5 SAS perantauan yang berbeda
dengan 5 SAS tsb di atas yang memberikan sumbangan bagi pembelian asrama
IPPSA di Yogyakarta itu. Kelima SAS itu adalah: SAS Betung, SAS
Pringswu, SAS Medan, SAS Tembilahan dan SAS Manna. Dengan catatan2
tertulis yang diketemukan secara kebetulan, setidaknya sudah ada 10 kota
perantauan, sebelum tahun 1961, yang menggunakan SAS. Teluk Betung
waktu itu menggunakan nama (PAS), singkatan Persatuan Anak Sulit Air! PAS
ini sudah berdiri pada tahun 1950, yang anggotanya selain warga
perantauan di Teluk Betung, juga dari Tanjung Karang. Tahun 1969 PAS
berhasil membangun gedung pertemuan, dan sebuah mesjid yang banyak
disumbang pembangunannya oleh anggota PAS. (bersambung...)
Sumber : H. Drs. Hamdullah Salim
Sumber : H. Drs. Hamdullah Salim
No comments:
Post a Comment