Minangkabau secara kekuasaan menjadi bagian kerajaan Sriwijaya dulu nya, karena berkembang mengikuti waktu identitas Minang juga membentuk jati diri sendiri. Akan tetapi sedikit ironi mengenai aksara budaya sendiri Minangkabau mengalami akulturasi budaya dari tiga agama yakni Hindu, Budha dan Islam. Sering kita dengar ucapan bahwa kebudayaan Minang betapapun tuanya di
tengah-tengah kebudayaan nusantara, namun Minangkabau tak punya aksara
seperti Batak, Jawa, Bugis, dan lain-lain. Di Makasar umpamanya, huruf Lontara masih dikembangkan terus. Masih
banyak penduduk yang bisa menuliskannya. Di sekolah-sekolah masih
dipelajari. Begitu juga daerah lain karena mereka memang punya warisan
berupa huruf-huruf asli dari nenek moyang mereka.
Bagaimana Minangkabau? Yang dikatakan punya warisan budaya yang cukup tinggi? Jawabnya barangkali karena kita belum sempat melakukan penelitian
secara luas atau mendalam. Mungkin karena begitu luasnya cakupan
kebudayaan Minangkabau itu, maka belum seluruhnya terjangkau dalam
penelitian. Seperti dikatakan peribahasa Inggris, “di lapangan luas
sulit menggali lebih dalam…”.
Sejarawan Dr. Taufik Abdullah pernah berkata bahwa masih banyak yang
harus kita gali, teliti, kumpulkan, dan kita kerjakan. Sampai sekarang,
peta dialek saja kita belum punya. Betapa banyak dialek yang terdapat di
Minangkabau. Bukan hanya yang terdapat di Luhak nan Tigo, antara nagari
yang satu dengan nagari bertetangga sudah berbeda dialeknya.
Namun demikian, satu hal yang menggembirakan patut kita kemukakan di
sini. Kebudayaan Minangkabau sebenarnya lengkap dengan huruf asli berupa
aksara Minang. Ini ditemukan di dua tempat. Pertama, di Nagari
Pariangan, Padang Panjang, yang kita kenal sebagai nagari tertua di
Minangkabau. Kedua, di Nagari Sulit Air, Kabupaten Solok. Cuma saja kedua bentuk huruf yang ditemukan di dua tempat itu berbeda
satu sama lain. Belum dapat kita pastikan mana yang tua diantara dua
itu. Para ahlilah yang akan menjelaskan kemudian.
- Aksara Minang di Pariangan
Pada tahun 1970 di sela-sela hiruk pikuknya dialog pembahasan tentang Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau dalam siding
seminar yang diadakan di Batusangkar, seorang peserta seminar tampil
memperlihatkan aksara Minang yang ia temukan di Pariangan. Kebetulan
yang tampil itu adalah bekas camat di Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Bekas camat itu berkata penuh semangat, “Kebudayaan Minang itu
lengkap. Jangan dikatakan kita tak punya huruf asli sebagai peninggalan
nenek moyang kita …” katanya.
Aksara Minang itu ditemukan dalam Kitab Tambo Alam milik Datuk Suri Dirajo dan Datuk Bandaro Kayo di Pariangan Padang Panjang. Tambo Alam itu ditulis dalam aksara Minang tersebut. Bukan seperti
kitab-kitab tambo yang biasanya ditulis dalam tulisan Arab Melayu. Di
dalam kitab tambo itu antara lain tertulis Undang-Undang Adat yang
berbunyi sebagai berikut.
Dibelah-belah dipatigo
Siraut pambelah rotan
Luhak dibagi tigo
Adat dibagi salapan
Aksara Minang itu berjumlah 15 buah yang terdiri dari: a – ba – sa –
ta – ga – da – ma – ka – na – wa – ha – pa – la – ra – nga (bandingkan
dengan Surat Ulu di Palembang yang menurut Drs. Zuber Usman terdiri dari
16-17 huruf). Jika huruf-huruf Minang itu diberi titik di atasnya, maka di baca: i –
bi – si – ti – gi – di – mi – ki – ni – wi – hi – pi – li – ri – ngi.
Dan kalau diberi titik dibawahnya bacaannya berubah menjadi u – bu – su –
tu – gu – du – mu – ku – nu – wu – hu – pu – lu – ru – ngu.
Selanjutnya kalau diberi bercagak (bertanda v) di atasnya dibaca: e –
be – se – te – ge – de – me – ke – ne – we – he – pe – le – re – nge.
Kalau tanda “v” tersebut dipindahkan ke bawah harus dibaca: o – bo – so –
to – go – do – mo – ko – no – wo – ho – po – lo – ro – ngo. Tapi kalau
diberi titik di samping kanan, maka ia menjadi huruf mati: b – s – t – g
– d – m – k – n – w – h – p – l – r – ng. (Lihat contoh I)
Sekarang marilah kita perhatikan contoh II. Nah, jika kita ingin menyalinnya ke dalam aksara latin, jadilah ia sebagai berikut:
Nan ampat talatak di bumi
Aso bulan duo matoari
Tigo timur ampat salatan
Rumah gadang lumbung bapereng
Sawah gadang banda buwatan.
Jika kita perhatikan aksara Minang ini mirip dengan huruf Lontara,
yaitu huruf asli yang ada di Makasar (Ujung Pandang). Cuma jumlahnya
yang berbeda. Aksara Minang berjumlah 15, sedangkan huruf Lontara
berjumlah 23. Sebenarnya huruf Lontara tersebut, menurut Djalaluddin, seorang guru
di Ujung Pandang yang juga menyusun buku pelajaran untuk SMTA mengatakan
bahwa huruf Lontara itu telah dipakai sejak 400 tahun yang lalu di
Sulawesi Selatan.
Huruf Lontara tua, katanya, diciptakan oleh Daen Pamatta’, Syahbandar
Kerajaan Gowa atas perintah Raja Sombaja pada tahun 1538. Bapak Kamardi Rais sebagai wartawan menaruh perhatian besar, ketika melihat
banyak kesamaan cara menuliskannya meski hurufnya berbeda. Jika huruf Lontara tersebut diciptakan pada abad 16, mungkinkah
aksara Minangkabau yang ditemukan di Pariangan in diciptakan pada abad
14 ketika Adityawarman dirajakan di bumi Pulau Emas (Minangkabau)?
Marilah kita serahkan kepada para ahli dari hasil penelitiannya nanti.
Tapi kalau kita perhatikan prasasti-prasasti yang terdapat di Kubu Rajo,
Limo Kaum, Pagaruyung dan lain-lain tidak ditulis dalam aksara Minang
tersebut melinkan ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan style
(gaya) Adityawarman.
Barangkali sukar untuk menerima bahwa aksara
tersebut diciptakan dalam masa Adityawarman. Di samping itu, dari
kalimat yang kita kutip dari Kitab Tambo Alam di atas yang ditulis dalam
aksara Minang tersebut terdapat suatu keganjilan dalam menuliskan kata ampat. Kenapa tidak ditulis dengan ampek? Barangkali juga aksara itu sudah lama diciptakan, sedangkan tambonya yang ditulis kemudian.
- Aksara Minang “Ruweh Buku” di Sulit Air
Setelah kita kemukakan aksara Minang yang ditemukan di Pariangan
Padang Panjang, maka kini marilah pula kita sajikan aksara Minang yang
lain yang ditemukan di nagari Silek Aia (Sulit Air). Menurut Ketua Lembaga Studi Minangkabau di Padang, Drs. Denito Darwas
Dt. Rajo Malano, Kitab Tambo Ruweh Buku yang ditemukan di nagari Sulit
Air juga ditulis dalam aksara Minang. Berisi ajaran adat Minang nukilan
Datuk Suri Dirajo di Pariangan Padang Panjang juga.
Kemudian entah pada
zaman apa dan tahun berapa, kitab Ruweh Buku itu dibawa orang ke Sulit
Air dan dimiliki oleh Datuk Tumanggung secara turun temurun. Terakhir
dimiliki oleh Syamsuddin Taim yang berusia 75 tahun
pada tahun 1980. Ia menerima kitab itu dari mamaknya Rasad gelar Datuk
Tumanggung pada tahun 1921. Sedangkan Rasad Dt Tumanggung menerimanya
pula dari Datuk Tumanggung V. Begitu seterusnya jawek bajawek dulu sampai sekarang. Tambo Ruweh Buku sudah ada sejak awal disusunnya peraturan atau
ketentuan-ketentuan adat Minangkabau yang disebutkan sebagai kerajaan
“BUEK”.
Beda dengan aksara Minangkabau yang ditemukan di Pariangan, Padang
Panjang, maka aksara Minang “Ruweh Buku” di Sulit Air, kata demi kata
dideretkan ke bawah kalau hendak membentuk kalimat. Mirip dengan huruf
Katakana (Jepang), tapi jika hendak merangkaikan huruf jadi satu kata
tetap dideretkan ke kanan. Jumlah hurufnya 21 buah lengkap dengan tanda
baca. Beda dengan aksara Minang di Pariangan, maka huruf Ruweh Buku ini
memiliki huruf hidup a – i – u – o dan selebihnya huruf mati semua
(lihat Contoh III).
Kalau kita ingin menuliskan ta bukanlah gabungan huruf t dengan huruf
a, melainkan ambillah huruf t kemudian diberi garis di atasnya. Kalau
menulis ti taruhlah garis di bawah huruf t tersebut. Menuliskan tu maka
sebelum huruf t bubuhkanlah garis miring terlebih dahulu. Menuliskan te
pakailah garis miring setelah huruf t. sedangkan kalau ingin membuat to
pakailah titik di atas huruf t. Begitu seterusnya. Aksara Minang Ruweh Buku tersebut juga dilengkapi dengan tanda baca
seperti tanda tanya, tanda seru, titik, koma, bagi, tambah, kali,
kurang.
Menurut Syamsuddin Taim gelar Pakih Sutan, Tambo Ruweh Buku ditulis
di atas lembaran kulit kayu sepanjang 55 cm atau satu hasta lebih
sedikit. Ada 48 halaman dan ditulis menggunakan getah kayu yang berwarna
hitam. Aksara Minang ini terdiri dari 5 huruf Vokal dan 17 huruf konsonan, bahkan dilengkapi juga tanda strip, koma, titik, tanda tanya, tanda seru dan tanda tambah. Ketika arsip aksara Minang ini dipegang oleh bapak Syamsudin Thaim bergelar pakieh Soetan berusaha menemui beliau via ketua SAS bapak H.Rainal Rais, sayang sudah meninggal dan tidak ketemu arsip asli nya namun untung salinan nya sudah ada.
Sekarang yang menjadi tanda tanya, kenapa aksara Minang itu menjadi
dua? Dapatkah disimpulkan bahwa ada huruf lama dan huruf baru? Tentu perlu penelitian lebih lanjut dari para ahli. Apakah itu dari
Fakultas Sastra Universitas Andalas atau para peneliti dari Yayasan
Genta Budaya Sumatera Barat, yang salah satu programnya, kita ketahui
adalah dalam bidang ini.
(Alm) Kamardi Rais, memiliki Ilmu adat kuat dan ulama yang berkharisma, pernah ceramah sholat Id Fitri di Lap Koto Tuo. |
Adalah bapak Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie dulunya ketua LKAAM (lembaga kerapatan adat alam minang kabau) Sumatera Barat yang mencoba mencari aksara ini semua, menelusuri jejak dan bukti yang otentik untuk menjadi sebuah bagian sejarah dan itu tidak mudah. Apalagi arsip-arsip dari universitas Leiden Belanda (1920) juga memberikan gambaran fakta yang juga berbeda dalam artian ketika masih penjajahan dulu juga berusaha memasukan atau mencampur adukan aksara minang yang sudah ada. Beliau sendiri adalah manusia yang multi dimensi seorang wartawan, penulis, tokoh adat, politikus sekaligus cendikiawan Minang, dengan menepis keraguan tentu tidak sembarang asal untuk mengungkap asal usul aksara ini.
Aksara Minang bila dilihat dari bentuk nya boleh jadi percampuran dari aksara arab kuno dan Sangsekerta. Kemungkinan aksara asli Minangkabau Muncul pada masa peraliahan kekuasaan kerajaan bercorak Hindu-Budha menuju kerajaan Islam di Minangkabau. Saat ini aksara Minang akan dicoba dijadikan kurikulum belajar oleh pemda Lima Puluh kota. Bagaimana dengan nagari Sulit air (sumber aksara Minang)? apakah pakar sejarah Sulit Air bapak Hamdullah Salim bisa melengkapi keping-keping sejarah aksara yang terpisah? kita tahu, kelemahan mendasar dari sejarah minang hanya berdasarkan cerita dari mulut kemulut dirangkai dalam bentuk tambo tapi minus dalam melihat waktu dan kejadian nya. Semoga ada kejelasan dan Nagari Sulit Air menjadi bagian Sejarah Minangkabau.
-- Sekian --
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete