Apa itu Intifada?
Intifada berasal dari kata berbahasa Arab
intifadlah dari asal kata nafadla yang berarti gerakan, goncangan,
revolusi, pembersihan, kebangkitan, kefakuman menjelang revolusi, dan
gerakan yang diiringi dengan kecepatan dan kekuatan. Intifada pertama
kali dipakai sebagai nama oleh sebuah kelompok perjuangan Palestina yang
membelot dari Gerakan Fatah. Namun kini kata itu lekat dengan gerakan
kebangkitan baru rakyat Palestina. Pada dekade 1980-an, rakyat Palestina
secara serentak bangkit melakukan perlawanan menentang rezim Zionis
Israel. Sejak itu, intifada dipakai untuk menyebut gerakan yang muncul
secara tiba-tiba, serentak, independen, agresif, universal, dengan
kesadaran dan rasa protes, serta dengan penuh keberanian. Gerakan itu
dilakukan oleh rakyat Palestina dalam menghadapi rezim Zionis Israel.
Saat itu, rakyat Palestina tidak memiliki sarana dan fasilitas apapun
dalam perjuangan membebaskan negeri mereka melawan tentara Zionis.
Mereka bersenjatakan batu untuk membela diri dan menyerang musuh. Karena
itu, intifada dekade 80-an disebut juga dengan revolusi batu. Meski
hanya bersenjatakan batu, tetapi intifada ini sangat menakutkan bagi
Israel. Sebab dalam kitab suci mereka tercatat kisah Nabi Daud as yang
membunuh Jalut, raja yang kejam dan bengis dengan senjata batu.
Sejarah Palestina moderen diwarnai dengan empat kebangkitan, yaitu
kebangkitan tahun 1921, 1932, 1939 dan 1987. Intifada terakhir disebut
sebagai yang terbesar dan paling luas. Para pejuang Palestina
menggunakan strategi menyerang ke dalam wilayah pendudukan (Israel) dan
mengatasnamakan perjuangan ini dengan syiar Islam, dengan mencampakkan
cara-cara lama yang bertahan dan menggunakan atribut perjuangan
nasionalis atau jargon-jargon non agama lainnya.
Mengenai gerakan
intifada, Syahid Dr Fathi Ibrahim Shaqaqi, Sekjen pertama Gerakan Jihad
Islam Palestina mengatakan, “Dalam sejarah revolusi dan perjuangan,
kata intifada memiliki latar belakang yang panjang. Akan tetapi dari
sisi makna, intifada berarti kebangkitan menggantikan masa kevakuman.
Intifada adalah tahap pendahulu bagi sebuah revolusi. Misalnya, di Iran,
terjadi kebangkitan di madrasah Feiziyah Qom. Kebangkitan itu kita
namakan intifada, sebab gerakan itu pada tahun 1979 membuahkan
kemenangan revolusi. Apa yang terjadi saat ini di Palestina tak lain
adalah tahap bagi sebuah revolusi. Kita tak pernah membayangkan gerakan
kebangkitan ini akan berjalan secara luas dan universal seperti ini.
Kita namakan gerakan ini dengan nama intifada. Karena itu, kami di
Gerakan Jihad Islam menyebut kebangkitan ini sebagai intifada dan
revolusi.
Intifadah pertama memasuki panggung politik pada 1987,
dimulai dengan pemuda Palestina yang membalas pembunuhan enam anak-anak
Palestina oleh tentara-tentara Israel. Berlanjut hingga 1993, Intifadah
menghadapi tanggapan yang sangat keras dari Israel, berdasar prinsip
bahwa “kekerasan melahirkan kekerasan,” Timur Tengah kembali terjatuh ke
dalam kekacauan. Sepanjang masa ini, perhatian dunia tertuju pada kasus
anak-anak yang tempurung kepalanya pecah dan tangan-tangan mereka
dipatahkan oleh para tentara Israel. Orang-orang Palestina, dari yang
paling muda hingga yang paling tua, menentang kekerasan militer Israel
dan penindasan dengan sambitan batu apa pun yang dapat mereka temukan.
Sebagai balasannya, tentara Israel secara besar-besaran memberondongkan
senjatanya: menyiksa, mematahkan tangan, dan menembaki lambung dan
kepala orang-orang dengan tembakan senapan. Pada tahun 1989, sebanyak
13.000 anak-anak Palestina ditahan di penjara-penjara Israel.
Apa
pun alasannya, memilih cara kekerasan tidak pernah memecahkan
persoalan. Dan kembali, kenyataan penting harus dicamkan ketika
merenungkan tanah tempat Intifadah terjadi. Pertama-tama, karena
diperkuat oleh keputusan PBB, tentara Israel menggunakan kekuatan yang,
sejalan dengan hukum internasional, seharusnya dijauhi. Meskipun sudah
diperkuat aturan, jika Israel menuntut agar keberadaannya di tanah ini
diterima, cara menunjukkannya tentu bukan dengan membunuh orang-orang
tak berdosa. Karena semua orang yang waras pastilah sepakat, jika salah
bagi orang-orang Palestina memilih kekerasan, maka pastilah juga salah
bagi tentara-tentara Israel membunuh mereka. Setiap negara memiliki hak
membela diri dan melindungi dirinya, namun apa yang telah terjadi di
Palestina jauh dari sekedar membela diri.
Tentara pendudukan
Israel menanggapi batu-batu dan ketapel remaja Palestina dengan senapan
otomatis dan peluru tajam. Oleh karenanya setidaknya beberapa orang
Palestina meninggal setiap hari.
Selama tahun-tahun Intifadah,
sebuah peristiwa terjadi di desa Kristen Beit Sahour di dekat Bethlehem.
Kejadian ini, yang disaksikan oleh penduduknya Norman Finkelstein,
hanyalah satu dari banyak contoh yang tidak mendukung bahwa campur
tangan militer didorong oleh keinginan membela diri:
Suatu kali
di kamp pengungsian Jalazoun, anak-anak membakar ban ketika sebuah mobil
menepi. "Pintu dibiarkan terbuka, dan empat pria (pemukim Israel maupun
tentara berpakaian preman) melompat keluar, menembak membabi buta ke
segala penjuru. Anak-anak di samping saya tertembak di punggungnya,
peluru keluar dari pusarnya… Hari berikutnya Jerussalem Post melaporkan
bahwa tentara itu menembak untuk membela diri."
Intifadah rakyat
Palestina, yang dilakukan dengan sambitan batu dan pentungan untuk
melawan tentara paling modern di dunia, berhasil menarik perhatian
internasional pada wilayah ini. Gambar-gambar yang intinya mengenai
pembunuhan tentara Israel atas anak-anak berusia sekolah sekali lagi
menunjukkan kebijakan teror pemerintah pendudukan. Masa ini berlanjut
hingga Kesepakatan Oslo tahun 1993, ketika Israel dan PLO duduk bersama
di meja perundingan. Pada pertemuan ini, Israel mengakui Yasser Arafat
untuk pertama kalinya sebagai perwakilan resmi rakyat Palestina.
Setelah Intifadah pertama mencapai puncaknya dalam kesepakatan damai,
rakyat menunggu dengan sabar perdamaian dan keamanan kembali ke wilayah
Palestina. Penantian ini berlanjut hingga Sepetember 2000, ketika Ariel
Sharon, yang dikenal sebagai “Penjagal dari Libanon,” melakukan
kunjungan yang menghebohkan ke Mesjid al-Aqsa bersama puluhan polisi
Israel. Kejadian ini memicu bangkitnya Intifadah al-Aqsa.
Rasa
sakit dan penderitaan tak berujung orang-orang Palestina meningkat
dengan adanya Intifadah al-Aqsa. Saat ini, tiap hari ada laporan yang
menyebutkan anak-anak dan remaja meninggal di wilayah-wilayah Palestina.
Semenjak awalnya di bulan September 2000 hingga Desember 2001, sebanyak
936 orang Palestina tewas (angka-angka ini bersumber dari Organisasi
Kesehatan Palestina). Sepanjang pertikaian, satuan-satuan tentara Israel
menjadikan banyak warga sipil, termasuk anak-anak yang pulang sekolah
sasaran pengeboman dengan helikopter.
Tentara Israel menggunakan
senjata mereka bukan untuk melucuti senjata anak-anak Palestina,
melainkan untuk membantai dan membunuh mereka. Suleiman Abu Karsh, wakil
menteri perdagangan Palestina, menyatakan perasaan rakyatnya mengenai
Intifadah ini dalam sebuah wawancara:
Intifadah ini terlahir dari
kekejaman Zionis Israel dan provokasi terhadap rakyat Palestina dan
hal-hal yang kami anggap suci. Karena ikatan kuat rakyat Palestina
terhadap tempat-tempat suci ini, khususnya Mesjid Aqsa, yang merupakan
kiblat pertama Muslimin, mesjid mereka, dan salah satu titik pusat Haram
asy-Syarif, Israel menunjukkan tindak kekejaman.
Bendera Zionis Israel - bahkan terpampang jelas di Tolikara Papua |
Di Palestina,
di mana 70% penduduk terdiri atas kalangan muda, bahkan anak-anak pun
telah mengalami perpindahan, pengusiran, penahanan, pemenjaraan, dan
pembantaian semenjak pendudukan tahun 1948. Mereka diperlakukan seperti
warga kelas dua di tanahnya sendiri. Mereka telah belajar bertahan hidup
dalam keadaan yang paling sulit. Renungkanlah fakta-fakta berikut ini:
29% dari orang yang terbunuh selama Intifadah al-Aqsa berusia di bawah
16 tahun; 60% dari yang terluka berusia di bawah 18; dan di wilayah
tempat bentrokan paling sering terjadi, paling tidak lima anak terbunuh
tiap hari, dan setidaknya 10 orang terluka.
Tentara Israel, yang
menjadikan warga sipil dan anak-anak sebagai sasaran, tidak ragu
menembak bahkan anak-anak yang tengah bermain di tempat bermain sekolah.
Karena jam malam yang diberlakukan oleh Israel, dalam tahun itu mereka
lebih sering tidak pergi ke sekolah. Ketika mereka bisa bersekolah,
mereka menjadi sasaran serangan Israel. Salah satu serangan itu terjadi
pada 15 Maret 2001. Sewaktu murid-murid Sekolah Dasar Ibrahimi di
al-Khalil tengah bermain selama jam istirahat, tentara Israel menembaki
mereka. Kejadian ini, ketika enam anak-anak terluka parah, bukan contoh
yang pertama maupun terakhir tentang kekejaman semacam itu.
Dalam
The Palestine Chronicle, wartawan-penulis Ruth Anderson menggambarkan
beberapa kejadian tak berperikemanusiaan dalam Intifadah al-Aqsa: Tak ada yang menyebutkan seorang lelaki muda yang baru menikah yang
pergi berdemonstrasi hanya untuk menjadi martir, meninggalkan pengantin
wanitanya menjadi janda. Tak ada yang menyebutkan pemuda Palestina yang
kepalanya diremukkan oleh orang Israel dan tangannya dipatahkan sebelum
ia secara brutal dijagal. Tak ada yang menyebutkan seorang anak kecil
berusia 8 tahun yang tertembak mati oleh tentara Israel. Tak ada yang
mengatakan bagaimana para pemukim Yahudi, yang dilengkapi dengan
berbagai jenis senjata dan disokong oleh pemerintah Barak, menyerang
desa-desa Palestina dan mencabuti pohon-pohon zaitun dan membunuh
orang-orang sipil Palestina. Tak ada yang menyebutkan bayi-bayi
Palestina yang meninggal ketika rumah mereka dibom dengan serangan udara
atau orang yang dihujani oleh peluru Israel ketika dipindahkan ke
tempat aman. Setiap orang tahu bahwa bayi-bayi tidak bisa melempar batu.
Setiap orang tahu kecuali orang-orang Israel dan Amerika.
Terbaru: Situasi di Tepi Barat dan Jalur Gaza memanas dalam beberapa pekan
terakhir. Tercatat sedikitnya 32 warga Palestina terbunuh dan 7 warga
Israel tewas sejak awal Oktober lalu.
Sejumlah kelompok Palestina, seperti Hamas menyebut gerakan
perlawanan saat ini sebagai Intifada ketiga. Kericuhan yang dimulai dari
aksi pelecehan aparat Israel terhadap Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama
Muslim.
--- Sekian ---
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete