Sewaktu kecil, ambo pernah melihat satu seri foto-foto almarhum
Bapak bersama teman-temannya di suatu lokasi. Beliau berbaju hijau,
bercelana pendek, bersepatu bot dengan pistol di pinggang. Teman-teman
beliau juga berbaju hijau. Maklumlah, mereka semua tentara
Backgroundnya bermacam-macam. Ada yang di sungai, ada yang di atas rel, ada yang seperti terowongan atau gua. Ketika ambo tanya fotonya diambil dimana, jawaban yang ambo terima adalah "Logas". Berikutnya justru kakak-kakak ambo
yang menambahi bahwa Logas itu adalah tambang emas Jepang dan banyak
orang Indonesia dikirim ke sana oleh Jepang untuk kerja paksa menambang
emas dan membangun jalan kereta api dan akhirnya tewas disana. Ditutup
dengan kabar pertakut, "karena itu di sana angker - banyak hantunya..."
Gambaran itulah yang melekat di benak ambo sejak kecil tentang daerah yang bernama Logas. Karena ambo sendiri sampai sekarang tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Tapi cerita sebenarnya menjadi jelas bagi ambo ketika menemukan sketsa berikut di dunia maya.
Sketsa itu adalah sketsa rencana rel kereta api yang menghubungkan
antara ujung rel yang telah ada di Muaro (Sijunjung) ke Pekanbaru.
Nantinya akan menghubungkan pantai barat dengan pantai timur Sumatera,
sebagai bagian dari jaringan kereta api pulau Sumatera oleh Perusahaan
Kereta Api Hindia Belanda. (lihat disini). Jalur ini melewati Muaro - Logas - Muara Lembu - Lipat Kain - Taratak Buluh - Tangkerang dan berujung di Pekanbaru.
Rencana itu telah mendekati detail, dengan memuat dimana kamp harus
dibuat dalam proses pembangunan rel. Total ada 16 kamp (kamp 4 dan 7
dobel), dengan kamp 1 berada di tepi sungai Siak di Pekanbaru. Logas
sendiri berada di kamp 9 --142 Km dari Pekanbaru. Total panjang rel itu
sendiri sekitar 220 Km. Kendala utama dalam mewujudkan rel ini adalah
kontur daerah yang sangat sulit serta hutan belantara yang masih belum
terjamah dengan binatang buas di dalamnya.
Ketika Jepang masuk, rencana ini jatuh ke tangan mereka. Mereka melihat
rel ini akan memudahkan mereka untuk bergerak menghindari ancaman sekutu
di Samudera Hindia dengan mempercepat akses ke Selat Malaka. Demikian
juga akan mempercepat akses bantuan logistik dan balatentara dari
semenanjung Malaya ke Sumatera.
Apa
yang sulit bagi Belanda, gampang di mata Jepang. Medan yang sulit
diatasi dengan mendatangkan tenaga kerja dari Jawa sejak September 1943.
Pada awalnya dengan iming-iming gaji, tapi akhirnya dengan paksaan. Romusha. Masih dianggap belum cukup dengan itu, sejak Mei 1944 didatangkan tawanan perang bangsa Eropa untuk bekerja.
Secara total diperkirakan lebih dari 100.000 orang romusha dan 5000
orang tawanan perang dipekerjakan di jalur rel ini. Dari angka itu
80.000 orang romusha dan 700 orang tawanan perang tewas dan berkubur di
sepanjang rel. Itu belum terhitung 1.800 orang tawanan perang yang
tenggelam bersama kapal Van Waerwijck and the Junyo Maru yang ditorpedo
sekutu sebelum sampai ke Pekanbaru. Dari angka-angka itu lah jalur rel
ini mendapatkan namanya "Death Railways" atau "Rel Kematian", sama
seperti Rel Kematian lain yang ada di perbatasan Birma - Thailand dan
Saketi - Bayah di Banten Selatan.
Buku yang paling detil mengungkap tentang tragedi ini adalah karangan Henk Hovinga yang berjudul Eindstation Pekan Baru 1944-1945-Dodenspoorweg door het Oerwoud
terbitan KITLV Leiden. Di dalam bukunya Hovinga menulis bahwa para
pekerja itu telah dipaksa bekerja “dalam suatu neraka hijau, penuh ular,
lintah darat dan harimau., lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di
bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang
Korea”.
Ditambah lagi dengan cara orang Jepang yang menghindari pembuatan
terowongan sebagaimana rancangan aslinya dengan cara mendinamit
perbukitan. Seringkali tanpa pemberitahuan, sehingga pekerja yang
bekerja dibawahnya ikut tertimbun. Rombongan berikutnya bertugas
membersihkan reruntuhan hasil dinamit, sekaligus mengumpulkan mayat
teman-temannya.
Semuanya dikerjakan dengan otot. Tidak ada peralatan yang memadai. Mulai
dari menebang pohon, memotong tebing sampai memasang rel dan membuat
jembatan semua dikerjakan dengan tenaga manusia. Ditambah gizi yang
buruk, obat-obatan yang kurang serta perlakuan diluar batas kemanusiaan
menyebabkan tingginya angka kematian.
Jalur rel ini selesai pada 15 Agustus 1945, tepat ketika Jepang takluk
kepada sekutu. Tapi di tengah rimba raya Sumatera, Jepang belum kalah.
Para serdadu Jepang masih meneriakkan banzai pada saat merayakan
pematokan paku emas tanda selesainya jalur rel Muaro - Pekanbaru.
Sementara para romusha dan tawanan hanya boleh menyaksikan upacara dan
perayaan itu dari jauh.
Ironisnya, dengan puluhan ribu korban jiwa, rel ini berumur sangat
singkat. Kereta api terakhir yang melewatinya adalah pada September 1945
yang membawa tawanan perang dari kamp-kamp kerja di dalam rimba menuju
ke Pekanbaru. Jembatan-jembatan yang terbuat dari kayu dengan cepat
lapuk dan hanyut oleh amukan sungai. Rel-rel yang tertinggal dengan
cepat merimba dan sebagiannya lagi dibuat menjadi pagar oleh masyarakat
dan jawatan Kereta Api sendiri untuk jalur Sawahlunto - Padang.
Ingatan ambo kembali ke masa kecil. Foto almarhum Bapak yang ada
di awal tulisan tadi dijepret pada awal tahun 60-an. Disadari atau tidak
disadari oleh Bapak, kira-kira 20 tahun sebelumnya, tempat Bapak
berdiri itu mungkin saja merupakan lokasi penyiksaan tentara Jepang
terhadap seorang Romusha. Atau mungkin di tempat itu seorang romusha
mati kelaparan dan dikuburkan. Mengingat puluhan ribu mayat bertebaran
sepanjang 220 km rel. Inilah sebenarnya "hantu" Logas yang dibicarakan
oleh kakak-kakak ambo dulu ketika kami masih kecil....
Dan hari ini, generasi sekarang di Sumatera Barat dan Riau hanya
terheran-heran ketika menemukan sisa-sisa lokomotif di dalam hutan
belantara atau ladang penduduk, tanpa tahu dari mana asalnya.....
(kita berkewajiban memberitahu mereka tragedi ini....?!)
Sumber: Minanglamo.blogspot.com
Tks Ade, Anda telah mempublikasikan suatu tragedi sejarah masyarakat kita.pada zaman Jepang. Jepang hanya 3,5 tahun berkuasa di Indonesia, tapi malapetaka yang diciptakannya sungguh amat memilukan, tak sedikit korban jiwa yg gugur kebumi. Walau harus diakui banyak pula pembangunan dan kemajuan negeri yg diciptakannya, bangsa kita terlatih menderita, disiplin, kerja dan berani, hingga menjadi dasar2 yg kuat utk
ReplyDeletemenghadfapi dan mengusir Belanda yg hendak menjajah kembali Indonesia dlm revolusi fisik (1845 - 1949). Demikian biadabnya Jepang, saya baca di salahsatu buku, lelaki yang baru keluar dari menonton bioskop di Padang, dipilih satu-persatu utk langsung digiring, dinaikkan dan dibawa utk melakukan kerja paksa di Logas. Di Sulik Ayie ado ungkapan yang berbunyi: a-a iyo la di handuo lohe e awak. Contohnyo, ya itu orang2 yang baru selesai berhibur diri menonton bioslop di Padang, langsung dibawa ke Logas. Bagaimana derita keluarganya dirumah?
This comment has been removed by a blog administrator.
DeleteTarimo kasih.. atensi nyo pak Satria... semoga sejarah yang awak ungkap dari posrstingan tetangga, bs menjadi rujukan sejarah untuk kito basamo.
ReplyDelete