Saturday, 17 October 2015

Intifada, perjuangan tiada henti bangsa Palestina

 Apa itu Intifada?


Intifada berasal dari kata berbahasa Arab intifadlah dari asal kata nafadla yang berarti gerakan, goncangan, revolusi, pembersihan, kebangkitan, kefakuman menjelang revolusi, dan gerakan yang diiringi dengan kecepatan dan kekuatan. Intifada pertama kali dipakai sebagai nama oleh sebuah kelompok perjuangan Palestina yang membelot dari Gerakan Fatah. Namun kini kata itu lekat dengan gerakan kebangkitan baru rakyat Palestina. Pada dekade 1980-an, rakyat Palestina secara serentak bangkit melakukan perlawanan menentang rezim Zionis Israel. Sejak itu, intifada dipakai untuk menyebut gerakan yang muncul secara tiba-tiba, serentak, independen, agresif, universal, dengan kesadaran dan rasa protes, serta dengan penuh keberanian. Gerakan itu dilakukan oleh rakyat Palestina dalam menghadapi rezim Zionis Israel.

Saat itu, rakyat Palestina tidak memiliki sarana dan fasilitas apapun dalam perjuangan membebaskan negeri mereka melawan tentara Zionis. Mereka bersenjatakan batu untuk membela diri dan menyerang musuh. Karena itu, intifada dekade 80-an disebut juga dengan revolusi batu. Meski hanya bersenjatakan batu, tetapi intifada ini sangat menakutkan bagi Israel. Sebab dalam kitab suci mereka tercatat kisah Nabi Daud as yang membunuh Jalut, raja yang kejam dan bengis dengan senjata batu.

Sejarah Palestina moderen diwarnai dengan empat kebangkitan, yaitu kebangkitan tahun 1921, 1932, 1939 dan 1987. Intifada terakhir disebut sebagai yang terbesar dan paling luas. Para pejuang Palestina menggunakan strategi menyerang ke dalam wilayah pendudukan (Israel) dan mengatasnamakan perjuangan ini dengan syiar Islam, dengan mencampakkan cara-cara lama yang bertahan dan menggunakan atribut perjuangan nasionalis atau jargon-jargon non agama lainnya.

Mengenai gerakan intifada, Syahid Dr Fathi Ibrahim Shaqaqi, Sekjen pertama Gerakan Jihad Islam Palestina mengatakan, “Dalam sejarah revolusi dan perjuangan, kata intifada memiliki latar belakang yang panjang. Akan tetapi dari sisi makna, intifada berarti kebangkitan menggantikan masa kevakuman. Intifada adalah tahap pendahulu bagi sebuah revolusi. Misalnya, di Iran, terjadi kebangkitan di madrasah Feiziyah Qom. Kebangkitan itu kita namakan intifada, sebab gerakan itu pada tahun 1979 membuahkan kemenangan revolusi. Apa yang terjadi saat ini di Palestina tak lain adalah tahap bagi sebuah revolusi. Kita tak pernah membayangkan gerakan kebangkitan ini akan berjalan secara luas dan universal seperti ini. Kita namakan gerakan ini dengan nama intifada. Karena itu, kami di Gerakan Jihad Islam menyebut kebangkitan ini sebagai intifada dan revolusi.

Intifadah pertama memasuki panggung politik pada 1987, dimulai dengan pemuda Palestina yang membalas pembunuhan enam anak-anak Palestina oleh tentara-tentara Israel. Berlanjut hingga 1993, Intifadah menghadapi tanggapan yang sangat keras dari Israel, berdasar prinsip bahwa “kekerasan melahirkan kekerasan,” Timur Tengah kembali terjatuh ke dalam kekacauan. Sepanjang masa ini, perhatian dunia tertuju pada kasus anak-anak yang tempurung kepalanya pecah dan tangan-tangan mereka dipatahkan oleh para tentara Israel. Orang-orang Palestina, dari yang paling muda hingga yang paling tua, menentang kekerasan militer Israel dan penindasan dengan sambitan batu apa pun yang dapat mereka temukan. Sebagai balasannya, tentara Israel secara besar-besaran memberondongkan senjatanya: menyiksa, mematahkan tangan, dan menembaki lambung dan kepala orang-orang dengan tembakan senapan. Pada tahun 1989, sebanyak 13.000 anak-anak Palestina ditahan di penjara-penjara Israel.

Apa pun alasannya, memilih cara kekerasan tidak pernah memecahkan persoalan. Dan kembali, kenyataan penting harus dicamkan ketika merenungkan tanah tempat Intifadah terjadi. Pertama-tama, karena diperkuat oleh keputusan PBB, tentara Israel menggunakan kekuatan yang, sejalan dengan hukum internasional, seharusnya dijauhi. Meskipun sudah diperkuat aturan, jika Israel menuntut agar keberadaannya di tanah ini diterima, cara menunjukkannya tentu bukan dengan membunuh orang-orang tak berdosa. Karena semua orang yang waras pastilah sepakat, jika salah bagi orang-orang Palestina memilih kekerasan, maka pastilah juga salah bagi tentara-tentara Israel membunuh mereka. Setiap negara memiliki hak membela diri dan melindungi dirinya, namun apa yang telah terjadi di Palestina jauh dari sekedar membela diri.

Tentara pendudukan Israel menanggapi batu-batu dan ketapel remaja Palestina dengan senapan otomatis dan peluru tajam. Oleh karenanya setidaknya beberapa orang Palestina meninggal setiap hari.
Selama tahun-tahun Intifadah, sebuah peristiwa terjadi di desa Kristen Beit Sahour di dekat Bethlehem. Kejadian ini, yang disaksikan oleh penduduknya Norman Finkelstein, hanyalah satu dari banyak contoh yang tidak mendukung bahwa campur tangan militer didorong oleh keinginan membela diri:
Suatu kali di kamp pengungsian Jalazoun, anak-anak membakar ban ketika sebuah mobil menepi. "Pintu dibiarkan terbuka, dan empat pria (pemukim Israel maupun tentara berpakaian preman) melompat keluar, menembak membabi buta ke segala penjuru. Anak-anak di samping saya tertembak di punggungnya, peluru keluar dari pusarnya… Hari berikutnya Jerussalem Post melaporkan bahwa tentara itu menembak untuk membela diri."

Intifadah rakyat Palestina, yang dilakukan dengan sambitan batu dan pentungan untuk melawan tentara paling modern di dunia, berhasil menarik perhatian internasional pada wilayah ini. Gambar-gambar yang intinya mengenai pembunuhan tentara Israel atas anak-anak berusia sekolah sekali lagi menunjukkan kebijakan teror pemerintah pendudukan. Masa ini berlanjut hingga Kesepakatan Oslo tahun 1993, ketika Israel dan PLO duduk bersama di meja perundingan. Pada pertemuan ini, Israel mengakui Yasser Arafat untuk pertama kalinya sebagai perwakilan resmi rakyat Palestina.

Setelah Intifadah pertama mencapai puncaknya dalam kesepakatan damai, rakyat menunggu dengan sabar perdamaian dan keamanan kembali ke wilayah Palestina. Penantian ini berlanjut hingga Sepetember 2000, ketika Ariel Sharon, yang dikenal sebagai “Penjagal dari Libanon,” melakukan kunjungan yang menghebohkan ke Mesjid al-Aqsa bersama puluhan polisi Israel. Kejadian ini memicu bangkitnya Intifadah al-Aqsa.

Rasa sakit dan penderitaan tak berujung orang-orang Palestina meningkat dengan adanya Intifadah al-Aqsa. Saat ini, tiap hari ada laporan yang menyebutkan anak-anak dan remaja meninggal di wilayah-wilayah Palestina. Semenjak awalnya di bulan September 2000 hingga Desember 2001, sebanyak 936 orang Palestina tewas (angka-angka ini bersumber dari Organisasi Kesehatan Palestina). Sepanjang pertikaian, satuan-satuan tentara Israel menjadikan banyak warga sipil, termasuk anak-anak yang pulang sekolah sasaran pengeboman dengan helikopter.

Tentara Israel menggunakan senjata mereka bukan untuk melucuti senjata anak-anak Palestina, melainkan untuk membantai dan membunuh mereka. Suleiman Abu Karsh, wakil menteri perdagangan Palestina, menyatakan perasaan rakyatnya mengenai Intifadah ini dalam sebuah wawancara:
Intifadah ini terlahir dari kekejaman Zionis Israel dan provokasi terhadap rakyat Palestina dan hal-hal yang kami anggap suci. Karena ikatan kuat rakyat Palestina terhadap tempat-tempat suci ini, khususnya Mesjid Aqsa, yang merupakan kiblat pertama Muslimin, mesjid mereka, dan salah satu titik pusat Haram asy-Syarif, Israel menunjukkan tindak kekejaman.
Bendera Zionis Israel - bahkan terpampang jelas di Tolikara Papua
Di Palestina, di mana 70% penduduk terdiri atas kalangan muda, bahkan anak-anak pun telah mengalami perpindahan, pengusiran, penahanan, pemenjaraan, dan pembantaian semenjak pendudukan tahun 1948. Mereka diperlakukan seperti warga kelas dua di tanahnya sendiri. Mereka telah belajar bertahan hidup dalam keadaan yang paling sulit. Renungkanlah fakta-fakta berikut ini: 29% dari orang yang terbunuh selama Intifadah al-Aqsa berusia di bawah 16 tahun; 60% dari yang terluka berusia di bawah 18; dan di wilayah tempat bentrokan paling sering terjadi, paling tidak lima anak terbunuh tiap hari, dan setidaknya 10 orang terluka.

Tentara Israel, yang menjadikan warga sipil dan anak-anak sebagai sasaran, tidak ragu menembak bahkan anak-anak yang tengah bermain di tempat bermain sekolah. Karena jam malam yang diberlakukan oleh Israel, dalam tahun itu mereka lebih sering tidak pergi ke sekolah. Ketika mereka bisa bersekolah, mereka menjadi sasaran serangan Israel. Salah satu serangan itu terjadi pada 15 Maret 2001. Sewaktu murid-murid Sekolah Dasar Ibrahimi di al-Khalil tengah bermain selama jam istirahat, tentara Israel menembaki mereka. Kejadian ini, ketika enam anak-anak terluka parah, bukan contoh yang pertama maupun terakhir tentang kekejaman semacam itu.

Dalam The Palestine Chronicle, wartawan-penulis Ruth Anderson menggambarkan beberapa kejadian tak berperikemanusiaan dalam Intifadah al-Aqsa: Tak ada yang menyebutkan seorang lelaki muda yang baru menikah yang pergi berdemonstrasi hanya untuk menjadi martir, meninggalkan pengantin wanitanya menjadi janda. Tak ada yang menyebutkan pemuda Palestina yang kepalanya diremukkan oleh orang Israel dan tangannya dipatahkan sebelum ia secara brutal dijagal. Tak ada yang menyebutkan seorang anak kecil berusia 8 tahun yang tertembak mati oleh tentara Israel. Tak ada yang mengatakan bagaimana para pemukim Yahudi, yang dilengkapi dengan berbagai jenis senjata dan disokong oleh pemerintah Barak, menyerang desa-desa Palestina dan mencabuti pohon-pohon zaitun dan membunuh orang-orang sipil Palestina. Tak ada yang menyebutkan bayi-bayi Palestina yang meninggal ketika rumah mereka dibom dengan serangan udara atau orang yang dihujani oleh peluru Israel ketika dipindahkan ke tempat aman. Setiap orang tahu bahwa bayi-bayi tidak bisa melempar batu. Setiap orang tahu kecuali orang-orang Israel dan Amerika.

Terbaru: Situasi di Tepi Barat dan Jalur Gaza memanas dalam beberapa pekan terakhir. Tercatat sedikitnya 32 warga Palestina terbunuh dan 7 warga Israel tewas sejak awal Oktober lalu.  Sejumlah kelompok Palestina, seperti Hamas menyebut gerakan perlawanan saat ini sebagai Intifada ketiga. Kericuhan yang dimulai dari aksi pelecehan aparat Israel terhadap Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama Muslim.

--- Sekian ---

1 comment: