Saturday, 30 June 2018

Uniknya nama-nama jalan di kampung

Warga SAS yang dari rantau, mungkin hampir sekali dua tahun pulang ke kampung halaman Sulit Air. Namun mereka mungkin hanya tahu lokasi rumah orang tua atau rumah keluarga bako, selain itu adalah lokasi wisata dan lokasi pasar yang cukup familiar dilewati setiap hari. Mungkin anak-anak muda Sulik Air masa sekarang banyak yang tidak tahu dengan nama-nama pada maso sisuok itu, sudah berubah namanya karena penanda yang menyebabkan bernama demikian sudah tidak ada lagi. Sedikit kita ulas, mungkin dunsanak pernah singgah tapi lupa nama nya. Berikut diurutkan dari pintu masuk jalan dari nagari Tanjung Alai (Kec. X koto dibawah) menuju nagari Sulit Air (kec.X koto diatas). Nama jalan yang dilalui mobil ini khusus kali ini adalah jalan utama saja menuju berakhir dibukit Tambulun, belum termasuk daerah kedalam nya,  diantaranya : 

1. Padang Bungka 
2. Pulai 
3. Titi Jaruang 
4. Simpang Taram atau Batu Galeh  
5. Kelok Lubis
6. Piek Ontang
7. Batu Panakuik
8. Pasa Balai 
9. Lokuok atau Kelok Lokuok
10. Bawah Botuong
11. Bawah Durian
12. Goduong Timbau
13. Balai Lamo
14. Jembatan Titi
15. Sugabak
16. Kelok Dama
17. Guguok Rayo
18. Lu-ak Losuong
19. Lu-ak Nampuang
20. Gontiang Bawuo
21. Gontiang 
22. Lu-ak Bayau
23. Lu-ak Basuong
24. Tanah Putieh
25. Kubang Duo
26. Simpang Siaru 
27. Batu Bolah
28. Gontiang Bigau 
29. Gontiang Pandan
30. Jariangau
31. Pincuran
32. LInawan
33. Mala-on
34. Timbulun.

Belum disebutkan, nama-nama dari Simpang Tugu Koto Tuo sampai ke perbatasan Bukik Konduong; dari Titi sampai ke Tanah Sirah,di perbatasan dengan Tanjung Balik. Juga dari Gando, Kunik Bolai ke Kubang Duo, dari Gontiang sampai ke Basuong, Kumbangan dan Limau Puruik, Alai, Pisalak. Masih banyak lagi jalur-jalur jalan di Sulik Ayie. Semoga Generasi Muda Sulik Ayie masakini yang berdarah lebih segar dan deras, semangat masih berkobar, mampu melengkapi semuanya itu dalam suatu peta lengkap Sulik Ayie, yang juga menyangkut nama bukit, lubuok, lu-ak, lurah dan sebagainya. 

Sungguh hebat, betapa besar dan luasnya tanah pusaka kita Sulik Ayie, memiliki nama-nama tempat yang demikian banyak, sebagai karunia Allah, kiranya kita dan generasi penerus, dapat menyadari dan menyukuri nikmat ini. Saudara-saudara kita dari negeri lain belum tentu mempunyai apa yang disebut tanah pusaka atau tanah tercinta yang diakui sebagai milik bersama itu. Ini karena masyarakat Sulik Ayie itu adalah suatu keluarga besar bagaikan pohon beringin, akarnya seluk berseluk, pucuknya hempas menghempas, daunnya timpa bertimpa; seikat bak sirih, serumpun bak serai, sehina dan semalu mencintai masyarakat dan tanah pusakanya Sulit Air, sebagai manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan tanah airnya Indonesia. Demikian antara lain dicantumkan dalam mukadimah ad/rt organisasi SAS. 

Tahun 2011, waktu DPP SAS hendak membuat peta lengkap Sulik Ayie dengan bantuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kab. Solok, saya sudah minta agar semua nama itu dicantumkan. Saya katakan pula, bila nama-nama tsb demikian banyak, cukup ditandai dengan angka-angka kecil. Kemudian dalam lembaran atau halaman tersendiri, disebutkan daftar nama-nama berdasarkan urutan angka-angka tsb. Tapi entah apa sebabnya, mungkin karena terlalu banyak dan ruwet, peta yang sudah didistribusikan ke cabang-cabang SAS tsb tidak memuat hall-hal yang saya maksudkan tsb. Walau begitu, kita berterima kasih peta Sulik Ayie itu sudah ada, tinggal melengkapinya saja lagi sebagai edisi kedua atau edisi revisi nanti. Saya ada beberapa catatan atas nama-nama yang disebutkan tsb, sebagai berikut:

a. Belum dicantumkan nama tempat di perbatasan Sulik Ayie-Tanjuang Alai. Kalau tak salah namanya Lurah Barasok juga. Semoga dapat dijelaskan oleh yang lebih tahu;

b. Sebenarnya di setiap persimpangan jalan besar dengan lorong atau jalan setapak di Sulik Ayie ada pula diberi nama, seperti:

1) Di Piek Otang, jalan menuju ST El Hakim dan jalan setapak menuju Guok Taroguong dulu bernama Kampuong Harimau. Saya teringat, waktu saya sekolah di SR II Meses dulu di tahun 1952-1954. Bila terdesak hendak buang air kecil, dapat melepaskannya dengan berlari-lari ke bawah rimbunan pohon-pohon punik yang ada di samping sekolah tsb. Tapi bila terdesak hendak buang besar, saya harus pergi jauh sekali ke Kampuang Harimau di Piek Ontang itu. Saya tidak dapat menjelaskan, bagaimana halnya dengan guru dan murid2 perempuan bila mengalami hal demikian. Mungkin ada rumah atau tempat lain atau mungkin juga kakus itu ada, tapi karena satu dan lain hal enggan ke sana, maklumlah anak masih kecil, masih suka seenaknya dan cari gampangnya. Mungkin teman yang lain bisa menjelaskan;
2) Yang nomor nomor 7 yakni Batu Panakuik , dulu juga bernama Meses (sekarang di sana juga berdiri mesjid “Baitullah”), karena disinilah terletaknya SR II KotoTuo, bekas Sekolah Meisyes yakni Sekolah Kepandaian Puteri, peninggalan Zaman Belanda. Yang bernama Batu Panakuik, saya kira adalah kawasan antara Piek Ontang dengan Meses itu. Simpang Tiga Koto Tuo arah ke Tanjung Alai dan Bukik Konduong, yang sekarang bernama Simpang Tugu Monas, dulu namanya Simpang Meses. Tugu itu berdiri pada tahun 1958, waktu Pasukan ABRI berhasil menundukkan kekuatan PRRI di Sulik Ayie, maka tugu itu diberi nama Tugu Pembebasan dan disebutkan pada prasastinya. Namun ketika Harun Zein menjadi gubernur Sumbar, kata-kata pada prasasti itu dihapus dan tidak boleh lagi digunakan nama tugu pembebasan pada nagari-nagari yang ada tugu semacam itu, karena dianggap sebagai penghinaan terhadap harkat dan martabat orang-orang Minang;

3) Nomor 8 itu mungkin lebih tepat disebut Topi Balai (dimuko “Sakolah Es-er”) dan pada kelokan tajam ujungnya disebut “Simpang ka Limo Singkek Jarohok”); 

4) Di pertigaan pendakian Koto Tuo, di depan rumah JP Dt. Samarajo dan juga rumah keluarga Nurani Arief (ibunda Mukhsis Jadibs bersaudara), Kamrardy Arief, Syafrizon Miin dsb-nya, disebut “Simpang ka Balai”;

5) Di pendakian Surau Kelok, di depan rumah Rohana Kamil (ibunda DR. Amin Nurdin bersaudara) yakni jalan mendaki ke Lapangan Koto Tuo, dulu terkenal dengan nama “Batang Macang Di-oyak Harimau”. Disebut demikian karena batang macang besar yang berdiri di tebingnya, banyak menjatuhkan buah-buah yang sudah busuok (tambiluok-on), hingga sangat mengecewakan hati kami anak-anak sekolah yang selalu lalu-lalang di bawah pohonnya. Maka mungkin karena tidak bisa menjatuhkan buah-buah macang yang bagus, disebut saja: - karena sering dihoyak (digoncang) harimau. Sama juga dengan pohon papaya (kalikih) yang bunganya terasa pahit untuk di-uwok atau di-anyang, dikatakan orang-orang awak; -karena pohon itu sudah dipanjat ular! Hahaha;

6) Yang nomor 10 yang diberi nama Bawah Botuong itu, di depan “Ladang Durian Datuok Ganiek-ganiek” kalau saya memberinya nama “Simpang ka Sawitan”, karena ada jalan menuju Sawitan dan Muaro. Selain betung yang disebut Firdaus tsb, dulu juga ada tumbuh pohon sauh besar di depan rumah mungil milik keluarga Alwi Dt. Nan Besar (kakeknya Tito Alwie), yang pernah jadi wali nagari;

7) Yang nomor 11 yakni “Bawah Durien” (karena dulu memang ada pohon durian-nya), tempat Pak Dullah menjual sate, cendol dan kemudian juga membuka bengkel sepeda, perlu ditambah dengan nama ”Pandakian ka Potai Lobek”, karena ada jalan mendaki ke Potai Lobek, kawasan yang dulu terkenal sebagai “markas besar”nya kalaluwang (kelelawar, kalong) Sulik Ayie, yang bergantungan di ranting-ranting pohon punik yang banyak terdapat di sana; 

8) Nomor 13 Balai Lamo, seharusnya dibagi lagi dengan nama-nama spesifik, yakni Tabuoh (karena dulu di sini ada tabuh milik nagari, kantor MAN (urusan agama, sekarang Kantor KAN), Kantua Wali, Goduong Comin, Penurunan rumah (Alwin) Dt. Sutan Malano atau Rumah Tenggi, baru terakhir Ujuong Titi atau Surau Jambatan Bosi; 

9) No.15 Sugabak, mungkin yang dimaksud Surau Gabak, nama surau pada masa dulu,mungkin juga nama lain dari Surau Baru, yang lokasi tanahnya kemudian menjadi Kantor dan Balai Nikah Mesjid Raya Sulit Ayie;

10) Nomor 19 Lu-ak Nampuang, mungkin lebih disebut Pandakian Surau Nampuang; 

11) Nomor 21 Gontiang mungkin lebih tepat disebut Gontiang Bungo;

12) No.23 Lu-ak Basuong, apakah tidak sebaiknya disebut Basuong saja?
Dan nama sesudah ini, yakni sebelum jalan sampai di Kubang Duo, tidak jauh dari rumah Ida-Jurnalis Uddin, ada persimpangan jalan ke kiri yakni ke Mantagi dan Nowan. Saya mengenal nama tempat ini sebagai “Simpang Tigo Mantagi”. Sekian dulu, Saya juga berharap, agar ada komentar, baik berupa kritik, pembetulan, penambahan nama maupun saran-saran dari Anda-anda semua, demi kesempurnaan dan kepedulian kita kepada Sulik Ayie dan masa depannya. Silakan dan monggo kasih komentar atau sanggahan. thanks.

Sumber : Fb. Hamdullah Salim