Saturday, 29 November 2014

Menelusuri jejak sejarah Nagari Sulit Air

          Menurut buku kecil  “Asal-usul Negeri dan Persukuan Sulit Air” yang disusun pada tahun 1975 oleh Hamdullah Salim bersama Rozali Usman (ketua umum DPP SAS “Yayasan Rora”), berdasarkan tambo (cerita dari mulut ke mulut) dikatakan bahwa orang Sulit Air itu dulu berasal dari serombongan orang yang dipimpin oleh Dt. Mulo Nan Kawi dan isterinya Puti Anggo Ati, yang hendak pindah dari Pariangan Padangpanjang ( di kawasan selatan Gunung Merapi) untuk mencari daerah kehidupan baru yang lebih menjanjikan di kawasan Solok (kawasan Gunung Talang), yang terkenal  sebagai daerah yang subur dengan persawahan dan pertaniannya.

          Rute yang mereka tempuh melewati Batusangkar dan menyeberangi Batang Ombilin. Namun setelah mereka melintasi Gunung Papan dengan warna merah dan putihnya yang norak dan menyolok itu, Puti Anggo Ati demikian terpesona dan minta kepada suaminya agar mereka menetap di lembah gunung itu saja. Usul itu diterima oleh Dt. Mulo Nan Kawi dan diputuskan bahwa rombongan menetap di lembah itu bila ada sumber air yang cukup besar sebagai urat nadi kehidupan.

          Semula yang ditemukan hanya parit atau bandar air yang kecil, airnya keluar dari batu-batu sulit sekali, di kemudian hari diberi nama Batang Sulik Ayie, di kaki Guguk Teragung, Koto Tuo.  Dari sinilah nama Sulik Ayie (Sulit Air) berasal. Namun setelah ditelusuri sampai ke lembah gunung yang berwarna merah putih itu, ditemuilah sungai yang besar, itulah dia Batang Katialo, yang airnya rupanya mengalir ke Batang Ombilin, yang baru saja mereka lewati.

          Maka terkabullah permintaan Puti Anggo Ati, Dt. Mulo Nan Kawi menetapkan rombongan yang dipimpinnya berdiam dan membangun nagari baru di lembah itu karena di tempat mereka tengah berada itu dipandang cukup baik untuk dijadikan perkampungan  karena ada tanah dan lapangan yang cukup datar, tapi airnya memang sulit. Sedang di lembah bawah walau sungainya besar tapi untuk dijadikan perkampungan masih memerlukan waktu untuk membangunnya, namun mempunyai masa depan yang cerah karena ada sungai besar yang tersambung dengan Batang Ombilin dan bukit-bukit yang banyak disekitarnya sebagai  sumber kehidupan.

          Di tempat pertama yang mereka tempati yang kini bernama Koto Tuo (karena menjadi kediaman yang pertama) memang sulit air, tapi di koto-koto lainnya yang mereka bangun kemudian, yakni Koto Gadang,  Silungkang dan Gando, mengalir  sungai yang cukup besar, yakni Batang Katialo, ditambah beberapa anak sungai lainnya. Karena sulitnya air menjadi pembicaraan sehari-hari dan Puti Anggo Ati selalu ingat akan peristiwa pertama yang menarik hatinya , melihat sulitnya air keluar dari sela-sela batu, maka sebagaimana halnya parit yang mereka temui itu, dinamailah kampung halaman mereka yang baru itu Sulit Air.

          Sebagian rombongan tidak betah menetap di Sulit Air, mereka meneruskan pengembaraan ke Solok,  kawasan antara Gunung Talang dan Danau Singkarak, yang memang melimpah ruah airnya,  subur tanahnya dan sudah banyak orang yang membuat sawah. Mereka kemudian menetap di Kacang, Saningbakar, Sumani, Koto Sani, Koto Ilalang, Gantung Ciri, Sawah Suduik, Solok, Selayo dan sebagainya.  Kawasan ini kemudian terkenal sebagai Kubung Tiga Belas.

          Penulis DR. Kato dalam bukunya “Adat Minangkabau dan Merantau”,  menceritakan bahwa berdasarkan buku “Monografi Kabupaten Solok”  tulisan Syafri Sjafei (1971, hal. 26-30) dan serangkaian wawancara yang dilakukannya di berbagai nagari di Kabupaten Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan pada bulan Mei dan Juni 1973, dia berkesimpulan:

“Studi pemekaran nagari tampaknya menunjukkan bahwa penduduk darek (pedalaman Minangkabau) semakin lama menjadi semakin terkurung. Pola pemekaran nagari mirip dengan lingkaran konsentris yang makin membesar seperti riak air di sebuah kolam. Penduduk darek pindah ke daerah-daerah pinggiran darek (ekor darek kepala rantau atau “ikua darek, kapalo rantau) dan ke wilayah rantau yang berdekatan". 

Penghuni awal di daerah-daerah ini kemudian pindah ke deerah-daerah yang lebih jauh di rantau.  Kasus menarik yang diketahui dalam hal ini adalah perpindahan orang darek dalam jumlah yang banyak ke Pesisir Selatan di selatan Padang. Pada mulanya orang-orang berpindah dari Luhak Tanah Datar ke Solok (Kubung XIII). Dari sana sebagian mereka pindah lebih jauh ke selatan Sungai Pagu. Akhirnya bagian utara Pesisir Selatan ditempati oleh orang-orang dari Solok, bagian selatan oleh orang-orang dari Sungai Pagu” 
Ciri-ciri yang unik ketika sampai di nagari Sulit Air - dijumpai gunung merah putih yang menawan
          Hasil penelitian Kato yang didasarkan buku monografi (sebutan lain atau bagian dari tambo) dan wawancara tekun yang dilakukannya di nagari-nagari di Kabupaten Solok (termasuk Sulit Air) menunjukkan kemiripan dengan buku tambo “Asal Usul Negeri dan Persukuan Sulit Air”. Ada kemungkinan pencaharian tanah kehidupan baru yang dilakukan oleh rombongan Dt. Mulo Nan Kawi tsb sama atau merupakan bagian dari perpindahan besar-besaran  dari darek ke Solok tsb (kemudian dilanjutkan ke Pesisir Selatan), karena rombongan Dt. Mulo Nan Kawi tadinya memang hendak merantau ke Solok, namun akhirnya sebagian tertahan dan menetap di lembah Gunung Papan yang kemudian mereka beri nama Sulit Air, sedang sebagian lainnya meneruskan perantauan ke Solok, ke sejumlah negeri yang kemudian populer dengan sebutan Kubung XIII (karena terdiri dari 13 negeri dengan berbagai versi, menyangkut mana saja negeri yang 13 tsb).

          Kapan perpindahan maupun perantauan besar-besaran tsb terjadi, tidak satu bukupun yang menyebutkannya. Namun Kato dalam bukunya tsb (halaman 78) dengan mengutip Dobbin mengatakan bahwa sampai akhir abad ke- 17, tampak bahwa Indragiri dan Batanghari di selatan lebih sering digunakan dari kedua sungai lainnya (sungai Siak dan Kampar, pen). Daerah-daerah penghasil emas dan merica memiliki hubungan yang lebih baik dengan kawasan hulu kedua sungai ini (salahsatu hulu Indragiri adalah Batang Katialo di Sulit Air, pen) , dan kekuasaan atas Siak dan Kampar di utara sering diganggu oleh Aceh dan Johor. Akan tetapi kedaan ini berubah pada akhir abad ke- 17.  Siak, khususnya, menjadi jalan utama ke pantai timur (Selat Malaka ).

          Sulit Air itu pernah menjadi kawasan perdagangan yang makmur, sewaktu menjadi ibukota wilayah Taragung, di abad ke-14, terutama sewaktu dipimpin oleh Dt. Pamuncak Perkasa Alamsyah.  Wilayahnya meliputi Sulit Air sekarang ini, ditambah Tanjung Balit, Tanjung Alai, Dadok, Tarok Bungkuk, Batu Alang, Parit Bakali (antara Tikalak – Singkarak), Guguk Palano, Bunduong, Sawah Kareh, Panjalangan, Kolok Mudiek, dan Guguok Panjaringan.

          Menurut penuturan Bapak Yunus Amin Dt. Marah Bangso, seorang ahli adat, kepada Hamdullah Salim di tahun 1970, dari mana-mana orang berdatangan ke Sulit Air; mulai dari Aceh, Malaka (Malaysia sekarang), sampai ke Palembang.  Adat kapalnya berlabuhan, adat dagangnya bertepatan, jauh mencari suku, dekat mencari indu.  Orang-orang Palembang berdagang, bertepatan pada Dt. Marah Bangso.  Sekelompok orang Aceh berdagang bertepatan pada Dt. Bagindo Bosa, sekelompok yang lain pada Dt. Nan Sati, dan sekelompok orang Aceh lainnya pada Dt. Rajo Mansyur.  Beberapa kelompok orang Malaka bertepatan pada Dt. Majo Lelo.  Artinya mereka berdiam di Sulit Air, ber-keluarga dan beranak pinak, seperti kita merantau sekarang ini.

          Sampai sekarang kita memang mengenal adanya 7 penghulu yang bergelar  Dt. Palembang, Dt. Tan Aceh, Dt. Malin Aceh, Dt. Malaka Kayo, Dt. Malako Sutan,  Dt. Malako Bongsu,  Dt. Incek Malako.  Salah seorang di antara pendatang tersebut, yakni yang berasal dari Aceh bernama Jahid.  Ternyata ia adalah seorang ulama dan dianggap sebagai penyebar Islam yang pertama di Sulit Air. Ia kawin dengan Bayuria, adik kandung Dt. Rangkayo Basa, tempat tinggalnya di Sulit Air kemudian terkenal dengan sebutan Kampuong Bayuo.  Atas jasa-jasanya itu, lalu ia diangkat sebagai penghulu dengan gelar Dt. Malin Aceh.

          Bila dilihat kenyataan sekarang bahwa ketujuh penghulu tersebut adalah datuk andiko semuanya, artinya memimpin sekelompok anak buah, Hamdullah Salim berteori bahwa semula para pendatang baru tersebut beserta anak buahnya bergabung dengan penghulu-penghulu yang disebutkan itu sebagai kaum bertali budi atau kemenakan di bawah lutut, ada juga yang menyebut kaum bertali adat.  Kemenakan-kemenakan di bawah lutut (bertali budi) tidak dapat diangkat menjadi penghulu untuk memimpin kemenakan bertali darah (penduduk asli atau pendatang pertama).  

          Mungkin karena kaum bertali budi ini semakin berkembang biak atau karena jasa-jasa baik (budi) yang mereka berikan kepada sulit Air, pemimpinnya kemudian diangkat jadi penghulu-penghulu baru dengan gelar-gelar tersebut di atas, memimpin anak buahnya sendiri dalam suku yang baru.  Teori ini memperkuat dugaan bahwa di Sulit Air dulu banyak sekali suku.  Menurut sumber itu, sebelum wilayah Taragung, jumlah penghulu di Sulit Air 35 orang, sesudah wilayah Taragung 85 orang, dan pada masa sekarang ini 120 orang, dan yang berstatus sebagai penghulu andiko 83 orang.  Penghulu andiko tidak lagi memimpin suku, tapi kaum.  Jumlah suku di nagari-nagari di Minangkabau tidak sama, yang jelas minimal 4 suku, sesuai dengan salah satu syarat diakuinya tempat itu sebagai nagari.
Satu lagi keunikan nagari ini, ada nya gonjong Rumah Gadang diatas jembatan - sumbangan perantau SAS
          Berdasarkan uraian di atas, Sulit Air pada masa dahulu kala adalah negeri yang makmur, tempat tujuan orang merantau.   Sumber lain mengatakan bahwa di sepanjang Batang Katialo itu dulu banyak orang yang berpenghasilan sebagai pendulang mas, seperti halnya di sungai-sungai besar Kalimantan sekarang banyak orang yang berpenghasilan sebagai pendulang emas, termasuk para perantau dari daerah lain.  Dalam kondisi demikian, nenek moyang kita tidak akan banyak pergi merantau karena alasan ekonomis.  Pada hal orang-orang Minang banyak pergi merantau tidak hanya pada masa-masa yang akhir ini saja, tapi juga pada abad-abad yang lalu.

          Sebelum Belanda merebut dan menguasai Minangkabau melalui Perang Paderi (1821 s/d 1837), kekuasaan tertinggi di Minangkabau di pegang oleh penghulu. Adagium adat mengatakan: kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat. Tidak ada yang lebih tinggi daripada penghulu. Yang disebut mufakat tsb adalah mufakatnya para penghulu di balairungsari dalam bentuk kerapatan adat. Karena setiap nagari mempunyai banyak penghulu, maka untuk menciptakan kemajuan, kebersamaan, penyelesaian  masalah-masalah antar anak kemenakan berlainan penghulu, dan pengaturan kehidupan sehari-hari anak nagari, mufakat itu perlu dilembagakan. Lembaga  itulah bernama Kerapatan Adat Nagati  (KAN), sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di setiap nagari. Penghulu tidak saja memegang kekuasaan eksekutif (pemerintahan), tapi juga legislatif (perundangan) dan yudikatif (hukum dan peradilan).

          Pada awal mulanya, setiap penghulu memimpin sebuah suku, maka Belanda menyebut pemerintahan di Minangkabau sebagai pemerintahan suku. Karena yang berkuasa pada hakekatnya adalah rakyat (anak kemenakan) melalui penghulunya masing-masing di KAN tsb, maka disebut Belanda pula Minangkabau itu sebagai republik-republik   kecil (suku) yang diperintah penghulunya masing-masing. Sedang Raja Paguruyung hanya berkuasa di rantau (yakni di luar Minang yang mengakui pengaruh Pagaruyung)  dan  sebagai lembaga sakral memelihara  hubungan baik dan ketertiban antar nagari.   Dari sinilah lahirnya adagium rantau barajo, nagari bapanghulu. Atau sebutan indak barajo ka Pagaruyuang.

          Belanda  merasa repot dan sulit berhadapan dengan demikian banyak (empat ratusan) raja-raja kecil itu. Maunya hanya berurusan dengan segelintir orang, yang berkuasa atas rakyatnya. Walau Perang  Paderi (1821 s/d 1837) belum usai, namun Belanda sudah mulai berkuasa dan mencekamkan kuku jajahannya di ranah Minang. Pada tahun 1833 mulai diperkenalkan dan dilaksanakannya secara sistem kelarasan (laras= sama, sesuai, cocok) di Minangkabau. Walau penghulu tetap diakui, tapi kekuasaannya mulai dikurangi sedikit demi sedikit. Nagari tidak lagi diperintah oleh para penghulu tapi oleh tiga pejabat penting kenagarian yakni  Kepala Laras  (Tuanku Lareh), Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi.

          Kepala Laras memerintah kelarasannya yang terdiri dari beberapa nagari yang ditentukan.  Dialah yang bertanggungjawab kepada Belanda. Tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban nagari-nagari di kelarasannya,  menjamin pemasukan pungutan sebanyak-banyaknya bagi kas Belanda (terutama yang berasal dari pelaksanaan aturan tanaman paksa). Penghulu Kepala (di Sulit Air populer dengan sebutan Ongku Palo atau Tuok Palo) pada hakekatnya tugasnya sama dengan Kepala Laras ditambah sebagai alat penghubung antara Kepala Laras ke bawah di nagarinya, tapi tidak boleh menghadiri rapat-rapat adat. Sedang tugas penghulu rodi adalah sebagai mandor, kaki tangan Belanda, memata-matai tingkah laku rakyat yang dicurigai. Dia menjalankan setiap perintah yang datang dari atas dengan sasaran pokok: menghimpun sebanyak mungkin pungutan dari rakyat (terutama dari penjualan kopi).
Pusat nagari berada di Balailamo - jorong Koto Gadang
          Penderitaan rakyat semakin berat, apalagi sejak November 1847, Belanda mewajibkan seluruh hasil kopi dijual kepada Belanda. Untuk itu dibangun 80 pakus (gudang) kopi di Sumatera Barat. Dari jumlah itu, 5 pakus besar ada di Solok dan 4 pakus kecil ada di Singkarak. Di Bukit Tinggi hanya ada 3 pakus besar, Padang Panjang hanya 1 pakus besar + 1 pakus kecil, Batusangkar 2 pakus besar. Daerah Solok memang penghasil  kopi yang besar pada masa itu.  Dapatlah kita membayangkan, bagaimana penduduk Sulit Air harus mernjual dan membawa sendiri hasil panen kopinya ke gudang kopi yang ada di Singkarak itu. Belanda menetapkan selain harus dijual kepada Belanda, juga harus diantar sendiri ke gudang (franco pakhuis.)

          Kepala Laras digaji oleh Belanda, sedang Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi memperoleh komisi dari hasil kegiatan usahanya. Rodi adalah kewajiban bekerja (berladang, memperbaiki jalan, jembatan dsbnya) yang diperintahkan Belanda tanpa mendapat upah.  Maka Penghulu Rodi amat berat tugasnya, sering dibenci dan dicemooh rakyat. Tugas berat dan tidak berprikemanusiaan yang dibebankan Belanda kepada ketiga jenis penghulu model Belanda tsb, erat kaitannya dengan Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa dan Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat yang masih berlangsung.  Untuk membiayai kedua perang yang menelan biaya besar itu, menyebabkan kas Belanda sudah terkuras habis.

          Untuk mengatasi kesulitan itu,  Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van de Bosch pada tahun 1830 menetapkan UU Cultuurstelsel (Aturan Tanam Paksa). Rakyat diharuskan menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekspor (terutama kopi) untuk kemudian diserahkan kepada Belanda secara sukarela. Aturan itu diterapkan dengan sangat keras dan kejam, yang membuat  rakyat terluka dan sangat menderita. Itulah yang menjadi salahsatu sebab kaum adat yang tadinya berperang dengan kaum Paderi, berbaik dan bersatu kembali untuk sama-sama memusuhi Belanda. Maka lahirlah persatuan antara keduanya dan tercetuslah sebuah  piagam (deklarasi) di Bukit Marapalam, dekat Lintau, pada tahun 1833, yang kemudian sangat terkenal sebagai Piagam Marapalam. Bunyi piagam itu sering kali disebut-sebut oleh orang Minang untuk keteguhan dan kebanggaan akidah keislamannya: adat bersendi syarak, syarak bersendikan Kitabullah. Yang dimaksud dengan Kitabullah tsb adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

          Atas desakan kaum liberal di Negeri Belanda, Cultuustelsel yang tidak berprikemanusiaan tsb dihapuskan secara bertahap. Rapat para Kepala Laras se Minangkabau yang diadakan di Bukit Tinggi dan dipimpin oleh Komisaris Hindia Belanda Mr. Kinderen pada tanggal 6 April 1865 memutuskan kekuasaan Kepala Laras dikurangi. Dan pada tahun 1873 UU Governemen yang dibuat Belanda berlaku sepenuhnya.  Berarti pemerintahan adat yang bertumpu pada penghulu berakhir sudah. Budidaya kopi yang dipaksakan baru benar-benar dihapuskan pada tahun 1908, diganti dengan pajak biasa. Maka sekarang kita tidak melihat lagi kebun-kebun kopi yang luas di Kabupaten Solok dan sekitar Danau Singkarak, karena tidak ada lagi kekuatan yang memaksakan penanamannya.

          Dengan Stablad No 321 tahun 1913, jabatan Kepala Laras (Tuanku Lareh), jabatan Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi  dihapuskan di Sumatera Barat. Sedangkan nagari dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Sebutan yang populer adalah Kepala Nagari, Engku Kepala, di Sulit Air sebutannya Ongku Palo (Tuok Palo).  Pengganti yang setingkat dengan kepala laras adalah demang.. Wilayah kedemangan umumnya lebih luas dari kelararasan. Gaji demang lebih tinggi daripada Kepala Laras, diperlakukan sebagai pegawai negeri, yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan kemana-mana.

          Selama pemerintahan kelarasan (1833-1913) ciptaan Belanda, nagari Sulit Air mempunyai 4 tuanku lareh. Keempat tuanku lareh itu berturut-turut adalah: Tuanku Lareh I Dt. Bandaro (1833-1852), Tuanku Lareh II Dt. Sutan Bandaro (1852-1888), Tuanku Lareh III Dt. Pamuncak Perkasa Alam (1888-1902), dan Tuanku Lareh IV Dt. Rajo Mansyur (1902-1912). Hamdullah Salim belum menemukan apakah kelarasan Sulit Air sama dengan kawasan Sulit Air (karena demikian luasnya)? Ataukah ditambah dengan  nagari-nagari lainnya, umpamanya nagari-nagari di Kec. X Koto Diatas sekarang.
Dilihat dari peta alam Minang Kabau, Nagari Sulit Air berada dalam kerajaan Pariangan, dengan menganut kelarasan koto Piliang. Sepertinya perlu ditelusuri lebih dalam lagi. (MozaikMinang)
           Pada dekade terakhir abad ke- 19, Provinsi Sumatera Barat terdiri atas 3 resindensi, yakni Tapanuli, Padangsche Benedenlanden (Pesisir Bagian Barat, yakni Painan, Padang, Pariaman, Air Bangis, Rao ), dan Padang Bovenlanden (Padang Darat, wilayah Sumbar sekarang minus pesisir tsb). Tahun 1906, Tapanuli dilepas dari Sumatera Barat. Menjelang Perang Dunia I (1914-1918), sebutannya berubah menjadi Residensi Sumatera Barat dan terbagi atas 8 afdeeling (setingkat kabupaten sekarang). Ke-8 afdeeling tsb adalah: Padang, Painan, Batipuh dan Pariaman, Agam, Lubuk Sikaping, 50 Koto, Tanah Datar, dan Solok.

          Pembagian di bawah afdeeling adalah onderafdeeling (kewedanaan, lebih kecil dari kabupaten namun lebih besar dari kecamatan sekarang). Di bawah onderafdeeling adalah district (setingkat nagari), sebagai struktur terbawah instansi pemerintahan Hindia Belanda pada masa itu. Berarti Sulit Air berstatus distrik pada waktu itu.  Dalam koran “Oetoesan Melaju” tanggal 1 April 1916 Hamdullah Salim  temukan daftar demang dan asisten demang yang baru saja dilantik, dengan urutan antara lain sebagai berikut:
10.   Soelit Air district , Singkarak Onderafdeeling, dan Afdeeling Solok, bertempat di Paninjaoean, dengan Asisten Demang Loedin gelar Soetan Mangkoeto.
Sejarawan Sulit Air bapak Hamdullah Salim, (baju merah-celana hitam) ketika menyaksikan Pulang Basamo SAS & IPPSA
          Dari kutipan tsb dapat di simpulkan bahwa Sulit Air pada tahun 1916 tsb adalah sebuah distrik, termasuk di dalam Onderafdeeling Singkarak, Afdeeling Solok. Secara operasional Kepala Distrik Sulit Air berada langsung dibawah Demang Singkarak, namun secara administratif dia berada di bawah kendali koordinator dan kendali asisten demang yang berkedudukan di Paninjauan. Asisten demang tsb kira-kira sama fungsi dan tugas pokoknya dengan Camat X Koto Diatas. 

          Kenapa asisten demang itu ditempatkan di Paninjauan, bukan di Sulit Air? Diperkirakan, untuk memudahkan koordinasi, mengingat Paninjauan itu terletak di tengah-tengah Kecamtan X Koto Diatas. Asisten demang yang dilantik pada tahun 1916 itu bernama Ludin Sutan Mangkuto. Sayang tidak disebutkan, siapa yang menjadi Kepala Distrik Sulit Air pada waktu itu. Menurut catatan Hamdullah Salim, yang menjadi Kepala Distrik Sulit Air pada waktu itu adalah  J. Dt. Malin Marajo.

          Demikianlah pemerintahan nagari yang demikian itu berlangsung terus di Sumatera Barat, mulai tahun 1913 sampai kedatangan Balatentara Jepang pada tahun 1942. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh.

Sumber: Mustari Rahmat & H. Hamdullah Salim  

--- Sekian ---

2 comments:

  1. Sejak tahun 1960, perantau orang Sulit Air sudah berubah menjadi perantau untuk menetap tinggal dinegeri perantauan dengan seluruh keluarga.
    Keturunan orang2 perantau Sulit Air sudah kawin campur dengan segala suku yang berlainan dari seluruh Nusantara Indonesia. Sekarang perantau2 Sulit Air sudah hidup & mati dan berkubur dinegeri perantauan.

    ReplyDelete
  2. Sejak tahun 1960, perantau orang Sulit Air sudah berubah menjadi perantau untuk menetap tinggal dinegeri perantauan dengan seluruh keluarga.
    Keturunan orang2 perantau Sulit Air sudah kawin campur dengan segala suku yang berlainan dari seluruh Nusantara Indonesia. Sekarang perantau2 Sulit Air sudah hidup & mati dan berkubur dinegeri perantauan.

    ReplyDelete