Sunday 25 January 2015

Baralek di kampuang

         
          Pelaksanaan perhelatan atau dalam bahasa Minang disebut Baralek, di kampung halaman ternyata jauh lebih ribet dibanding dengan jika dilaksanakan di rantau. Di rantau, kita bisa lebih santai dan fleksibel. Salah satu contohnya, urusan masak-memasak. Di rantau, kita bisa pakai jasa katering. Kita tinggal pesan apa yang kita mau. Tapi kalau di kampung, jangan coba-coba melakukannya. Tidak ada yang boleh diupahkan, harus dikerjakan secara bergotong-royong oleh penduduk kampung. Jika kita nekat mengupahkannya, maka kita telah menciderai perasaan warga kampung. Disnilah kemampuan sebuah keluarga di uji dengan kearifan budaya lokal yang kental dengan melestarikan nuansa adat serta mematuhi norma Islam yang ada.
          Acara baralek ini dilaksanakan secara gotong royong baik dari sisi biaya, maupun pelaksanaan nya. Bahkan keluarga bako pun wajib terlibat penuh dalam hal mmensukseskan acara baralek, Orang tua perempuan (anak daro) ataupun orang tua laki-laki (marapulai) sedkit banyak nya merasa terbantu, bisa dibilang tinggal beres saja.

          Baralek di Nagari Sulit Air menghabiskan beberapa hari dengan menjalani peranan masing-masing yang sudah terbiasa dijalanakan. Moment ini hanya sekali seumur hidup, bagi yang mengulangi nya cukup diketahui oleh keluarga dekat dan teangga. Namun sebelum hari "H" ada hal yang sangat penting tidak bisa diabaikan, yakni adat mamanggie (undangan) dalam kenagarian Sulit Air butuh waktu beberapa hari untuk melaksanakan nya. Biasanya mamanggia dilaksanakan 14-21 hari seblum hari pernikahan dilaksanakan.


          Dalam Mamanggie, tradisi yang biasa dibawa adalah berupa siriah pinang lengkap, kemudian beberapa bungkus rokok biasanya merek Gudang Garam16 dan Syamsu 123. Bahkan dulu nya sebelum ada rokok modern, yang dibawa adalah duduik (rokok dari pucuk aren dan tembakau iris). Tidak lupa orang yang mamanggie memakai peci atau kopiah itam, dan melilitkan sebuah sarung bugis dileher.
         Adat mamanggie juga membutuhkan sedikit keterampilan komunikasi berupa petatah-petitih yang nanti nya mengundang kaum suku, kerabat, tetangga dll. Baralek di Minang adalah kabar baik, maka dari itu perlu di imbaukan dalam bentuk mamanggie (bertemu langsung-bertatap muka). Lain hal nya jika berduka (meninggal) hanya perlu di ambaukan (disampaikan dari mulut ke mulut tanpa harus bertemu lansung.

         Lima hari memasuki hari "H" dimulailah prosesi adat yang berlaku, melibatkan para ninik mamak dan para bako juga keluarga besar kedua mempelai. Di Nagari Sulit Air, akad nikah berlansung pada hari Jumat di Masjid Raya Silungkang. Berikut ini prosesi yang akan berjalan yang memakan waktu 10 hari lebih jika dilaksanakan semua   :
  • Hari Senin barundiang berperanan Ninik Mamak, Urang Sumando dan Bundo Kandung dan bako dan marapulai.
  • Hari Selasa maarak anak pancau maksud mengantarkan pemberian bako kapada anak pisang yang kak kawin berperan kaum pihak bako.
  • Hari Rabu pertemuan urang sumando maksudnya urang sumando kedua belah pihak membicarakan tata cara penjemputan marapulai.
  • Hari Jum’at baralek pihak perempuan di rumah dan menjeput marapulai laki-laki pada malam hari masih banyak bertempat di rumah gadang adat dan pihak laki-laki mengantarkan marapulai berperanan adalah Ninik Mamak, Urang Sumando dana Bundo Kandung kedua belah.
  • Hari sabtu makan malam, Marapuai laki-laki menagajak makan malam para dunsanak, bako dan kawan-kawannya untuk makan ke rumah marapulai perempuan, pertanda memperkenalkan saudara kedua pihak.
  • Hari Minggu bararak , maksudnya pihak perempuan diantarkan ke rumah pihak laki-laki dengan membawa bekal makanan khas sepeprti Godok dan goring Pisang, Kubang-kubang, bubur sipuluik, samba 12, yang dating para kaum ibu dan bundo kandung pihak perempuan yang menanti juga para kaum ibu dan bundo kandung pihak laki-laki.
  • Hari Selasa hari manjalang, pihak perempuan menjalang keluar pihak laki-laki biasanya ke saudara pihak laki-laki atau ke mamk pihak laki-laki danjuga ke bako pihak laki-laki.
  • Hari kamis maantaan boli atau manjapuik kain, Pihak perempuan membawa bekal nasi, sambal kepada pihak laki-laki dan sekaligus membawa kain marapulai laki-laki kerumaha perempaun.
Jamuan adat setelah pernikahan berlansung
        Meski terasa tradisonal dan tidak praktis serta memakan waktu yang lama, kegiatan seperti ini sangat menarik dan bermanfaat hingga budaya adat minang selalu dapat dilestarikan. Bagi warga kampung, kebersamaan itu adalah segalanya walaupun terasa rumit untuk mewujudkannya. Jika sudah pernah melaksanakan baralek di kampung, rasa tidak sesulit yang dibayangkan. Apalagi ini bagian dari kebudayaan Minang dan banyak menyajikan nuansa sakral bagi pribadi juga nanti kelak. 
Acara barundiang menjelang Baralek
Samba gulai kambing, salah satu menu wajib acara baralek

----- Sekian -----

Friday 9 January 2015

Tigo Lareh di Minangkabau

          Jika selama ini masyarkat Minangkabau hanya mengenal dua keselarasan Koto piliang dan Bodi Chaniago, ternyata ada satu laras (LAREH) lagi yang menjadi penengah dibawah nagari kerajaan Pariangan. Betulkah dugaan nagari Sulit Air adat dan budaya nya berada di lareh yang ketiga ini ? pemimpin lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago sesungguh nya berdua adalah saudara. Apakah ada hubungan dengan lareh ke tiga ini ?  banyak ahli sejarah Minang mebuat sejarah nya masing-masing, tetapi kita mengambil  sejarah yang mendekati saja. Jika semua hampir memiliki perbedaan, dimanakah kesamaan nya yang ada ? mari kita baca lebih dalam lagi  :

 Lareh di zaman Balando

         Sebelum Belanda merebut dan menguasai Minangkabau melalui Perang Paderi (1821 s/d 1837), kekuasaan tertinggi di Minangkabau di pegang oleh penghulu. Adagium adat mengatakan: kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat. Tidak ada yang lebih tinggi daripada penghulu. Yang disebut mufakat tsb adalah mufakatnya para penghulu di balairungsari dalam bentuk kerapatan adat. 

          Pada awal mulanya, setiap penghulu memimpin sebuah suku, maka Belanda menyebut pemerintahan di Minangkabau sebagai pemerintahan suku. Karena yang berkuasa pada hakekatnya adalah rakyat (anak kemenakan) melalui penghulunya masing-masing di KAN tsb, maka disebut Belanda pula Minangkabau itu sebagai republik-republik   kecil (suku) yang diperintah penghulunya masing-masing. Sedang Raja Paguruyung hanya berkuasa di rantau (yakni di luar Minang yang mengakui pengaruh Pagaruyung)  dan  sebagai lembaga sakral memelihara  hubungan baik dan ketertiban antar nagari.   

          Dari sinilah lahirnya adagium rantau barajo, nagari bapanghulu atau sebutan indak barajo ka Pagaruyuang. Jia melihat sejarah tersebut benarlah kira adagium itu untuk warga Sulit Air, dikarenakan lebih banyak pasukan kaum paderi menjadikan nagari Sulit air bagian dari posko/benteng pertahanan menghadapi Belanda dulunya.
Letkol Elout penguasa tentara Belanda ini, turut andil dalam pembentukan Lareh di Minangkabau
          Belanda  dibawah kendali Letkol Eliot merasa repot dan sulit berhadapan dengan demikian banyak (empat ratusan) raja-raja kecil itu. Maunya hanya berurusan dengan segelintir orang, yang berkuasa atas rakyatnya. Walau Perang  Paderi (1821 s/d 1837) belum usai, namun Belanda sudah mulai berkuasa dan mencekamkan kuku jajahannya di ranah Minang. Melihat kekuatan pasukan paderi mulai berkurang ditambah peran kerajaan adat mulai dibatasi termaktublah tahun 1833 pasukan Paderi dan Kaum adat bersatu dalam perjanjian Bukit Marapalam, dikenal sebagai Adat bersandi Syara' - Syara' bersandi kitabullah. 

          Menyadari hal itu Tentara Belanda bukanlagi menghadapi pasukan Paderi melainkan keseluruhan masyarkat  Minangkabau. Maka itu tahun itu pula pasukan penjajah juga membuat maklumat "Plakat Panjang" termasuk didalam nya mulai diperkenalkan  secara sistem kelarasan (laras= sama, sesuai, cocok) di Minangkabau. Walau penghulu tetap diakui, tapi kekuasaannya mulai dikurangi sedikit demi sedikit. Nagari tidak lagi diperintah oleh para penghulu tapi oleh tiga pejabat penting kenagarian yakni  Kepala Laras  (Tuanku Lareh), Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi.

           Kepala Laras memerintah kelarasannya yang terdiri dari beberapa nagari yang ditentukan.  Dialah yang bertanggungjawab kepada Belanda. Tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban nagari-nagari di kelarasannya,  menjamin pemasukan pungutan sebanyak-banyaknya bagi kas Belanda (terutama yang berasal dari pelaksanaan aturan tanaman paksa). Penghulu Kepala (di Sulit Air populer dengan sebutan Ongku Palo atau Tuok Palo) pada hakekatnya tugasnya sama dengan Kepala Laras ditambah sebagai alat penghubung antara Kepala Laras ke bawah di nagarinya, tapi tidak boleh menghadiri rapat-rapat adat.


          Selama pemerintahan kelarasan (1833-1913) ciptaan Belanda, nagari Sulit Air mempunyai 4 tuanku lareh. Keempat tuanku lareh itu berturut-turut adalah: Tuanku Lareh I Dt. Bandaro (1833-1852), Tuanku Lareh II Dt. Sutan Bandaro (1852-1888), Tuanku Lareh III Dt. Pamuncak Perkasa Alam (1888-1902), dan Tuanku Lareh IV Dt. Rajo Mansyur (1902-1912). Tapi pada tahun 1913 dengan Stablad No 321 , jabatan Kepala Laras (Tuanku Lareh), jabatan Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi  dihapuskan di Sumatera Barat. Sedangkan nagari dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Sebutan yang populer adalah Kepala Nagari (wali nagari), di Sulit Air sebutannya Ongku Palo (Tuok Palo).

Sistem kelarasan:

          Menurut kepercayaan orang Minangkabau yang berpedoman kepada tambo Alam Minangkabau, pertama sekali didirikan Lareh Nan Panjang yang berpusat di Pariangan Padang Panjang yang dianggap sebagai nagari tertua di Minangkabau. Pucuk pimpinan pada waktu itu Dt. Suri Dirajo. Nagari yang termasuk daerah Lareh Nan Panjang adalah : Guguak Sikaladi, Pariangan, Padang Panjang, Sialahan, Simabua, Galogandang Turawan, Balimbiang. Daerah ini dikatakan juga Nan Sahiliran Batang Bangkaweh, hinggo Guguak Hilia, Hinggo Bukik Tumansu Mudiak.

          Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan):  yang dipimpin oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah.

          Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan): yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di Limo Kaum.
Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut; duduak samo randah tagak samo tinggi.

Kedudukan raja terhadap dua kelarasan Koto Piliang dan Bodi Chaniago):

Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai pemersatu.

Tempat persidangan

1. Balai Panjang.
Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi Caniago, Rajo-rajo
di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.

2. Balairung
Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung

3. Medan nan bapaneh
Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh dipimpin
Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih

4. Medan nan Balinduang
Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan Balinduang dipimpin
oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.

5. Balai Nan Saruang
Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan Saruang

Lareh nan duo:

          Lareh atau sistem, di dalam adat dikenal dengan dua; Lareh Nan Bunta dan Lareh nan Panjang. Lareh nan Bunta lazim juga disebut Lareh Nan Duo, yang dimaksudkan adalah Kelarasan Koto Piliang yang disusun oleh Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang. Sedangkan Lareh nan Panjang di sebut; Bodi Caniago inyo bukan, Koto Piliang inyo antah disusun oleh Datuk Suri Nan Banego-nego.(disebut juga Datuk Sikalab Dunia Nan Banego-nego) Namun yang lazim dikenal hanyalah dua saja, Koto Piliang dan Bodi Caniago.

          Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah berdirinya kedua kelarasan itu. Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang kakak adik lain ayah, sedangkan Datuk Suri Nan Banego-nego adalah adik dari Datuk Perpatih Nan Sabatang. Di dalam tambo disebutkan;
Malu urang koto piliang, malu urang bodi caniago.

Didalam mamangan lain dikatakan :
Tanah sabingah lah bapunyo, rumpuik sahalai lah bauntuak
Malu nan alun kababagi.

A. Kelarasan Koto Piliang:

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Putiah
Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:

Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang
Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang
Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang
Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang

(Ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)
Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang.
Ciri rumah gadang Koto Piliang, beranjung (serambi ) dikiri dan kanan. Dimana lantai nya lebih tinggi dari lantai ditengah. Seperti rumah gadang Pagaruyuang Batu Sangkar.
          Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalahdaerah kedudukannya. Setiap basa membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti di Saruaso dll). Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan sebagainya. Misalnya; Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu. Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan. Indomo untuk daerah pesisir barat utara.

Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan. Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut. Catatan : Masing-masing unsur (elemen) dari perangkat adat ini banyak diubah dan berubah akibat ekspansi pemerintahan Belanda dalam mencampuri urusan hukum adat. Namun “batang” dari sistem ini tetap diikuti sampai sekarang.
Beginilah rupawan para Datuk dahulu nya , pada tahun 1920-1930.
Langgam nan tujuah (7 daerah istimewa) :
Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja. Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai. Daerah-daerah istimewa ini mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri dan sampai sekarang masih dijalankan.

Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing :
1. Pamuncak Koto Piliang
Daerahnya Sungai Tarab salapan batu
2. Gajah Tongga Koto Piliang
Daerahnya Silingkang & Padang Sibusuak
3. Camin Taruih Koto Piliang
Daerahnya Singkarak & Saningbaka
4. Cumati Koto Piliang
Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik
5. Perdamaian Koto Piliang
Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang
6. Harimau Campo Koto Piliang
Daerahnya Batipuh 10 Koto
7. Pasak kungkuang Koto Piliang
Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan

Sistem yang dipakai dalam kelarasan Koto Piliang:
Memakai sistem cucua nan datang dari langik, kaputusan indak buliah dibandiang.
(Maksudnya; segala keputusan datang dari sang raja. Dan raja pula yang akan menentukan)

Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai, diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat kepada Rajo Adat, dan urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat. Blia kedua rajo tidak dapat memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam. Rajo Alamlah yang memutuskan.

Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalag sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka Basa Ampek Balai, Basa Ampek Balai ka Rajo Duo Selo.

B. Kelarasan Bodi Caniago

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum.
Di bawahnya disebut Datuak Nan Batigo; Datuk nan di Dusun Tuo, Datuk nan di Paliang, Datuk nan Kubu Rajo. (Nama-nama Datuk tak disebutkan, karena mereka memakai sistem “gadang balega”, pimpinan dipilih berdasarkan kemufakatan (Hilang Baganti).
Ciri rumah gadang Bodi Chaniago, lantai nya datar dari kiri ke kanan. Seperti rumah gadang yang ada dikota Padang Panjang-Nagari Kerajaan Pariangan dahulu nya.
Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang nan ampek, lubuak nan tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak buleknyo):

Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
Tanjung Sungayang
Tanjuang Alam
Tanjuang Barulak
Lubuk Sikarah
Lubuk Sipunai
Lubuk Simawang

Sistem yang dipakai dalam kelarasan Bodi Caniago:
"Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah. Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang"

Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang kerapatan para penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum.

Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalah sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, nan bana badiri sandirinyo.

C. Lareh Nan Panjang

Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo
Selain itu pula, ada satu lembaga lain yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaan antara Datuk Badaro Putiah di Sungai Tarab (Koto Piliang) dengan Datuk Bandaro Kuniang (Bodi Caniago). Dia bukan dari kelarasan Koto Piliang atau Bodi Caniago, tetapi berada antara keduanya.

Di dalam pepatah adat disebutkan:

Pisang sikalek-kalek utan
Pisang simbatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto piliang inyo antah

Daerah kawasannya disebut : 8 Koto Diateh, 7 Koto Dibawah; Sajak dari guguak Sikaladi Hilie, sampai ka Bukik Tumasu Mudiak, Salilik Batang Bangkaweh.

8 Koto Diateh terdiri dari; Guguak, Sikaladi, Pariangan, Pd.Panjang, Koto Baru, Sialahan, Koto Tuo, Batu Taba.

7 Koto Dibawah terdiri dari; Galogandang, Padang Lua, Turawan, Balimbiang, Kinawai, Sawah Laweh, Bukik Tumasu.

Dengan demikian, ada tiga Datuk Bandaro di dalam daerah kerajaan itu.

Kemudian disusul dengan adanya Datuk bandaro Hitam yang juga punya fungsi sama seperti Datuk Bandaro Putiah, dengan kedudukan di wilayah Minangkabau bagian selatan (Jambu Limpo dllnya).

Penghulu:
Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya.

Perangkat itu terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang nan ampek jinih.
Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak yang mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia juga bergelar datuk.

Nama Gelar Penghulu :
          Nama gelar penghulu yang mula-mula hanya terdiri satu kata; Bandaro misalnya. Datuk Bandaro. Pada lapis kedua, atau sibaran baju, nama datuk menjadi dua kata, untuk memisahkan sibaran yang satu dengan sibaran yang lain; Datuk Bandaro Putih, Datuk Badaro Kuniang, Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Bandaro Hitam.

          Apabila kemenakan datuk Bandaro ini sudah semakin banyak, dan memerlukan seorang penghulu untuk mengatur mereka, maka mereka memecah lagi gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah sibaran pada peringkat ke empat dari gelar asalnya. Begitu seterusnya. Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah sibaran dalam tingkat ke sekian.

Sumber : MozaikMinang - Hamdillah usman

Monday 5 January 2015

Nagari Sulit Air dan Samba Itam Galundi

balai lamo
Jorong Silungkang
GEOGRAFIS

          Nagari Sulit Air yang letak geografisnya berada diantara 0° – 3’ LS dan 100.28° BT merupakan salah satu Nagari terluas yang posisinya berada pada bagian Utara Propinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data terakhir yang diterbitkan oleh Direktorat Bina Program Direktorat Jendral penyiapan Pemukiman Departemen Transmigrasi 2005 bahwa ketinggian daerah Nagari Sulit Air berada pada 500-750 M dpl. Tetapi unik nya ada yang disebut gunung merah, lazim nya disebut gunung memiliki minimal tinggi 1000 M dpl, itulah Sulit Air.

         Selain itu nagari ini dibelah dengan aliran air batang katialo membagi wilayah jorong Koto Gadang dan Silungkang. Disamping memiliki empat buah Taratak diantara nya Taratak Bukit Tarogung, taratak guguk Muncuang, Taratak guguk Jonggi dan Taratak Bukit Sibumbun. Nagari yang termasuk jauh berada dipedalaman Sumatera Barat, namun memiliki warga dan organisasi mobilitas sosial yang tinggi dari negeri-negeri lain nya.

Jika diukur dengan jarak tempuh dari pusat ibukota Sumatera Barat bisa dilihat dari:
  • 6 Km dari Pusat Kecamatan X Koto Diatas
  • 28 Km dari Kota (pasar) Solok
  • 55 Km dari Pusat Kabupaten Solok (Kayu aro)
  • 96 Km dari Pusat Propinsi Sumatera Barat (Padang)
Nagari Sulit Air berada di kecematan X koto Diatas berbatas dengan :
  • Utara            :  Nagari Pasilihan
  • Selatan         :  Nagari Tanjung Balit (ibukota kecamatan)
  • Timur           :  Nagari Talawi – Nagari Kolok (Kab Sawah Lunto)
  • Barat            :  Nagari Kacang dan Nagari Bukit Kandung

          Secara Administratif Luas Nagari Sulit Air adalah 77.6 km² yang terdiri dari 13 Jorong. Secara geografis Nagari Sulit Air pada dasarnya sangat potensial untuk dikembangkan sebagai daerah Wisata Alam dan air terjun, Industri rumahan dan petambangan batu bata, batu hijau karena posisi strategisnya berada pada perbukitan dan potensi alam yang banyak mengandung mineral. Bahkan kain tenun untuk mukena dulu nya sangat menjanjikan nilai pasar nya, sekarang dicoba lagi oleh Wali nagari menghidupkan bordiran puti anggo jati untuk meluaskan pasar tenunan tersebut. 

       Adapun jorong terluas yakni jorong Basung 10,6 km2, jorong Rawang 9 km2, Jorong Talago Laweh 9 km2 dan jorong terkecil yakni jorong Koto Gadang selaus 2,1 km2. Hari Jumat adalah hari pasar/balai di jorong Koto Tuo bagi nagari, adapun hari pasar senin nya pindah ke Jorong Silungkang - Guak Rayo. Saat ini ada 11 masjid yang berdiri dan 49 surau /musholla pada tiap-tiap jorong. Memiliki Sekolah setara SMP empat sekolah termasuk cabang Gontor XI, setara SMA tiga sekolah dan satu perguruan tinggi El-Hakim.


NO NAMA JORONG LUAS (Km2)
1 Silungkang 5
2 Koto Tuo 4
3 Gando 5
4 Koto Gadang 2
5 Basung 10.6
6 Linawan 6
7 Rawang 9
8 Siaru 7
9 Kunik Bolai 6
10 Taram 4
11 Batu Gale 4
12 Sarikieh 6
13 Tl Laweh

GALUNDI 

          Pohon galundi bukanlah pohon khas Sulit Air. Sebenarnya dimana-mana kita bisa menemukan pohon galundi. Di Parang Tritis, di pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, dulu tumbuh subur pohon galundi. Di rawa-rawa hutan Kalimantan Tengah, ditemukan pohon galundi. Namun pohon-pohon galundi tsb nampaknya diperlakukan sebagai pohon liar, yang tidak ada atau sedikit sekali manfaatnya. 
 
          Beda dengan Sulit Air, buah pohon galundi dijadikan sebagai menu makanan yang istimewa, yakni sambal itam. Biji-biji galundi dipanaskan atau direndang di dalam periuk, setelah gosong, ditumbuk sampai halus. Serbuknya yang hitam pekat seperti arang dicampurkan ke dalam gulai ayam atau gulai ikan maco (ikan laut kecil), maka jadilah ia samba itam yang enak rasanya, yang jadi kebanggaan orang Sulit Air. Jika ingin mencoba bumbu galundi, dimasjid Sunda Kelapa - Menteng Jakarta Pusat setiap minggu pagi juga ada yang menjual nya. Dibungkus satu plastiknya dengan berat satu ons 20 ribu rupiah, cukup untuk masak satu ekor ayam.


          Pertama kali melihat sambal atau gulai yang hitam seperti lumpur itu, mungkin orang akan enggan sekali mencicipinya. Tapi bila sudah mencobanya, tentulah akan tersenyum dan mengatakan enak betul atau maknyus! Samba itam ini boleh dikatakan khas Sulit Air, karena nagari-nagari tetangga sekitar Sulit Air sekali pun, seperti Tanjung Balit dan Tanjung Alai, tidak mengenal sambal ini. Warga Sulit Air di perantauan banyak yang menanam pohon galundi di halaman rumahnya untuk menandakan bahwa rumah itu milik warga Sulit Air dan pemilik rumah itu suka membuat sambal itam sebagai salahsatu santapan kesukaannya. 

          Bahkan  sewaktu dibangun “Pondok Modern Darussalam Gontor” pada tahun 2009 dan 2010 di Ompang Talago Loweh Sulit Air, pimpinannya KH Abdullah Sahal sudah beberapa kali berkunjung ke Sulit Air dan selalu membawa isterinya. Nyai Hasan demikian terkesan dengan nagari dan warga Sulit Air, kepencut (senang  sekali) dengan menu-menu ala Sulit Air, terutama samba itam. Beliau bawa  serumpun  batang  galundi dan ditanamnya di halaman rumahnya di Gontor dan ternyata tumbuh dengan baik di sana.

          Hebatnya lagi, dengan menanamkan patahan pohon galundi di dalam tanah, kemudian disirami beberapa waktu, maka patahan pohon itu akan tumbuh dengan subur, besar dan tinggi, sampai mencapai atap rumah. Banyak juga di antara orang Sulit Air yang membeli serbuk buah galundi yang didatangkan langsung oleh pedagang dari Sulit Air. Bahkan setiap minggu pengajian di Masjid Sunda Kelapa Jakarta Pusat, bubuk Galundi, pemasak, kerupuk kulit bahkan kerupuk Joriang ada tersedia disana tak lupa sate Titi, pecel Uni Kramat serta makanan khas lain nya.

           Saat ini ada dua rumah makan padang milik warga Sulit Air di kota Jakarta sudah ada yang menjual sambal ayam itam sebagai menu spesialnya, salah satu nya disajikan hanya ada setiap Jum'at di rumah makan SAGO JAYA beralamat Jl.Pejambon seberang Gereja Immanuel - Stasiun Gambir dan yang kedua rumah makan UPIK NORA yang terkenal dulu di pusat tanah abang pindah di pasar rumput, diteruskan oleh anak nya.  Disini tersedia gulai kambing, ayam panyikek, ikan gulai patin dan joriang balado. Ternyata juga digemari oleh segenap pelanggan-pelanggan non Sulit Air. Suatu waktu nanti, insya-Allah sambal itam akan menjadi santapan pop kuliner asli nagari Suliek Aie, seperti halnya nasi kapau yang sekarang banyak disukai dan menjamur di mana-mana. Amin.


-- Sekian --

Saturday 3 January 2015

Pelajaran adat dengan kearifan lokal Minangkabau


Assalamualaikum Wr wb....

          Seringkali dunsanak mendengar kata yang satu ini tapi belum tahu apa makna yang sebenarnya dari ungkapan tersebut, makna dari kato nan ampek itu adalah tata krama dalam berbicara di lingkungan adat minangkabau. Kata ini ada 4 macam yakni nya :


A. Kato mandaki :

           Merupakan sebuah ungkapan pendidikan bagai mana cara berbicara dan bersikap kepada orang yang lebih tua dari kita. kato mandaki merupakan sikap yang kita tunjukan kepada orang yang lebih tua seperti kalau berbicara sopan, mendengarkan nasihatnya, tidak membantah pembicaraan atau pengajarannya. Ungkapan kata mendaki ini adalah cara pergaulan kepada orang yang lebih tua seperti anak kepada orang tuanya, kemanakan kepada mamak, murid kepada guru dan adik kepada kakak.

B. Kato manurun :

          Ungkapan yang menggambarkan bagaimana cara bersikap, berbicara seseorang dengan yang lebih muda dengan kita. di artikan juga dengan tindakan mengayomi, menyayangi yang lebih kecil dari kita. ungkapan ini di gunakan oleh orang tua kepada anak, guru kepada murid ,mamak kepada keponakan dll.

C. Kato mandata :

         Kato mandata ialah ungkapan sikap berbuatan atau tindakan cara berbicara yang sebaya dengan kita. ungkapan ini digunakan oleh teman sepermainan. saling menghormati dan menghargai.

D. Kato malereang :

          Ungkapan sikap tindakan dan cara berbicara dengan orang yang kita segani, hormati. ungkapan ini ditujukan dalam pergaulan sehari hari antara Datuak (kepala suku) dengan masyarakat,Ustad dan jamaah, Ayah dan menantu dll

jadi gambaran orang minang seperti ini

-- nan Tuo di hormati
-- nan Ketek di sayangi
-- samo Gadang baok baiyo.

          Nagari Cumeti koto Piliang yakni Sulit Air dalam geografis nya juga selaras dalam pembentukan suku. Dimana nagari Sulit Air juga berpegang kepada hanya 4 suku yang di akui yakni Dalimo Panjang, Dalimo Singkek, Simabua dan Piliang. Unik nya kenagarian ini ada memiliki 13 jorong, tetapi yang lokasi Rumah Gadang tempat barundiang (musyawarah) cuma ada di ampek jorong yakni Jorong Koto Gadang, Jorong Koto Tuo, jorong Gando dan Jorong Silungkang.

          Namun sekarang memahami kato nan ampek mulai pudar dalam diri pemuda minang dikarenakan tidak ada lagi berfungsinya filter dari agama dalam diri pemuda minang yang sekarang malah hanyut dalam budaya asing yang datang dari dunia barat.


       Ungkapan kato nan ampek atau biasa juga disebut dengan jalan nan Ampek sudah menjadi ciri khas pergaualan masyarakat Minang kabau dari nenek moyang sampai pada saat sekarang ini. Orang jika merasa keturunan Minang yang salah berperilaku atau menempatkan posisinya disebut dengan indak tau jo nan ampek atau urang indak baradaik.

          Panulis hanya manaruihkan/maulang wasiat dari adaik Minang urang tuo dulu - semoga Alam takambang jadi guru. Wahai dunsanak kasadonyo berpegang teguhlah pada adat minang yang di wariskan dan di ajarkan oleh para Datuk dan niniak mamak kita dahulunya karena Minang selaras dengan ajaran dari agama Islam yang sangat mulia.

Di rumah Gadang Balairung sari Balailamo ini para datuk-datuk empat suku bermusyawarah Adat

Wassalamualaikum wr.wb

--- Sekian ---