Monday, 31 August 2015

Rumah Gadang 20 (Sejarah & Pelestarian nya)

          Secara geografis Rumah Gadang 20 Ruang terletak di Nagari Sulit Air, Kecamatan X Koto Diateh Jorong Silungkang, Kabupaten Solok. Terdaftar sebagai cagar budaya dengan nomor inventaris 03/BCB-TB/A/15/2007 di Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar. Nama Nagari Sulit Air pertama kali diberikan oleh Datuk Mulo Nan Kawi yang berasal dari Pariangan Padang Panjang yang merantau bersama kaumnya untuk mencari kehidupan yang baik. 

          Pada saat sampai di suatu daerah yang bernama Lubuk Parabung beliau makan bersama-sama, ketika sedang makan beliau tercekik maka beliau mencari air. Ternyata untuk mencari air yang jernih untuk diminum sangat susah maka dari sinilah awalnya beliau memberi nama daerah ini Nagari Sulit Air. Meskipun terdapat banyak rumah gadang yang terdapat di Sulit Air, konon rumah gadang 20 ruang ini merupakan rumah gadang terbesar dan terpanjang di Sulit Air.

          Bangunan ini dinamakan rumah gadang 20 ruang karena bilik atau kamar pada rumah ini terdiri dari 20 buah. Rumah Gadang 20 ruang dibangun pada tahun 1820, tetapi bangunan ini terbakar dan kemudian didirikan kembali pada tahun 1901 selesai pada tahun 1907 . Pembagunan rumah Gadang 20 Ruang sstelah terbakar tidak dibangun lagi sesuai aslinya . Rumah gadang yang pertama atapnya terbuat dari ijuk dan dinding semuanya diukir tetapi pada saat pembangunan kembali dana yang tersedia tidak lagi memadai maka dibuatlah atapnya memakai seng dan bagian dindingnya tidak lagi diukir tapi polos.

         Rumah Gadang 20 ruang dibangun oleh XX Koto, yaitu X koto di atas dan X koto di bawah. Pekerjaan pembangunan Rumah Gadang 20 ruang ini dilakukan oleh wakil-wakil dari Nagari XX Koto beserta kaum dan masyarakat sekitar secara gotong royong. Bagian rumah gadang 20 ruang yang pertama diselesaikan adalah bagian sebelah kanan.

          Bangunan ini pada awalnya digunakan sebagai tempat berkumpul ninik mamak, para penghulu dan yang paling penting merupakan tempat tinggal Bundo Kanduang Sulit Air. Rumah gadang 20 ruang ini dahulunya dikabarkan dihuni mencapai 300 orang. Mempunyai dua Datuk yang mengepalai kaumnya dan 2 orang Bundo kanduang sebagai pengatur tertipnya kehidupan dirumah gadang 20 ruang. Adapun Datuk yang yang dimaksud adalah pada bagian Pangka dimiliki oleh Datuk Tamaruhun sedangkan bagian ujung dimiliki oleh Datuk Ampang Limo. 

          Rumah gadang 20 Ruang ini sekarang dihuni oleh turunan Datuk Tamaruhun dan Datuk Ampang Limo. Rumah ini dihuni oleh mereka yang tidak mempunyai rumah dan penghuni rumah gadang ini terdiri dari 4 keluarga. Saat ini Rumah gadang masih difungsikan juga sebagai tempat pelaksanaan upacara adat dan tempat pelaksanaan pesta atau baralek apabila ada keturunan dari dua Datuk yang memiliki Rumah gadang 20 Ruang melaksanakan pesta pernikahan.
          Bangunan rumah gadang 20 ruang memiliki luas 60,95 m x 9,34 m yang terbagi menjadi ruang-ruang sebanyak 20 ruang. Setiap ruang terbagi menjadi dua bilik untuk ruang tidur. Jumlah tiang sebanyak 5 deretan pada lebarnya dan 21 deretan pada bagian memanjang. Pada tiang deretan yang berjumlah 21 memiliki diameter 20 cm dengan tinggi 6,30 m, masing-masing tiang terdiri diatas umpak yang terlalu pendek sehingga hampir rata dengan tanah. Secara keseluruhan rumah gadang ini ditopang oleh tiang sebanyak 105 tiang. Rumah gadang ini bertipe 8 gonjong. Hampir secara keseluruhan bangunan terbuat dari kayu, terkecuali pada atapnya yang terbuat dari seng.

          Tangga untuk masuk kerumah gadang ini ada empat buah yang diletakkan pada bagian depan rumah dengan jarak yang teratur dan bentuk yang sama. Pada masing-masing tangga naik di beri atap pelindung. Dengan terdapatnya empat tangga masuk dengan otomatis pintu masuk kedalam ruang utama bangunan ini juga terdiri dari empat buah. Sedangankan jendela pada bagunan ini berjumlah tujuh buah dengan model jendela ganda.
          Ruang utama pada bangunan ini dibarkan terbuka tanpa pembatas, hanya pada bagian tengah berjejer tiang yang saling berhadapan. Pembatas hanya untuk pembatas bilik atau kamar yang berjumlah 20 buah kamar. Ruang utama ini dipergunakan oleh pemiliknya untuk beraktifitas mulai dari memasak sampai dengan menerima tamu. Kamar tidur atau bilik yang berjumlah 20 buah, tiap bilik berukuran 2 x 2,5 meter yang bagian depan terdapat pintu masuk yang mempunyai daun pintu berbentuk setangkup.

          Lantai bangunan terbuat dari papan dengan ketebalan 3 cm. Papan inii disusun dengan rapat dan kuat. Sebagian lantai sudah diganti dengan papan yang baru. Dinding bagian luar dengan dinding bagian pembatas bilik terbuat dari papan yang ukurannya lebih tipis dari papan lantai yaitu 2 cm. Dinding inii disusun mendatar, dari bawah keatas dengan sistem tumpang. Pada bagian ujung papan yang telah dipasang, kemudian sedikit ditumpangi papan berikutnya sehingga mengasilkan dinding yang rapat.
          Bagian loteng rumah gadang terbuat dari papan yang ketebalannya 2cm dipasang dengan posisi mendatar. Loteng bagian tengah letaknya lebih tinggi dari pada bagian pinggir. Fungsi loteng tersebut ada dua yaitu sebagai penahan panas dan juga berfungsi untuk menyimpan alat-alat perhelatan, alat pertanian, dan alat rumah tangga. Posisi loteng yang tidak sama berfungsi sebagai sirkulasi udara, sehingga tidak terlalu panas pada siang hari . Atap bagunan terbuat dari seng dan berbentuk gonjong dengan jumlah gonjong sebayak 4 buah.

          Rumah gadang 20 ruang memang memiliki banyak keunikan dan patutlah kita bersama-sama ikut melestarikannya. Saat ini kondisi Rumah gadang 20 ruang mulai memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah berupa kayu yang harus diganti. Pemugaran terhadap Rumah Gadang 20 ruang akan dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar pada tengah tahun 2015 ini. Semoga ..
Sumber berita: Balai Pelestarian Cagar Budaya batusangkar 
-- Sekian --

Wednesday, 26 August 2015

HUT RI ke-70 & Pawai Kemerdekaan


-- Jangan Menyerah & berbuatlah --
(spirit kebangsaan & photo-photo anak nagari)

Sudah 70 Tahun sudah Republik ini merdeka, bayang-bayang ketidak pastian masih menyelimuti negeri ini. Hutang luar negeri Indonesia saat ini hampir mencapai 4200 trilyun rupiah (laporan B.I. Agust2015). Berarti setiap insan 250 juta jiwa manusia & yang lahir di republik ini akan berhutang 16.8 juta rupiah !

 Sebentar lagi jika tidak ada tindakan nyata dari sang penguasa, siap-siap negeri ditimpa Krismon jilid dua. Sesungguh nya negeri ini dikaruniai sumber daya alam yang tiada tara, manusia-manusia yang bernilai guna, namun hari ini mari kita waspada terhadap waspada kekuatan Aseng &Asing, merekalah nanti nya diberi jalan oleh pengkhianat menguras isi perut bumi Indonesia dengan rakus menuju punah.

Benar saat ini 70 Tahun Republik ini sudah Merdeka, saat nya eratkan tangan meraih kekuatan menuju persatuan, jika perbedaan adalah rahmat jadikan saat ini sebagai nikmat. Di semenanjung Arab sana seperti Iraq, Palestina, Suriah yakni saudara seiman kita meregang nyawa mempertahankan Aqidah dan tanah harapan.  Alhamdulillah, kita hanya perlu merawat persaudaraan serta menjaga silaturrahim,  bayangkan saudara kita disana - jauh dari kemerdekaan yang Haq!

Maka itulah, saat nya setiap raga yang berjiwa merdeka di negeri ini, berikanlah & bagikan karyamu apa yang kamu mampu !! Jangan bertumpu kepada masa lalu, kuatkan ambisi mu - menjadi sebuah kenangan untuk dirimu dan Nagarimu bahkan kalau bisa untuk Republik ini.

 

17 - Agustus - 2015 di lapangan Koto Tuo 















18 - Agustus - 2015 di nagari Sulit Air

















----- Sekian -----

Saturday, 15 August 2015

Awal mula suku di nagari Sulit Air (Bag - I)

     
          Sekarang ini di Sulit Air ada terdapat 115 orang panghulu dari empat suku yang ada. Dimana jumlah 115 orang ini meliputi panghulu-panghulu dari suku Simabur ada 26 orang, suku Piliang ada 25 orang, suku Limo Panjang ada 26 orang dan yang terbanyak datuk nya ada dari suku Limo Singkek berjumlah 38 orang. Dari setiap suku ada datuk ninik nya seperti persukuan Piliang ada 4 datuk ninik, persukuan Simabur ada 4 datuk ninik, persukuan Limo Panjang ada 3 datuk ninik serta persukuan Limo Singkek ada 4 datuk ninik sehingga semua nya berjumlah 15 orang datuk, inilah cikal bakal turunan para datuk-datuk selanjut nya.

          Namun jika kita ditelusuri riwayat nagari, jauh kebelakang ketika masih dalam kekuasan wilayah Taraguang sebenar nya jumlah datuk yang ada awalnya hanya berjumlah 15 orang datuk. Kemudian para datuk ninik yang 15 orang tersebut merasakan, dimana pertambahan penduduk berjalan sangat pesat nya ditambah anak buah nya dibawah masing-masing kekuasaan nya bertambah juga hingga mulai terasa kewalahan dalam mengurus dan mengawasi anak-kemenakan yang ada dalam lingkup nagari. Maka kesepakatan kesepakatan dari panghulu semua berjumlah 15 itu, disepakatilah yang mana dibolehkan mengangkat panghulu-panghulu baru sebagai pembantu yang kelak lebih dekat mengurusi anak kemenakan nya masing-masing. Tersebutlah nama datuk Andiko, dimana arti memberi kuasa. Dalam strata nya datuk ninik (lebih tinggi) memberi kuasa terhadap datuk Andiko, bertujuan untuk memerintah dan mengurusi kepentingan anak kemenakan nya.

          Pada pengangkatan tahap pertama dulua nya jumlah panghulu dari 15 orang berubah menjadi 35 panghulu. Selanjut nya kesepakatan kedua beberapa waktu selanjut nya berubah lagi meningkat menjadi 85 orang panghulu. Seterus nya, hingga sampai saat ini semua jumlah panghulu di nagari Sulit Air meningkat semua nya menjadi 115 panghulu plus 5 orang diambil  bagian dari pemimpin ibadah meliputi Imam, Bilal, Khatib, Khadi dan Gharim. Adapun hal yang memberi kesamaan dari setiap suku yang 4 tersebut adalah masing-masing nya memiliki satu orang datuk Suku, satu orang datuk Monti, satu orang Hulu Balang dan satu orang Jurai. Agar lebih jelas nya mari kita urai, awal mula ada nya para datuk-datuk di kenagarian Sulit Air ini.

Wilayah awal Taraguang & pendirian suku

          Suatu masa pada beberapa abad yang silam, alam Minangkabau waktu itu masih sepi penduduk nya belum begitu banyak dan belum merata. Kebanyakan hidup berada di pesisir pantai atau disekitar lembah gunung merapi yang tanah nya subur. Tersebutlah pada waktu itu penghulu suku di nagari Pariangan (Padang Panjang) bernama Datuk Mulo nan Kawi melakukan perpindahan. Daerah tujuan yang sebenar nya mengarah ke arah nagari Solok yang tak jauh dari kaki gunung Talang. Daerah tersebut menarik menurut beliau, cerita dari sahabat yang pernah mengunjungi daerah itu tanah nya subur, cocok untuk bertani & bersawah lagi pula belum banyak orang-orang yang menuju kesana. Untuk bisa sampai ke daerah Solok dapat lansung menuju ke timur menyusuri pinggiran danau Singkarak. Tetapi Datuk Mulo nan Kawi ingin mencoba jalur utara, melewati daerah pagaruyung terus saja melintasi hutan-hutan lebat, yang belum pernah ditempuh orang sebelum nya . Pada zaman tersebut belum ada kendaraan, hingga memakan waktu berminggu-minggu. Belum lagi dalam perjalanan dihadang oleh binatang buas bahkan penyamun. Justru karena belum dikenal itu, menyebabkan bangkit nya hasrta Datuk Mulo nan Kawi beserta rombongan untuk menjelajahi nya. Keberangkatan Dt.Mulo nan Kawi membawa istri nya bernama Puti Anggo Jati beserta pengikut nya yang banyak pula. Tujuan nya hanya satu, yakni mencari tanah harapan dan kampung halaman baru.

          Setelah menempuh perjalanan beberapa waktu sampailah ditepian batang Ombilin, rupanya sudah ada penduduk yang mendiami disana. Boleh jadi rombongan beliau lah yang memulai napak tilas perjalanan darat yang pertama, maka pada setiap tempat berhenti tidak lupa memberi daerah tersebut sebuah nama. Ketika di Ombilin tersebut air nya meluap karena musim hujan, rombongan dengan segenap kemampuan nya menyusuri jauh aliran batang air Ombilin tersebut. Hingga mereka menemukan hilir di ujung dari daerah bernama Pasilihan sekarang. Sempat berhenti dan memberi nama Pasilihan, tidak heran dari kekerabatan nya orang Pasilihan masih belahan nya orang Sulit Air. Selanjut nya dengan keyakinan nya sempat terus menuju ke hilir, sampai pada suatu tempat bernama Kolok (nagari Talawi). Ketika sudah jauh menyusuri hilir sungai untung diingati oleh seorang bapak tua yang sudah bungkuk, sebaik nya balik lagi menuyusuri aliran sungai ini sampai pada suat persimpang yang mana dinamakan daerah "taratak bungku" dari sinilah diarahkan perjalanan menuju ke selatan. Hingga dipenghujung pemberhentian, rombongan kafilah sang Datuk ini sampailah ke sebuah dataran yang cukup lapang dan rindang, saat ini yg kita kenal bernama tanah lapang Koto Tuo.

          Atas saran sang istri Puti Anggo Jati, dimana melihat alami nya hutan dan asri nya pemandangan yang dilihat beliau sarankan kepada Baginda Dt Mulo Nan Kawi untuk berdomisili di daerah ini saja, sampai beberapa puluh tahun lamanya keluarga ini berkembang hingga dikaruniai 7 orang anak, terdiri dari 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. nama ketujuh anak beliau tersebut adalah Bagindo Basa, Bagindo Usman, Bagindo Bungsu, Puti Inah, Puti hanafiah, Puti Sabariah dan Puti Rimandang. Anak tertua saat itu sudah berumsia 29 tahun dan yang termuda berusia 14 tahun. Dikarenakan itu belum seorang pun menikah, dan saat nya sudah pantas lah untuk  kawin, maka dari renungan beliau berdua sepakat untuk mengawinkan sekaligus dalam suatu adat meriah di nagari Sulit Air.

          Untuk melaksanakan niat itu, maka dicarikan lah jodoh bagi ketujuh anak nya yang akan segera beranjak tua. Datuk Mulo nan Kawi termasuk keturuan kerajaan dan pembesar nagari Pariangan, dengan alu jo patuik & sesuai dengan harkat dan kedudukan beliau pada waktu itu didapatkanlah jodoh dari nagari lain. Ketujuh jodoh tersebut berasal dari luhak Tanah Datar dua orang, luhak Lima Puluh Kota dua orang, luhak Agam  dua orang serta didapatkan satu orang dari nagari Aripan tidak jauh dari Sulit Air.

          Pada hari yang telah ditentukan dilaksanakanlah pesta rakyat besar-besaran, diuandang para pembesar dari nagari lain juga. Diantara tamu-tamu yang hadir ada pimpinan tertinggi laras Bodi-Chaniago yakni Dt.Parpatiah Nan Sabatang serta dari laras Koto-Piliang yakni Dt. Ketemanggungan. Kedua nya merupakan bersaudara dan menjabat mangkubumi (perdana mentri) di kerajaan Pagaruyung. Dari kedatangan pembesar2 dari nagari lain, dengan cerdas nya serta melaraskan dengan firasat bahwa nantianak cucu nya kelak kemudian hari akan berkembang dengan pesat nya. Dibuatlah satu keputusan pada saat momen yang penting tersebut bahwa masing-masing anak dan menantu nya memiliki suku sendiri. Pada saat itu juga di umumkan pada pesta perkawinan itu terdiri 14 suku di Sulit Air. Berikut nama suku nya adalah: Bodi, Chaniago, Kutianyie, Bendang, Simabur, Dalimo, mandaliko, Tanjung, Supanjang, Koto, Sumagek, Patapang , Piliang dan Kalumpang.

          Dt. Katumanggungan walau dalam kedudukan sebagai Perdana Menteri kerajaan Pagaruyung, tidak dapat mencegah keputusan dan kebijakan Dt.Mulo Nan Kawi. Karena soal pembagian suku adalah hak dan kedaulatan serta "Adat yang diadatkan" bagi masing-masing nagari. Malah Dt.Katumanggungan menyarankan sebaiknya jangan hanya 14 suku tapi jadikanlah 15 suku. Saran ini rupanya diterima dengan baik oleh sang punya hajat, diamanaatas saran nya ditambahkan satu suku lagi bernama Piliang Sani.

          Dengan adanya pembagian suku yang baru tersebut, maka kelompok-kelompok warga Sulit Air pada waktu itu harus masuk menjadi anggotasalah satu dari 15 suku yang ditentukan itu. Karena  ke limabelas suku itu asal-usul nya ditarik dari garis keturunan dari anak & menantu Dt. Mulo Nan Kawi kecuali 1 orang "Piliang Sani". Itulah selanjutnya anak-menantu nya dijadikan ninik-ninik moyang nya orang Sulit Air, dimana kemudian hari kelak tidak boleh kawin-mengawini.

          Susunan ke lima belas suku di Sulit Air beserta pimpinan lengkap (datuk Ninik) nya adalah sebagai berikut, dimana kemudian hari hanya menjadi 4 suku saja:
  1. Suku Bodi dibawah pimpinan Dt. Polong Kayo (Simabur)
  2. Suku Sumpadang dibawah pimpinan Dt. Marajo (simabur)
  3. Suku KutiAnyie dibawah pimpinan Dt. Rajo Alam (Simabur)
  4. Suku Bendang dibawah pimpinan Dt.Bagindo Marajo (Simabur)
  5. Suku Chaniago dibawah pimpinan Dt.Bagindo Basa (Limo Singkek)
  6. Suku Dalimo dibawah pimpinan Dt. Nan Sati (Limo Singkek)
  7. Suku Mandaliko dibawah pimpinan Dt. Rajo Lenggang (Limo Singkek)
  8. Suku Tanjung dibawah pimpinan Dt.Rajo Panghulu (Limo Singkek)
  9. Suku Koto dibawah pimpinan Dt. malakewi (Limo Panjang)
  10. Suku Patapang dibawah pimpinan Dt. Paduko Nan Panjang (Limo Panjang)
  11. Suku Supanjang dibawah pimpinan Dt. Pono Marajo(Limo Panjang)
  12. Suku Piliang dibawah pimpinan Dt. Majo Bongsu (Piliang)
  13. Suku Piliang Sani dibawah pimpinan Dt. Rajo Lelo (piliang)
  14. Suku Sumagek dibawah pimpinan Dt. majo Bosa (Piliang)
  15. Suku kalumpang dibawah pimpinan Dt. Rajo Malano (Piliang)
           Itulah secara ringkas turunan Datuk Ninik di kanagarian Sulit Air, selanjut nya perjalanan waktu sampai saat ini telah terdapat 115 para datuk-datuk Ninik dan datuk Andiko bahkan hanya terdpat empat suku saat ini, InsyaAllah nanti dibahas dan di urai pada episode akan datang. Hikayat dan Tambo Sulit Air ini, hanya bercerita dari mulut kemulut, namun dalam bukti sahih serta nilai sejarah nya itu tentu penelusuran yang lebih dalam lagi.

Sumber : Tambo Asal-usul nagari & persukuan Sulit Air (H.Rozali Usman & Drs. Hamdullah Salim)

Thursday, 6 August 2015

Tambo Minang - Dt Katumanggungan vs Dt Parpatiah nan sabatang

Situs Budaya Minang: Balai nan panjang - asal mulo sapakat nyo Adat & Syara' di Minangkabau
          Riwayat tentang Balai Saruang dan Balai nan Panjang, berkaitan dengan kisah Dt. Parpatiah nan Sabatang & Dt. Katumanggungan dimasa lalu. Dt. Parpatiah na Sabatang dimasa kecil nyahingga muda nya bernama Sutan Balun. Dt Katumanggungan juga punya nama kecil yakni bernama Sutan Rumanduang kalau ditejermahkan bernama Pangeran Matahari.
 
         Sutan Balun dan Sutan Rumanduang masih bersaudara. Sutan Rumanduang yang tua & Sutan Balun yang muda. Mereka berbeda ayah, tapi satu ibunya. Ayah Sutan Rumandung Raja di Rantau Tanah Jao, sedang ayah Sutan Balun adalah pegawai kerajaan. Ketika saudara mereka naik nobat sebagai raja di Tanah Jao banyak terjadi pemberontakan, Maka mereka memutuskan untuk bahu-membahu membantu saudaranya itu. Sutan Rumandung karena pernah di besarkan dilingkungan kerajaan, maka tak kesulitan dalam merapatkan diri, sehingga ia kemudian diangkat menjadi Tumenggung. 

          Sedangkan Sutan Balun menempuh cara mambasuik dari bumi. Yaitu dengan cara menyusup dan menyamarsebagai rakyat biasa. Sebelum ke Tanah Jao uia malah singgah di Pulaiu Bali. Kemudian ia baru pergi ke ibukota kerajaan. Namun karena kesaktian selaku anak dari Cati Bilang Pandai (Indo Jati) taklama kemudian ia di angkat jadi bekel (ketua) prajurit istana. Berkat kecerdasannya dan ketangguhannya, selanjutnya ia diangkat pula jadi Patih. Bahkan taklama antaranya ia dipromosikan menjadi Mahapatih. Semenjak itu mereka berdua sering bahu-membahu menyusun kekuatan membela kerajaan hingga kerajaan tersebut menjadi besar. Tentu saja tanpa banyak yang tahu, bahwa sesungguhnya Patih dan Tumenggung itu adalah dua orang yang bersaudara. 

          Setelah lama di rantau, suasana mulai berubah. Apalagi kekuatan kerajaan-kerajaan Islam semakin berkembang dan mendesak kekuatan pusat. Pertikaian di dalam kerajaan juga kian menjadi-jadi. Sutan Rumandung yang jadi Tumenggung sering mengalami kekecewaan, sehingga ia berniat pulang kampung ke Ranah Minang. Setiba di kampung halaman suasana di Ranah Minang ternyata juga telah berubah. Ia merasa asing di tanah kelahiraannya sendiri. Apalagi ajaran Islam telah berkembang dengan pesat. Sementara ia dan pengiringnya masih menganut ajaran Bhairawa (satu sekte dari agama Budha).

           Ia coba pindah dari Darmasyraya ke Pariangan. Ternyata di kakigunung Marapi itu ajaran Islam lebih kental. Semula ia mempelajari Islam dengan tujuan untuk mencari kelemahannya.Tetapi, setelah beberapa tahun Ia malah memutuskan untuk bersyahadat. Setelah menjadi muslim dan menjadi penganjur Islam yang taat, Ia didaulat menjadi Datuak Katumanggungan. Sejak itu ia kembali diterima oleh masyarakatnya. Karena itu pula ia bersama pemuka adat Minangkabau waktu itu merumuskan Undang Tariak Baleh (Hukum Qhisas) sebagai pengganti Undang Si Lamo-Lamo dan Undang Si Gamak-Gamak. 
Balai nan Panjang ini berada di Nagari Tabek - Kec. Pariangan -Tanah Datar
          Kini beralih cerita pada Sutan yang telah menjadi Mahapatih di Tanah Jao. Selama menjadi Mahapatih ,ia tidak hanya bepergian untuk memimpin angkatan perang.Tetapi ia memanfaatkan untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan. Ia menuntut berbagai ilmu di negeri orang. Ia bahkan beberapa kali sampai ke negeri Cina sebagai wakil kerajaan. Kecerdasan Sutan Balun tentu semakin bertambah. 
          Namun, tak lama akhirnya saudaranya yang menjadi raja mangkat. Selanjutnya digantikan oleh beberapa keturunannya. Tapi lama kelamaan ia menjadi tidak betah. Kebesaran kerajaan membuat masyarakat di lingkungan Istana menjadi pongah. Bahkan ia sering kecewa pada berbagai pola & kebijakan yang diterapkan di sana. Setelah rasa sabarnya taklagi terbendung ia pun berlayar ke tengah lautan. Ia meninggalkan jabatannya dan hilang dari pandangan masyarakat di sana.

          Datang entah dari mana dan pergipun entah ke mana. Demikian orang di Tanah Jao menggambarkan keberadaannya. Sehingga hampir tak ada yang tahu kalau Sang Mahapatih itu bertolak pulang ke kampung halamannya di Ranah Minang. Sutan Balun rindu pada kampung halaman. Ia juga rindu pada kakaknya. Apalagi Sutan Rumandung adalah kakak satu-satunya. Sementara ibu mereka telah tiada. Kerinduan yang mengharu-biru membuat ia segera ingin kembali bersama. 

          Sutan Balun akhirnya sampai di kampung halaman. Setelah sampai, Sutan Rumandung merasa lega. Kepulangan adiknya disambut dengan gembira. Ia segera mendatangi rumah kediaman adiknya. Kedua bersaudara itu berjabat tangan dan berpelukan dengan penuh sukacitanya. Bahkan ia mengadakan upacara penyambutan bersama masyarakat dan mendaulat mantan Mahapatih yang kemudian dikenal menjadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang.

          Hanya saja ada kekecawaan yang mendalam di hati Sutan Balun. Ia merasa kecewa karena kakaknya telah menjadi muslim. Pada hal sewaktu sama-sama menjadi pembesar kerajaan di Tanah Jao musuh bebuyutan mereka adalah kerajaan-kerajaan Islam yang semakin menguat. Akhirnya rasa kecewannya juga tak bisa dipendam lagi. Ia coba mencari akal. Bermodalkan kecerdasannya Sutan Balun mendebat Datuak Katumanggungan soal Undang Undang Tarik Balas. Sutan Balun mengatakan bahwa Undang-Undang ini mempunyai kelemahan. Kelemahan ini membuat rakyat kurang puas. Bahkan hal ini menurut Sutan Balun membuat orang teraniaya. Mati satu maka harus mati satu lagi, sakit seorang maka harus sakit seorang lagi. “Bagaimana bila di masa depan akan lebih banyak terjadi kejahatan. Orang yang akan menerima balasan tentu akan banyak pula”. ujarnya pada Datuak Katumanggungan. 

          Segala uneg-unegnya ia sampaikan kepada kakaknya. Ia sangat cinta kepada kebenaran. Rasa kemanusiaannya memancar menyinari otaknya, karena itu ia bertekad untuk memperjuangkan agar hukum Islam yang sedang berlaku dikoreksi kembali. Setelah disampaikan, Sutan Rumandung merasa kagum pada pikiran adiknya. Ia dapat merasakan apa yang dirasakan Sutan Balun. Hampir sama dengan apa yang pernah dirasakannya sebelum ia paham dengan ajaran Islam yang mulia. Ia tentu juga tak ingin memaksa adiknya untuk segera sepaham dengannya. Karena itu dengan bijak Datuak Katumanggungan berjanji untuk mempertimbangkannya usul adiknya. 

          Semula Sutan Balun merasa gembira. Tapi ternyata kakaknya tidak berbuat apa-apa. Ia mulai tak sabar. Padahal Datuak Katumanggungan sebenarnya ingin adiknya mau mempelajari Undang Tariak Baleh dengan lebih rasional bukan dengan emosional dalam mengedepankan hukum adat kembali. Namun Sutan Balun dan pengikutnya justru tampak menjadi curiga, dan mengira Datuak Katumanggungan takut kalah pamor dari adiknya. 

          Untuk menghindari hal yang kurang menyenangkan hati Sutan Balun dan pendukungnya, maka dengan penuh kebijakan ia mengundang pemuka-pemuka masyarakat untuk membicarakannya. Dalam keikhlasannnya yang kini dituntun oleh aturan yang disukai Allah SWT, maka ia yakin akhirnya Allah SWT akan memberikan hidayah pula pada adiknya. Seperti yang tertuang dalam pantun Minang berikut : 
 "Nan bana tak lakang dek paneh, nan hak tak lapuak dek hujan,

Walaupun nafasu nan mambateh, hancua luluah dek kanyataan "
          Datuak Katumanggungan mengusulkan agar saran Sutan Balun dan pendukungnya itu dibahas dengan pemuka-pemuka masyarakat. Setelah musyawarahlah itulah akan ditetapkan, apakah memang perlu dibentuk undang-undang yang baru. Agar pembicaraan jangan sampai diketahui oleh umum & tidak memancing keributan, sebelum diputuskan maka diperlukan sebuah tempat yang aman untuk mengkaji persoalan. Sutan Balun mengusulkan agar Balai Nan Panjang di nagari Tabek diambil seruang yang yang ditengahnya. Balai yang seruang ini dipindahkan ke Pariangan dan dinamakan Balai Saruang. Setelah Balai Saruang di Pariangan siap, dimulailah rapat tersebut. 

          Menurut Sutan Balun, peraturan yang akan dirumuskan hendaklah sesuai dengan kehendak masyarakat (Mambasuik dari bumi dalam proses duduak sahamparan, tagak sapamatang ) & logis (berdasakan puncak pemikiran yang cerdas atau bodi catni arga) yang tidak melanggar kebenaran. Hal ini karena yang akan memakai adalah masyarakat juga. Pendapat-pendapat dan keinginan rakyat harus diterima sebagai bahan pertimbangan. Pendapat ini bisa menjadi pedoman dalam membentuk undang-undang. 

          Sementara Datuak Katumanggungan yang telah sangat mantap dengan ajaran Islam mengatakan bahwa manusia hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT. Karena itu segala aturan yang akan dirumuskan harus didasarkan kepada ajaran yang telah diturunkan oleh Allah SWT (Titiak dari ateh, bajanjang naiak batanggo turun : Nan babarih nan bapaek, nan baukua nan bakabuang ). Jadi setiap aturan yang dirumuskan haruslah aturan yang disukai oleh Allah SWT. 

          Musyawarah itu akhirnya menjadi wadah sambung rasa. Terutama karena Datuak Katumanggungan tidak pernah mencela apalagi menyalahkan pendapat Sutan Balun. Perdebatan memang berlangsung sengit. Tetapi bukan membuat keduanya sama-sama berkeras untuk memaksakan pahamnya. Melainkan mereka sama-sama berusaha membuat pihak lawan untuk berpikir jernih. (Inilah kemudian yang menjadi cikal budaya Alua Pasambahan).

          Karena ia dihormati dengan santunnya oleh pihak Datuak Katumanggungan, lama kelamaan nuraninya tergugah. Tirai yang membuat ia jadi berjarak dengan kakaknya tersibak. Ternyata apa yang ia inginkan tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi roh dari Undang Tariak Baleh. Bahkan ia merasa gagasannya menjadi semakin lengkap ketika pihak Datuak Katumanggungan beserta pendukungnya menjabarkan konsep Islam tentang gagasannya itu.
Makam Dt. Parpatih nan Sabatang di daerah Selayo - Solok (sumber.Mantagibaru.com)
           Akhirnya dengan sangat bijak, rapat di Balai Saruang itu menetapkan kesepakatan untuk tidak sepakat. Di mana kedua paham dari pihak Sutan Balun dan pendukungnya, serta paham Datuak Katumanggungan dan pendukungnya sama-sama boleh diterapkan di Minangkabau. Adat inilah yang kemudian dikenal sebagai Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah. Akhirnya hasil rapat ini dibawa ke Balai Nan Panjang untuk dikukuhkan untuk dimaklumkan kepada umum. Untuak ditabukan ka nan rami, dilewakan ka nan banyak...

(Dikutip dari Buku Yulfian Azrial, Raja (rujukan) BAM (Budaya Alam Minangkabau) hal 21-25)
Sumber: talunjuak.blogspot.com