Oleh: Irwan Prayitno
Tiba-tiba saja etnis Minang menjadi perbincangan skala nasional, ketika sebuah lembaga survei (Burhanudin Muchtadi) menyampaikan siaran pers kepuasan orang Indonesia terhadap kinerja Presiden Joko Widodo atau biasa dipanggil Jokowi.
Tiba-tiba saja etnis Minang menjadi perbincangan skala nasional, ketika sebuah lembaga survei (Burhanudin Muchtadi) menyampaikan siaran pers kepuasan orang Indonesia terhadap kinerja Presiden Joko Widodo atau biasa dipanggil Jokowi.
Dalam siaran pers tersebut dinyatakan, tingkat kepuasan warga dari
etnis Minang terhadap kinerja Jokowi adalah yang terendah dibanding
warga dari etnis lain yang ada di Indonesia. Hal ini menjadi
perbincangan hangat para netizen. Persepsi positif dan negatif
bermunculan dan menjadi bahasan diskusi yang menarik. Warga dari etnis Minang yang puas terhadap kepemimpinan Jokowi 36,1
persen dan yang kurang puas 63,9 persen. Survei ini dilakukan 18-29
Januari 2016 oleh Indikator Politik Indonesia. Angka ini langsung
mengingatkan kita kepada hasil pemilu presiden 2014 di Sumbar di mana
pasangan Jokowi-JK memperoleh suara 23,1 persen dan pasangan
Prabowo-Hatta memperoleh 76,9 persen yang merupakan prosentase tertinggi
di Indonesia.
Angka yang tak jauh beda antara kepuasan terhadap kinerja Jokowi
dengan hasil perolehan suara Pilpres 2014 ini mungkin memiliki korelasi
atau relevansi yang layak didiskusikan oleh para pakar dan akademisi.
Baik dari segi sosial, politik, budaya, maupun dari pelaku survei
sendiri. Jika melihat rekam jejak kepemimpinan Jokowi, maka baru ketika
menjadi Presiden RI orang Minang merasakan kepemimpinan Jokowi.
Sementara ketika menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta bisa
dibilang, orang Minang (khususnya warga Sumbar) belum merasakan
kepemimpinan Jokowi.
Oleh karena itu, ketidakpuasan orang Minang ini perlu penjabaran
lebih detil. Apakah ketidakpuasan ini berarti Jokowi melakukan
diskriminasi terhadap orang Minang? Mengapa etnis lain tingkat
kepuasannya tinggi? Mengapa hanya etnis Minang yang tingkat
kekurangpuasannya tinggi? Jika hasil survei menyebut, orang Indonesia puas dengan kinerja
Jokowi, maka seharusnya ini merata di seluruh wilayah, dan tidak ada
ketimpangan yang besar untuk satu wilayah. Demikian juga ketika
berbicara masalah kepemimpinan, tidak ada diskriminasi yang dilakukan
Jokowi selaku presiden kepada masyarakat Sumbar. Salah satu hal yang bisa menjawab pertanyaan tadi adalah budaya yang
ada pada orang Minang ketika melihat pemimpin yang biasa disingkat 3T.
T
pertama adalah takah, yaitu performance, postur tubuh yang bagus, rupawan, gagah, penampilan yang menarik dan nampak berwibawa. Orang Minang akan melihat apakah seseorang memiliki ketakahan yang
memadai yang diperlihatkan dari sikap, perilaku, tampilan, cara
bicaranya di depan publik atau cara menyampaikan pikiran melalui lisan
dan tulisan, serta bagaimana gaya memimpinnya. Bagaimana bahasa tubuhnya
dalam berkomunikasi di depan publik. T kedua adalah tageh yaitu tegas, berani, kuat, kokoh,
berpendirian dan muda.
Orang Minang akan melihat apakah seorang pemimpin itu mampu menjadi tumpuan harapan rakyatnya. T ketiga adalah ‘tokoh’. Orang Minang akan menilai apakah seorang pemimpin layak untuk menjadi tokoh bagi mereka, mampu memberikan keteladanan, layak didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Ketokohannya juga diakui dalam skala yang lebih luas lagi. Keilmuannya juga sudah terbukti dan diakui, baik ilmu agama, adat, dan akademik.
Orang Minang akan melihat apakah seorang pemimpin itu mampu menjadi tumpuan harapan rakyatnya. T ketiga adalah ‘tokoh’. Orang Minang akan menilai apakah seorang pemimpin layak untuk menjadi tokoh bagi mereka, mampu memberikan keteladanan, layak didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Ketokohannya juga diakui dalam skala yang lebih luas lagi. Keilmuannya juga sudah terbukti dan diakui, baik ilmu agama, adat, dan akademik.
Sementara Jokowi sendiri tampil di publik dengan gaya “apa adanya” dan “dari sononya” dengan wajah yang ndeso serta
cara bicara “rakyat kebanyakan” yang ternyata digemari oleh masyarakat
Indonesia sehingga dalam pemilihan presiden 2014 lalu meraih suara
terbanyak. Namun jika melihat 3T tadi, penampilan Jokowi rupanya kurang matching dengan
budaya yang ada pada orang Minang. Sehingga mayoritas rakyat Sumbar
cenderung memilih Prabowo. Figur Prabowo dianggap lebih sesuai dengan
selera orang Minang. Begitu juga pada pilpres 2 kali sebelumnya, SBY
menang telak di Sumbar. Kecendrungan ini pun terjadi pada pilkada dan
pemilu.
Sedangkan jika melihat dari segi penerimaan, orang Minang sudah
menerima Jokowi sebagai Presiden RI. Ini dibuktikan dengan kondisi di
Sumbar yang aman dan tertib. Tidak ada demo menentang pemerintah
misalnya. Bahkan dari sisi pemerintahan, seluruh pemerintahan kota dan
kabupaten serta provinsi ikut mensukseskan program pemerintah pusat.
Irwan Prayitno dan Nasrul Abit pimimpin Sumbar 2016-2021 |
Bahkan Sumbar adalah salah satu daerah teraman di Indonesia. Animo
masyarakat yang antusias terhadap pembangunan yang bertujuan
kesejahteraan rakyat adalah realita yang ada di satu sisi. Maka bisa disimpulkan, masyarakat Minang memiliki sikap realistis,
rasional, dan logis di satu sisi, dan punya selera tersendiri (budaya)
di sisi lain. Dan keduanya itu ternyata bisa berjalan masing-masing
tanpa saling menjatuhkan.
Sumber: Harian Singgalang
sulit air is the best for you
ReplyDelete