Jika selama ini masyarkat Minangkabau hanya mengenal dua keselarasan Koto piliang dan Bodi Chaniago, ternyata ada satu laras (LAREH) lagi yang menjadi penengah dibawah nagari kerajaan Pariangan. Betulkah dugaan nagari Sulit Air adat dan budaya nya berada di lareh yang ketiga ini ? pemimpin lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago sesungguh nya berdua adalah saudara. Apakah ada hubungan dengan lareh ke tiga ini ? banyak ahli sejarah Minang mebuat sejarah nya masing-masing, tetapi kita mengambil sejarah yang mendekati saja. Jika semua hampir memiliki perbedaan, dimanakah kesamaan nya yang ada ? mari kita baca lebih dalam lagi :
Lareh di zaman Balando
Sebelum Belanda merebut dan menguasai Minangkabau melalui Perang
Paderi (1821 s/d 1837), kekuasaan tertinggi di Minangkabau di pegang
oleh penghulu. Adagium adat mengatakan: kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat.
Tidak ada yang lebih tinggi daripada penghulu. Yang disebut mufakat tsb
adalah mufakatnya para penghulu di balairungsari dalam bentuk kerapatan
adat.
Pada awal mulanya, setiap penghulu memimpin sebuah suku, maka Belanda menyebut pemerintahan di Minangkabau sebagai pemerintahan suku.
Karena yang berkuasa pada hakekatnya adalah rakyat (anak kemenakan)
melalui penghulunya masing-masing di KAN tsb, maka disebut Belanda pula
Minangkabau itu sebagai republik-republik kecil (suku) yang diperintah penghulunya masing-masing. Sedang Raja Paguruyung hanya berkuasa di rantau
(yakni di luar Minang yang mengakui pengaruh Pagaruyung) dan sebagai
lembaga sakral memelihara hubungan baik dan ketertiban antar nagari.
Dari sinilah lahirnya adagium rantau barajo, nagari bapanghulu atau sebutan indak barajo ka Pagaruyuang. Jia melihat sejarah tersebut benarlah kira adagium itu untuk warga Sulit Air, dikarenakan lebih banyak pasukan kaum paderi menjadikan nagari Sulit air bagian dari posko/benteng pertahanan menghadapi Belanda dulunya.
|
Letkol Elout penguasa tentara Belanda ini, turut andil dalam pembentukan Lareh di Minangkabau |
Belanda dibawah kendali Letkol Eliot merasa repot dan sulit berhadapan dengan demikian
banyak (empat ratusan) raja-raja kecil itu. Maunya hanya berurusan
dengan segelintir orang, yang berkuasa atas rakyatnya. Walau Perang
Paderi (1821 s/d 1837) belum usai, namun Belanda sudah mulai berkuasa
dan mencekamkan kuku jajahannya di ranah Minang. Melihat kekuatan pasukan paderi mulai berkurang ditambah peran kerajaan adat mulai dibatasi termaktublah tahun 1833 pasukan Paderi dan Kaum adat bersatu dalam perjanjian Bukit Marapalam, dikenal sebagai Adat bersandi Syara' - Syara' bersandi kitabullah.
Menyadari hal itu Tentara Belanda bukanlagi menghadapi pasukan Paderi melainkan keseluruhan masyarkat Minangkabau. Maka itu tahun itu pula pasukan penjajah juga membuat maklumat "Plakat Panjang" termasuk didalam nya mulai
diperkenalkan secara sistem kelarasan (laras=
sama, sesuai, cocok) di Minangkabau. Walau penghulu tetap diakui, tapi
kekuasaannya mulai dikurangi sedikit demi sedikit. Nagari tidak lagi
diperintah oleh para penghulu tapi oleh tiga pejabat penting kenagarian
yakni Kepala Laras (Tuanku Lareh), Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi.
Kepala Laras memerintah kelarasannya yang terdiri dari beberapa
nagari yang ditentukan. Dialah yang bertanggungjawab kepada Belanda.
Tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban nagari-nagari di
kelarasannya, menjamin pemasukan pungutan sebanyak-banyaknya bagi kas
Belanda (terutama yang berasal dari pelaksanaan aturan tanaman paksa).
Penghulu Kepala (di Sulit Air populer dengan sebutan Ongku Palo atau Tuok Palo)
pada hakekatnya tugasnya sama dengan Kepala Laras ditambah sebagai alat
penghubung antara Kepala Laras ke bawah di nagarinya, tapi tidak boleh
menghadiri rapat-rapat adat.
Selama pemerintahan kelarasan (1833-1913) ciptaan Belanda, nagari
Sulit Air mempunyai 4 tuanku lareh. Keempat tuanku lareh itu
berturut-turut adalah: Tuanku Lareh I Dt. Bandaro (1833-1852), Tuanku
Lareh II Dt. Sutan Bandaro (1852-1888), Tuanku Lareh III Dt. Pamuncak
Perkasa Alam (1888-1902), dan Tuanku Lareh IV Dt. Rajo Mansyur
(1902-1912). Tapi pada tahun 1913 dengan Stablad No 321 , jabatan Kepala Laras (Tuanku
Lareh), jabatan Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi dihapuskan di
Sumatera Barat. Sedangkan nagari dipimpin oleh seorang Kepala Distrik.
Sebutan yang populer adalah Kepala Nagari (wali nagari), di Sulit Air
sebutannya Ongku Palo (Tuok Palo).
Sistem kelarasan:
Menurut kepercayaan orang Minangkabau yang berpedoman kepada tambo
Alam Minangkabau, pertama sekali didirikan Lareh Nan Panjang yang
berpusat di Pariangan Padang Panjang yang dianggap sebagai
nagari tertua di Minangkabau. Pucuk pimpinan pada waktu itu
Dt. Suri Dirajo. Nagari yang termasuk daerah Lareh Nan
Panjang adalah : Guguak Sikaladi, Pariangan, Padang Panjang, Sialahan, Simabua, Galogandang Turawan, Balimbiang. Daerah ini dikatakan juga Nan Sahiliran Batang Bangkaweh, hinggo Guguak Hilia, Hinggo Bukik Tumansu Mudiak.
Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan): yang dipimpin
oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai
Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di
atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip
pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah.
Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan): yang dipimpin
oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di
Limo Kaum.
Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut; duduak samo randah tagak samo tinggi.
Kedudukan raja terhadap dua kelarasan Koto Piliang dan Bodi Chaniago):
Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi
Caniago. Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya.
Sedangkan bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik
sebagai pemersatu.
Tempat persidangan
1. Balai Panjang.
Tempat persidangan untuk semua lembaga; Raja, Koto Piliang, Bodi Caniago, Rajo-rajo
di rantau berada di Balai Panjang, Tabek Sawah Tangah.
2. Balairung
Tempat persidangan raja dengan basa-basa disebut Balairung
3. Medan nan bapaneh
Tempat persidangan kelarasan koto piliang disebut Medan Nan Bapaneh dipimpin
Pamuncak Koto Piliang, Datuk Bandaro Putih
4. Medan nan Balinduang
Tempat persidangan kelarasan bodi caniago disebut Medan Nan Balinduang dipimpin
oleh Pucuak Bulek Bodi Caniago, Datuk Bandaro Kuniang.
5. Balai Nan Saruang
Tempat persidangan Datuk Badaro Kayo di Pariangan disebut Balai Nan Saruang
Lareh nan duo:
Lareh atau sistem, di dalam adat dikenal dengan dua; Lareh Nan Bunta dan
Lareh nan Panjang. Lareh nan Bunta lazim juga disebut Lareh Nan Duo,
yang dimaksudkan adalah Kelarasan Koto Piliang yang disusun oleh Datuk
Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang. Sedangkan Lareh nan Panjang di sebut; Bodi Caniago inyo bukan,
Koto Piliang inyo antah disusun oleh Datuk Suri Nan
Banego-nego.(disebut juga Datuk Sikalab Dunia Nan Banego-nego) Namun
yang lazim dikenal hanyalah dua saja, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem
yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah
berdirinya kedua kelarasan itu. Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih
Nan Sabatang kakak adik lain ayah, sedangkan Datuk Suri Nan Banego-nego
adalah adik dari Datuk Perpatih Nan Sabatang. Di dalam tambo disebutkan;
Malu urang koto piliang, malu urang bodi caniago.
Didalam mamangan lain dikatakan :
Tanah sabingah lah bapunyo, rumpuik sahalai lah bauntuak
Malu nan alun kababagi.
A. Kelarasan Koto Piliang:
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Putiah
Roda pemerintahan dijalankan dalam sistem Koto Piliang, yang dalam hal ini dijalankan oleh Basa Ampek Balai:
Panitiahan – berkedudukan di Sungai Tarab – Pamuncak Koto Piliang
Makhudum – berkedudukan di Sumanik – Aluang bunian Koto Piliang
Indomo – berkedudukan di Saruaso – Payung Panji Koto Piliang
Tuan Khadi – berkedudukan di Padang Ganting – Suluah Bendang Koto Piliang
(Ditambah seorang lagi yang kedudukannya sama dengan Basa Ampek Balai)
Tuan Gadang – berkedudukan di Batipuh – Harimau Campo Koto Piliang.
|
Ciri rumah gadang Koto Piliang, beranjung (serambi ) dikiri dan kanan. Dimana lantai nya lebih tinggi dari lantai ditengah. Seperti rumah gadang Pagaruyuang Batu Sangkar. |
Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus
masalah-masalahdaerah kedudukannya. Setiap basa membawahi beberapa orang
datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya
masing-masing. (Ada yang 9 datuk seperti Sungai Tarab, 7 datuk seperti
di Saruaso dll). Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah
tertentu, untuk memungut ameh manah, cukai, pengaturan wilayah dan
sebagainya. Misalnya; Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu. Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan. Indomo untuk daerah pesisir barat utara.
Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan. Pada setiap nagari, ada beberapa penghulu yang berada di bawah setiap basa yang mengepalai nagari-nagari tersebut. Catatan : Masing-masing unsur (elemen) dari perangkat adat ini banyak
diubah dan berubah akibat ekspansi pemerintahan Belanda dalam mencampuri
urusan hukum adat. Namun “batang” dari sistem ini tetap diikuti sampai
sekarang.
|
Beginilah rupawan para Datuk dahulu nya , pada tahun 1920-1930. |
Langgam nan tujuah (7 daerah istimewa) :
Di dalam sistem pemerintahan itu, ada daerah-daerah istimewa yang
dipimpin oleh seorang penghulu yang langsung berada di bawah kuasa raja.
Dia tidak berada di bawah Basa 4 Balai. Daerah-daerah istimewa ini
mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri dan sampai sekarang masih
dijalankan.
Langgam nan tujuh itu terdiri dari tujuh daerah/wilayah dengan gelar kebesarannya masing-masing :
1. Pamuncak Koto Piliang
Daerahnya Sungai Tarab salapan batu
2. Gajah Tongga Koto Piliang
Daerahnya Silingkang & Padang Sibusuak
3. Camin Taruih Koto Piliang
Daerahnya Singkarak & Saningbaka
4. Cumati Koto Piliang
Daerahnya Sulik Aie & Tanjuang Balik
5. Perdamaian Koto Piliang
Daerahnya Simawang & Bukik Kanduang
6. Harimau Campo Koto Piliang
Daerahnya Batipuh 10 Koto
7. Pasak kungkuang Koto Piliang
Daerahnya Sungai Jambu & Labu Atan
Sistem yang dipakai dalam kelarasan Koto Piliang:
Memakai sistem cucua nan datang dari langik, kaputusan indak buliah dibandiang.
(Maksudnya; segala keputusan datang dari sang raja. Dan raja pula yang akan menentukan)
Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada
Basa Ampek Balai. Jika persoalan tidak putus oleh Basa Ampek Balai,
diteruskan kepada Rajo Duo Selo. Urusan adat kepada Rajo Adat, dan
urusan keagamaan kepada Rajo Ibadat. Blia kedua rajo tidak dapat
memutuskan, diteruskan kepada Rajo Alam. Rajo Alamlah yang memutuskan.
Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalag sebagai berikut;
kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka
Basa Ampek Balai, Basa Ampek Balai ka Rajo Duo Selo.
B. Kelarasan Bodi Caniago
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum.
Di bawahnya disebut Datuak Nan Batigo; Datuk nan di Dusun Tuo, Datuk nan
di Paliang, Datuk nan Kubu Rajo. (Nama-nama Datuk tak disebutkan,
karena mereka memakai sistem “gadang balega”, pimpinan dipilih
berdasarkan kemufakatan (Hilang Baganti).
|
Ciri rumah gadang Bodi Chaniago, lantai nya datar dari kiri ke kanan. Seperti rumah gadang yang ada dikota Padang Panjang-Nagari Kerajaan Pariangan dahulu nya. |
Kelarasan Bodi Caniago, juga mempunyai daerah setaraf Langgam Nan Tujuh
dalam kelarasan Koto Piliang, yang disebut Tanjuang nan ampek, lubuak
nan tigo (juga tujuh daerah khusus dengan tujuh penghulu/pucuak
buleknyo):
Tanjuang Bingkuang (Limo kaum dan sekitarnya)
Tanjung Sungayang
Tanjuang Alam
Tanjuang Barulak
Lubuk Sikarah
Lubuk Sipunai
Lubuk Simawang
Sistem yang dipakai dalam kelarasan Bodi Caniago:
"Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah.
Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak
buliah dikadang"
Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang kerapatan para
penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan diuji
kebenarannya. Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum.
Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalah sebagai berikut;
kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka
mupakaik, nan bana badiri sandirinyo.
C. Lareh Nan Panjang
Dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo
Selain itu pula, ada satu lembaga lain yang dipimpin oleh Datuk Badaro
Kayo yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. Tugasnya menjadi
juru damai sekiranya terjadi pertikaan antara Datuk Badaro Putiah di
Sungai Tarab (Koto Piliang) dengan Datuk Bandaro Kuniang (Bodi Caniago).
Dia bukan dari kelarasan Koto Piliang atau Bodi Caniago, tetapi berada
antara keduanya.
Di dalam pepatah adat disebutkan:
Pisang sikalek-kalek utan
Pisang simbatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto piliang inyo antah
Daerah kawasannya disebut : 8 Koto Diateh, 7 Koto Dibawah; Sajak dari
guguak Sikaladi Hilie, sampai ka Bukik Tumasu Mudiak, Salilik Batang
Bangkaweh.
8 Koto Diateh terdiri dari; Guguak, Sikaladi, Pariangan, Pd.Panjang, Koto Baru, Sialahan, Koto Tuo, Batu Taba.
7 Koto Dibawah terdiri dari; Galogandang, Padang Lua, Turawan, Balimbiang, Kinawai, Sawah Laweh, Bukik Tumasu.
Dengan demikian, ada tiga Datuk Bandaro di dalam daerah kerajaan itu.
Kemudian disusul dengan adanya Datuk bandaro Hitam yang juga punya
fungsi sama seperti Datuk Bandaro Putiah, dengan kedudukan di wilayah
Minangkabau bagian selatan (Jambu Limpo dllnya).
Penghulu:
Penghulu pada setiap kaum yang ada naari-nagari masing-masingnya punya perangkat tersendiri pula dalam mengatur kaumnya.
Perangkat itu terdiri dari: Manti, Malin, Dubalang. Mereka berempat disebut pula Urang nan ampek jinih.
Setiap rumah gadang, punya seorang mamak yang mengatur. Mamak yang
mengatur rumah gadang tersebut Tungganai, atau mamak rumah. Dia juga
bergelar datuk.
Nama Gelar Penghulu :
Nama gelar penghulu yang mula-mula hanya terdiri satu kata; Bandaro misalnya. Datuk Bandaro. Pada lapis kedua, atau sibaran baju, nama datuk menjadi dua kata, untuk
memisahkan sibaran yang satu dengan sibaran yang lain; Datuk Bandaro
Putih, Datuk Badaro Kuniang, Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Bandaro Hitam.
Apabila kemenakan datuk Bandaro ini sudah semakin banyak, dan memerlukan
seorang penghulu untuk mengatur mereka, maka mereka memecah lagi
gelaran itu; Datuk Bandaro Lubuak Bonta misalnya, adalah sibaran pada
peringkat ke empat dari gelar asalnya. Begitu seterusnya. Semakin panjang gelar Datuk itu, itu pertanda bahwa gelar itu adalah sibaran dalam tingkat ke sekian.
Sumber : MozaikMinang - Hamdillah usman