Sunday, 31 July 2016

SAS sudah berusia 104 tahun (kisah keempat)

SAS baru baru ini, memaklumatkan hari jadi nagari bersama seluruh tigo tungku sajarangan
PENYUSUNAN AD-ART SAS
1. Dalam serial yg lalu disebutkan diatas dan berdasarkan penelusuran saya pada tahun 1970 ada 15 kota perantauan Sulit Air yang sudah punya perkumpulan bernama SAS. Ke-15 kota perantauan itu adalah: Padang, Pekan Baru, Medan, Tembilahan, Rengat, Teluk Kuantan, Jambi, Palembang, Betung, Palembang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Teluk Betung dan Jakarta. Tapi saya kemudian ingat bahwa Batu Raja dan Muara Dua pada tahun 1970 tsb juga sudah punya SAS. Justru pada tahun 1969 saya selaku Ketua “Corps Da’wah Wisma Gunung Merah” Yogyakarta membawa Ustadz Drs. Sulaiman Mahmud berda’wah ke kedua kota tsb atas petunjuk yang diberikan JA Dt Bagindo Marajo, ketua SAS Teluk Betung. Pengajian-pengajian justru diadakan di Gedung Pertemuan SAS, tidak jauh jauh dari Stasiun Kereta Api Batu Raja. Dan di Muara Dua, pengajian-pengajian diberikan di mesjid yang dibangun SAS, sebagian besar jemaahnya warga Sulit Air. 

Muara Dua pada waktu itu belum dapat dikatakan kota, mandi masih di tepian sungai, seperti kita mandi di Batang Katialo, yang dipenuhi warga Sulit Air dengan segala canda dan tawanya, asyik sekali rasanya. Muara Dua waktu itu bagaikan Sulit Air kedua, Dengan adanya catatan tambahan ini, berarti sudah ada 17 SAS perantauan. Ada juga kota lain seperti Pontianak dan Magelang yang menyebut SAS, tapi jumlah warga Sulit Airnya belum cukup untuk disebut perkumpulan (minimal 12 keluarga).
2. Panitia Pelaksana Konperensi sebenarnya sudah menyampaikan undangan kepada semua SAS-SAS perantauan yang ada alamatnya. Tapi yang dapat hadir hanya 7 utusan yakni dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Teluk Betung, Palembang, Padang dan Pekan Baru. Ada satu lagi utusan yakni Ahmad Paduko Baso (kakak Ramli Paduko Sutan) dari Pontianak yang gigih mengikuti konperensi sampai selesai karena kukuh menyebut utusan SAS Pontianak, pada hal di kota tsb baru 2-3 keluarga. 

Perkumpulan warga Sulit Air di Bandung semula bernama Warsab (Warga Sulit Air Bandung), pada tgl 2 September 1962 berubah menjadi PPSA (Persatuan Perantau Sulit Air) dengan maksud untuk membentuk organisasi persatuan warga Sulit Air yang punya cabang di kota-kota lainnya. Ini terinspirasi dari kesuksesan DPP IPPSA dan IPPSA menyelenggarakan Konperensi IPPSA V, tgl 22 s/d 24 Juli 1962 di Yogyakarta. Nah, keinginan atau embrio untuk membentuk organisasi pemersatu itu memang lahir dari konperensi yang bersejarah itu, yang juga melahirkan jargon “Sulit Air Jaya”. Tapi karena prakarsa ini macet, nama PPSA kembali berubah menjadi Warsab. Pada saat berlangsung Konperensi SAS di Ciloto, oleh utusannya nama Warsab langsung diganti menjadi SAS Cabang Bandung.
Mengapa hanya ada 7 SAS perantauan yang dapat hadir, ditambah dengan dari Pontianak itu? Ini dapat dimaklumi karena semula konperensi itu memang dimaksudkan untuk membentuk DPP SAS dan AD-ART SAS. Baru kemudian akan diadakan Konperensi SAS I, yang mengundang utusan-utusan dari seluruh perantauan. Tapi sejarah berbicara lain, konperensi itu kemudian dinyatakan sebagai Konperensi SAS I. 

Sebab lain, hubungan transportasi dengan Ibukota Jakarta tidaklah semudah dan semurah sekarang. Repelita I Pemerintah Orde Baru baru dimulai (1969), pembangunan jalan raya Trans Sumatera baru dikerjakan. Hubungan jalan raya antara Tanjung Karang dengan Palembang, di mana banyak terdapat kantong-katong masyarakat perantauan Sulit Air masih sulit. Umumnya orang pada waktu itu naik KA Patas Kertapati Palembang-Tanjung Karang. Disambung naik oplet atau bus ke Panjang, baru naik kapal Panjang- Merak (sekitar 6 jam), disambung naik bus ke Jakarta. Jadi jalan yang ditempuh sekali. Naik pesawat udara, tarifnya rata-rata empat kali naik angkutan darat itu. Dan dari Jakarta ke Ciloto Puncak itu, sebagian besar peserta naik bus Jakarta-Bandung. Yang punya dan naik sedan, saya kira tidak melebihi jumlah jari di tangan. Saya sendiri datang menghadiri konperensi tsb mendampingi utusan SAS Yogyakarta yang dipimpin oleh Zainal AbidinTipo.
3. Konperensi dibuka pada Jum’at malam tanggal 3 Juli 1970 dan dihadiri oleh Wali Nagari Nasrullah Salim Dt. Polong Kayo, berisi sambutan-sambutan. Selain mengambil tempat di villa “Aida” (milik HM Joesoef Ahmad) juga menyewa sebuah ruang pertemuan, terletak tidak dari villa tsb. Hari Sabtu, membicarakan perihal kesepakatan penyatuan organisasi di dalam SAS berpusat di Jakarta sedang SAS di tempat lain merupakan cabang-cabang SAS, pembahasan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) SAS dalam sidang-sidang komisi. 

Hari ketiga Minggu 5 Juli 1970, sebelum santap siang, dilanjutkan sidang pembahasan AD-ART SAS yang dipimpin oleh Syamsulbahri Nur. Beliau tadinya adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja di Jambi kemudian dimutasikan ke Pontianak; lalu beralih profesi mendirikan perusahaan embarkasi muatan kapal laut (EMKL) PT. “Jasa Sukma” di Tanjung Priok. Dan Syamsulbahri berpengalaman dan aktif di dalam keorganisasian persyarikatan Muhammadiyyah.
Pembahasan yang agak lama adalah perihal dimana dan kapan SAS lahir dilahirkan? Berbagai macam pendapat yang muncul. Ada yang bilang, kalau ingin tahu tahun kelahiran SAS, pergi ke Lubuok Toreh Gando, di sana ada dicatatkan. Saya penasaran, di tahun 1973 waktu Konperensi SAS III, saya berkunjung ke Lubuok Toreh. E, ternyata benar, di suatu batu ada dituliskan kata-kata “Dilarang mandi bertelandjang disini” dan di bawahnya ada kata-kata dalam hurup besar: SAS. Tapi angka tahunnya sudah samar sekali, tidak terbaca lagi. Jelas sekali grafiti itu dibuat sesudah lahirnya SAS. 
Cabang SAS Padang berkontribusi besar dalam pergerakan organisasi ini dimasa lampau
Dalam Konperensi SAS di Ciloto itu, utusan SAS Padang gigih sekali mempertahankan bahwa SAS itu sudah ada di Padang pada tahun 1918. Maka sidang kemudian memutuskan bahwa SAS dilahirkan di Padang pada tahun 1918. Karena tidak jelas tanggalnya, maka tanggal pengesahan AD-ART SAS tgl 5 Juli 1970 sebagai hari lahirnya konstitusi SAS ditetapkan sebagai tanggal kelahirannya, hingga lengkap menjadi 5 Juli 1918. Dengan ditemukannya Prasasti Mato Ayie SAS 1912, seperti telah saya sampaikan, berubah lagi tahunnya, maka ditetapkanlah tanggal 5 Juli 1912, sebagai Hari Lahir SAS.
Pada hari ketiga tsb, yakni Minggu 5 April 1970, sebelum santap siang, semua pembahasan mengenai AD-ART SAS sudah diselesaikan, tinggal mengetik ulang hal-hal yang dikoreksi, diperbaiki bahasanya, ditambah atau dikurangi, untuk dibacakan dan disahkan di dalam sidang pleno, pada malam penutupan (closing ceremony). Dan pada siang itu juga secara aklamasi ditetapkan Syamsulbahri Nur sebagai Ketua Umum DPP SAS buat pertama kalinya dan diberi wewenang untuk melengkapi formasi dan personalia DPP SAS yang pertama itu.
4. Yang menjadi kenangan indah bagi saya dari konperensi SAS yang baru pertama kali diadakan itu, bagaimana riang gembiranya tokoh-tokoh Sulit Air dan para penggembira warga Sulit Air yang berbondong-bondong datang ke Ciloto untuk memeriahkannya. Pada hal pada masa-masa sebelumnya banyak di antara mereka yang berseteru keras, indak sabuni, termasuk para ibu-ibu, yang sudah barang tentu, mengikuti aliran kemauan suaminya masing-masing. 

Berbeda dengan masa sekarang, Ciloto Puncak di waktu itu benar-benar dingin, menggeletarkan bibir, lutut dan tulang, hingga banyak yang menggunakan jaket, jas, atau mantel. Rasa-rasa terbayang gerak langkah Ibu Aminah Amran selaku tuan rumah pemilik villa, menginspeksi kancah-kancah gulai ompuok, mencicipi gulai: -ola taraso garamnyo atau lai indak ka-asinan? Ketika selubung daun pisang dibuka, maka berhamburanlah keluar aroma harum gulai jawi pamasak kambiang, yang membuat perut para peserta semakin lapar, ingin cepat-cepat menyantapnya. Dan sewaktu acara santap siang datang, banyak yang minta tambuah, maklum hari dingin amat, membuat perut tak kunjung kenyang, menyantap menu-menu khas Sulik Ayie, racikan para ibu tsb.
5. Ada satu lagi kenangan indah saya. Waktu acara santap siang selesai, atas permintaan panitia, maka berdirilah Kaharuddin Saleh Bujang Sati, untuk mengumpulkan derma dari para peserta yang akan disumbangkan kepada nagari Sulit Air. Sebagaimana biasa, kalau Bujang Sati yang berbicara, orang-orang tentu terdiam dan senang mendengar ucapan dan kelakarnya. Beliau seorang orator ala Sulit Air yang luar biasa, banyak yang terngaga dan tetawa mendengar obrolannya. Beliau memancing agar banyak orang memberikan sumbangan untuk membangun. 

Di masa itu, karena merasa gengsi dan malu disentil Bujang Sati di hadapan orang ramai, disebutkan saja angka sumbangan yang besar, pada hal belum tentu ada kemampuan untuk membayarnya nanti. Bujang Sati yang berpengalaman dengan hal tsb, ketika ada yang mengangkat dan berteriak:
“Bujang Sati, tolong catat, ambo duo ratui ribu!"
Mendengar teriakan tsb Bujang Sati tersenyum dan mungkin karena sekedar ingin berkelakar memanaskan , dijawabnya teriakan tsb: “Indak usah duo ratui ribu. Saratuih ribu jadi………tapi kini!” Orang tsb, Ramli Paduko Sutan jadi tersinggung dan merah mukanya dan dibalasnya: “Itu manyingguong namo e ma Bujang. Gorah kudo indak topek di forum resmi sarupo. Jadi pamimpin harus mampu mengendalikan emosi!”
Suasana jadi tegang dan hening, menanti apa gerangan yang hendak dikatakan Bujang Sati. Bujang Sati tetap tenang dan senyum, dijawabnya santai: “Paduko Sutan, siapo nan emosi? Kalau emosi tontu ambo indak bisa tasonyum, muko sirah, co la liek ongku-ongku sakalian, bukankah muko ambo jonieh, indak ado tando-tando sadang emosi?”. Ucapan Bujang Sati disambut tepuk tangan oleh hadirin, suasana yang tegang kembali mencair, tergelak-gelak kembali, termasuk Ramli Paduko Sutan dari Bandung. (Bersambung)

Sumber: H. Drs. Hamdullah Salim

No comments:

Post a Comment