Sunday 29 November 2015

12 Peristiwa Penting Nagari Suliek Ayie ( Bag-II )

4. 29 SEPTEMBER 1912. (Musyawarah Lareh Nagari)


Di Balairung Panjang (sekarang Balairungsari) Balai Lamo Sulit Air, berlangsung pertemuan para penghulu Sulit Air, para pemuka masyarakat, orang tua-tua serta para cerdik pandai Sulit Air. Pertemuan besar itu dimotori oleh Mahyuddin Dt. Sutan Maharaja Nan Besar alias Dt. Bangkik (ahli adat terkemuka Minangkabau) dan Muhammad Rasyad Dt. Tumenggung (penghulu andiko di kelompok Urang Nan Onom Limo Panjang), yang baru saja diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kepala Nagari (Nagarihoofd), yang juga merangkap sebagai kepala semua penghulu di Sulit Air. Kepala Penghulu itu dalam pergaulan se-hari2 di Sulit Air disebut Ongku Kapalo (Ongku Palo) atau Datuok Kapalo (Tuok Palo). Karena Rasyad Dt, Tumenggung adalah ongku palo pertama, maka beliau masyhur dengan sebutan Ongku Palo Gaek.


Maksud pertemuan penting itu adalah untuk menangkal segala macam maksiat yang sedang merebak di seluruh Sulit Air. Pertemuan itu akhirnya berhasil membulatkan kata, pipih sepicak, bulat segiling, bulat air dek pembuluh, bulat kata dek mufakat, melahirkan sejumlah keputusan, yang kemudian populer sebagai Undang-2 Nagori Nan Saboleh Fasal, karena terdiri dari 11 fasal. Undang2 tsb mengatur a.l.: " Larangan berjudi dan sanksi berat terhadap pelakunya. Setiap penghulu harus punya rumahgadang sendiri dan memberantas berbagai bentuk kejahatan. Setiap rumahgadang harus terpelihara kebersihannya. Penghulu dan ninik-mamak harus mengajarkan adat-istiadat kepada kemenakannya. Setiap lelaki harus menanam tanam-tanaman tua. Bila pergi merantau harus minta izin kepada penghulunya dan kepada kepala nagari ". Demikian bunyi undang-undang itu. 

Kemudian diwajiban kepada lelaki dewasa untuk menggunakan kupiah setiap keluar rumah. Dimaksudkan sebagai penegakan disiplin diri, ternyata memang mampu memberikan berbagai dampak positif kepada anak nagari Sulit Air. Terkenal sebutan, bila lelaki tidak pakai kupiah dan ketemu di jalan dengan Ongku Palo Gaek di Sulit Air, maka orang itu tentu akan dilompang (ditempeleng) oleh wali nagari. Orang tua-tua kita dahulu sering memuji ketertiban, keamanan, kemajuan dan kebesaran Sulit Air selama berada di bawah kepemimpinan Ongku Palo Gaek Rasyad Dt. Tumenggung itu (1912 – 1936).

 Sejarawan Anas Nafis dari ‘Pusat Dokumentasi & Informasi Kebudayaan Minangkabau” yang menemukan dan menyebar luaskan undang-undang nagari Sulit Air itu, memberikan ulasan a.l. sebagai berikut: “ Jadi berlainan dengan masa sekarang, di mana sebagian masyarakat Minangkabau (baca: Sumatera Barat) lebih suka menunggu lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, Kabupaten atau Kota terlebih dulu dan baru setelah itu ‘penyakit’ ditanggulangi, di masa lampau Sulit Air telah berbuat sesuatu untuk kebaikan dan kemajuan nagari mereka. Jadi yang berkehendak ialah masyarakat sendiri dan bukanlah menunggu komando dari atas, misalnya menunggu perintah dari Tuanku Laras , kemudian Engku Demang, Tuanku Mandua, maupun Tuanku Luhak”.

Dalam kaitan ini, tokoh besar Sulit Air masa lalu Zainal Abidin Ahmad menambahkan: “ Kepala Nagari Rasyad Dt. Tumenggung, Syaikh Sulaiman al Khalidi (Imam Mesjid Raya) dan Dt. Sutan Maharajo (Dt. Bangkik) bersama Kerapatan Adat, melarang keras perjudian, menyabung ayam, memberantas segala sihir dan juhung permayung (memberi pekasih dan kaboji) dan segala perbuatan yang mengganggu dan merusak keamanan masyarakat, khususnya mengganggu rumahtannga. Dalam hal ini jasa Angku Palo Gaek Dt. Tumenggung tidak dapat dilupakan.

Pokoknya masa kepemimpinan Sulit Air di bawah M. Rasyad Dt. Tumenggung Ongku Palo Gaek yang berlangsung demikian lama (1912 – 1937) sering disebut oleh orang-orang tua kita sebagai masa jayanya Sulit Air dan banyak yang mengidamkan agar masa gemilang tsb dapat dibangkitkan kembali. Sebagai salahsatu langkah untuk membangkitkannya adalah dengan berbulat tekad agar warga Sulit Air kembali kepada khittah dan semangat perjuangan di tahun 1912 tsb.

Bisakah diberlakukannya kembali “Undang-undang Nagori Nan 11 Fasal” tgl 29 September 1912 tsb bagi setiap orang yang berdiam di Sulit Air? Sama  kira-kira dengan Presiden Soekarno yang pada tgl 5 Juli 1959 mendekritkan Indonesia kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Tidak salah bila tanggal 29 September 1912 ini perlu kita catat sebagai salahsatu tonggak penting dalam sejarah Sulit Air; -Tahun Penegakan Disiplin!

5. Tahun 1925, (Hidupnya Dunia Pendidikan Nagari).

Adalah tahun berdirinya Pendidikan Sekolah Agama (PSA) Gando Sulit Air, sekolah kebanggaan anak nagari, yang tetap eksis sampai sekarang. Yang mencetuskan berdirinya PSA di Sulit Air adalah Labai Muhammad Yassin, murid Sekolah Thawallib Padang Panjang dengan dukungan 2 temannya Jamin Hamzah (kakek Syaiful Sirin Dt. Rajo Mangkuto) dan Jamin Yahya dari sekolah yang sama.
Gedung PSA yang masih terawat & Asri berada di jorong Gando
Ketiganya ingin mewujudkan adanya sekolah model Thawallib di Sulit Air, jadi semacam mini Thawallib. Gagasan tsb didukung oleh tokoh-tokoh muda Sulit Air masa itu, yaitu: Nurdin Dt. Rajo Mansyur, M. Taher St. Sati (guru Sekolah Gubernemen, kakek DR. Happybone), Kasim St. Besar (pedagang di Padang, ayahanda Brigjen. Dr Amir Kasim), Jalin St. Sati (tokoh penggerak pembangunan), HM Salih (ulama, ayahanda A. Karim Salih), Syamsuddin Khatib Jum'at (ayahanda Amir Shambazy), H. Zakaria (imam Surau Tebing), Udin St. Maruhum, clan sebagainya.

Trio “Yassin-Hamzah-Yahya” tersebutlah yang menjadi guru-guru pertama sekolah PSA itu pada tahun 1925. Dimulai di Surau Tobiang, kemudian pindah ke surau Singgodang, lalu pindah lagi ke Surau Muruok. Belajar tidak lagi menghadap rehal tapi duduk di bangku panjang menghadap meja, mendengarkan guru berbicara dan menulis di papan tulis dengan kapur tulis. Jumlah murid pertama mencapai 80 orang dan terus bertambah-tambah juga.

Melihat kemajuan pesat itu, Nurdin Dt. Rajo Mansyur Cs memelopori berdirinya sebuah organisasi yang diberinya nama VSSA (Vereniging Studiefonds Sulit Air) yang bertujuan untuk membantu menyukseskan PSA dengan membangun sebuah gedung sekolah yang cukup pantas bagi murid-murid yang semakin bertambah tsb. Agaknya VSSA Sulit Air meniru Studie Fonds Koto Gadang yang didirikan oleh Tuanku Laras Datuk Kayo di Koto Gadang pada tgl 1 September 1909, yang ditengarai sebagai penyebab banyaknya orang Koto Gadang yang berhasil menjadi orang-orang pintar dan terkenal di kemudian hari.

VSSA didukung oleh tokoh-tokoh Sulit Air masa itu seperti HM Taher, Jamin Endah Kayo (kakek Zarkasyi Nurdin), M. Jalin Sutan Sati (ayahanda Jurnalis Jalins), Taher Dt. Lenggang Marajo, Asin Sutan Batuah, Jausa Dt. Majo Bongsu (ahli adat), Udin Sutan Maruhum, H. Zakaria dll. Selain dari nama-nama tsb, atas kerja keras pengurus berdatanganlah sumbangan uang dari para pedagang perantau Sulit Air yang diangkat sebagai komisaris-komisaris VVSA, seperti M. Zein Dt. Sati Marajo (Pekan Baru), Ismail Dt. Rajo Penghulu (Teluk Kuantan), Kahar Sutan Mudo (Padang), Tunut Sutan Mangkuto (Sawahlunto), M. Lebe (Solok), Udin Sutan Maruhum (Padang Gantiang), dll.

Pada tahun 1933, sewaktu pimpinan PSA beralih dari M. Salim Amany (yang melanjutkan sekolah ke Normal Islam Padang) kepada Nurdin Thaher, PSA Gando mencapai puncak kejayaannya, muridnya mencapai 500 orang. “Periode ini adalah masa pesatnya kemajuian pendidikan PSA, di mana murid-muridnya sangat menonjol dalam segala gerak masyarakat. Banyaknya murid mencapai 500 orang, terdiri dari 12 kelas, pagi dan sore. Di bawah pimpinan Nurdin Taher, dengan guru-guru 10 orang yang umumnya berpendidikan cukup pada bidangnya masing-masing. PSA mencapai kemajuan yang mengagumkan.

Menjadi kebanggaan bagi pemuda-pemuda perantau, bila mereka mendapatkan isteri dari pelajar PSA. Walaupun isteri cantik dan dari keluarga kaya, tapi kalau tidak belajar di PSA, kuranglah mendapat penilaian dari para pemuda yang ingin mendapatkan jodoh. Banyaklah pelajar puteri PSA yang mencapai prestasi dalam kehidupannya, baik di kampung maupun setelah mengikuti suaminya di perantauan. Begitupun para pelajar pria-nya, banyak yang sukses dan menonjol dalam kehidupan di perantauan, di bidang perdagangan atau di lapangan kehidupan sosial dan ekonomi.
Sisiwa dan Siswi PSA bersama pengurus Yayasan serta para guru.
Maka tahun 1925, perlu pula kita catat sebagai salahsatu tonggak sejarah penting dan tahun kebangkitan Sulit Air, khususnya dalam pendidikan agama Islam yang menyebabkan anak nagari Sulit Air kokoh kuat memeluk agama Islam, yang pada gilirannya meneruskan dan mewariskannya kepada anak keturunannya dalam semangat keislaman yang kental, walaupun sudah pindah ke perantauan.

6. 2 JULI 1951, (Berdiri nya IPPSA).

Adalah hari lahirnya Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA) di Sekolah Rakyat (SR) I Koto Tuo Sulit Air, bersamaan dengan musim liburan puasa pada tahun itu. Mayoritas para pendirinya adalah para pelajar SMP Negeri I dan SMP Negeri II Solok, antara lain: Martunus Tunut, Chainaris NS, Musmar St. Mangkuto, Misbach Jalins, Lukman Muman, Roslaini Thaher, Zamzoma Muman, Sariana Potai Lobek, Harun Al Rasyid, Nurana Suprapto, Jufri Jamin, Syahruddin Kasim , Amir Arselan Tamin, Jurnalis Jalins, Asnidar Thaher, Nurhayati Miin, Hamidah Hamid, Achyar Darussalam. Yang diluar SMP atau yang lebih senior adalah Syafni Jadibs (SGA Negeri Solok).
Pengurus DPP IPPSA saat ini ( Rizki, Septian, Ferry & Taufik Akbar)
Yang memberikan nama IPPSA tsb adalah Darussalam Rasyad. Mengenai nama IPPSA, saya berkeyakinan Darussalam Rasyad (kemudian bergelar Dt. Samarajo) memperoleh inspirasi kata-kata ikatan pemuda pelajar dari nama IPPI (singkatan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang baru lahir dan sedang bertumbuh pesat pada masa itu.

Pada masa itu DPP IPPI di Jakarta dipimpin oleh Emil Salim, sedang di Sumatera Tengah (meliputi Sumbar, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau sekarang) dipimpin oleh Awaloeddin Djamin. Apalagi Awaloeddin Djamin, sebagai Ketua IPPI Sumatera Tengah sering berkunjung ke Solok dan menjadi tamu beliau selaku Kepala Inspeksi P & K Kabupaten Solok. Ungkap Awaluddin Djamin: ”Di SMA Negeri yang dipimpin oleh Dr. Rosma, kami membentuk ”Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia” (IPPI) dan ”Tentara Republik Indnesia Pelajar” (TRIP) seperti pelajar-pelajar di Jawa. Saya terpilih menjadi ketua IPPI Sumatera Tengah. Selaku Ketua IPPI Sumatera Tengah saya sering ke sekolah-sekolah menengah pertama di Padangpanjang, Solok, dan Sawahlunto.

Di Padang panjang siswa sekolah agama pun bergabung dengan IPPI". Untuk menelusuri letak keterkaitan atau hubungan itu, baik kita kutipkan sedikit tulisan Prof. Mr. Ruslan Saleh sekitar kelahiran IPPI sebagai berikut: “Tanggal 2 Februari 1946, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia disingkat IPPI didirikan. Kata “pemuda pelajar” adalah suatu proses pemikiran dan pertukaran pendapat yang serius guna memelihara kesatuan dan persatuan perjuangan pada masa itu yang sangat didambakan. Dengan kata-kata ini tersimpul pengertian tidak terpecahnya pemuda dalam sekolah menengah pertama (SMP), sekolah mengah atas (SMA) dan mahasiswa, semuanya bersatu dalam sebutan Pemuda Pelajar. Terkandung dalam pengertian pemuda yang meliputi pelajar dan mahasiswa. Sebelumnya organisasi ini bernama Ikatan Pelajar Indonesia, organisasi dari pelajar sekolah menengah pertama dan menengah atas".

Yang mengesahkan berdirinya IPPSA adalah Wali Nagari Sulit Air Salim Thaib. Tokoh masyarakat yang hadir dan memberikan sambutan: Darussalam Dt. Samarajo, Alwin Dt. Sutan Malano, M. Jalin Sutan Sati, M. Taher Sutan Sati, M. Salim Amany, Kahar Taher dan Sa’adiyah Muluk. Kelahiran IPPSA itu disepakati setelah para pelajar tsb beberapa kali mengadakan rapat di Ayie Mati Solok, di rumah tokoh pendidik Darussalam Dt. Samarajo tsb, juga atas gagasan dan dorongan yang beliau berikan. Seperti maksud pembentukan IPPI pada tahun 1946, pembentukan IPPSA juga dimaksudkan untuk menyatukan seluruh pelajar dan mahasiswa Sulit Air.

Selain terinspirasi dari IPPI tsb, pemuda pelajar di dalam ”IPPSA” juga dimaksudkan sebagai para pelajar yang setelah tamat dari SR melanjutkan sekolah ke SLTP seperti SMP. Ini untuk membedakan dengan pemuda-pemuda Sulit Air yang setelah bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), baik tamat atau tidak, menjadi tradisi untuk pergi merantau dengan maksud terutama untuk berdagang, mencari pangadok. Jadi, pemuda pelajar dalam pengertian ini merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, bukan pemuda dan pelajar! Pengurus pertama IPPSA, ketua Martunus Tunut, sekretaris Chainaris NS dan bendahara Asnidar Thaher.

Jadi IPPSA yang diresmikan berdirinya pada tanggal 2 Juli 1951 itu sebenarnya adalah IPPSA Solok. Namun pada waktu peresmian tsb, hadir beberapa pelajar dari kota lain yang lebih tinggi sekolahnya, seperti Dawanis Sirin dan Mawardy Jalins (SMA Padang), Sofyan Hasan (SMA Bukit Tinggi) dan Hasan Basri Salim (guru SR dan Kursus Keterampilan Pembantu Guru) dari Sulit Air. Dengan berdirinya IPPSA Solok ini menjadi pendorong bagi berdirinya IPPSA di kota-kota lainnya: Padang, Bukit Tinggi, Padang Panjang, Medan, Jakarta dan Yogya, walau jumlah pelajar Sulit Air di kota-kota tsb (kecuali Padang Panjang) belum begitu banyak.

Dengan berdirinya IPPSA di kota-kota lainnya itu, maka atas inisiatif enam orang pelajar Sulit Air yakni: Dawanis Sirin (kelas 3 SMA Padang), Mishar Bahrony (kelas 3 SMA Yogya yang kemudian pindah ke Bukit Tinggi), A.Karim Salih (Sekolah Tinggi Islam, Jakarta), Jurnalis Jalins (kelas 1 SMA Bukit Tinggi), Hasan Basri Salim (KKPG Sulit Air) dan Ramly Jalil (Kursus Fotografi Jakarta) diadakanlah pertemuan IPPSA dari berbagai kota pada bulan Puasa tahun 1952 di Sekolah Rakyat Balai Lamo Sulit Air. Dideklarasikanlah IPPSA sebagai organisasi bagi seluruh pelajar Sulit Air, mulai dari yang telah menamatkan Sekolah Rakyat-nya dan melanjutkan sekolahnya, sampai menjadi mahasiswa (sebelum menjadi sarjana, berumah tangga atau meninggalkan statusnya sebagai pelajar-mahasiswa). Untuk itu dibentuk Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IPPSA yang pertama yang diketuai oleh A. Karim Salih (Jakarta), dengan cabang di kota-kota perantauan lainnya itu.
Rancak-rancak IPPSAWATI nyo
Dengan demikian, berbeda dengan SAS (Sulit Air Sepakat) yang lahir di Padang pada tahun 1912, mempunyai dewan pimpinan pusat (DPP) yang dilahirkan di Ciloto Puncak Jabar pada tgl 5 Juli 1972, IPPSA maupun DPP-nya, keduanya dilahirkan di haribaan tanah tercinta Sulit Air. Berbeda dengan SAS yang hanya ada di perantauan, IPPSA juga meliputi Sulit Air dan mempunyai cabang di Sulit Air. Maka tanggal 2 Juli 1961 layak kita kenang sebagai salahsatu tonggak dan peristiwa penting di Sulit Air, di mana pelajar-pelajar Sulit Air yang masih demikian muda-muda (apalagi untuk ukuran masa sekarang) telah berhasil melahirkan IPPSA, organisasi kebanggaan pelajar-mahasiswa Sulit Air yang sangat besar peranannya dalam pembangunan dan kemajuan Sulit Air.

(Bersambung)
Sumber: Drs. Hamdullah Salim
--- Sekian ---

Friday 20 November 2015

PERBEDAAN SUBHANALLAH DAN MASYA ALLAH


Bismillahirrahmanirrahim....,

Sahabat ku muslimin muslimah,,,

Ketahuilah bahwa Subhanallah atau Masya Allah, Kadang Suka Terbalik. Ungkapan Subhaanallah di anjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, dan dengan ucapan itu kita menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari semua keburukan tersebut. Kebalikannya dari ucapan Masya Allah, yang diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah. Penggunaan kedua kalimat ini di tengah masyarakat Islam tanah air kerap terbalik-balik,­ serta tidak heran membuat bingung dan makna harfiah nya sendiri.

Islam mengajarkan kalimat-kalimat yang baik (kalimat thayyibah) dalam segala suasana. Dengan kalimat-kalimat itu, orang beriman dikondisikan untuk senantiasa mengingat Allah. Dengan kalimat-kalimat itu, orang-orang mukmin dikondisikan untuk senantiasa dekat dengan Allah.

Jika seseorang mendapati sesuatu yang membuatnya kagum atau mendengar kabar yang membuatnya takjub, kalimat apakah yang paling tepat? “Subhanallah” (سُبْحَانَ اللَّهِ) atau “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ)?
Menurut para ulama, yang lebih tepat adalah mengucapkan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ). Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Kahfi:

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maa syaa-allaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. al Kahfi: 39).

Ucapan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ) ini mengembalikan kekaguman kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa semua yang kita kagumi itu terwujud atas kehendak Allah, bukan karena usaha kita atau orang tersebut. Dicontohkan dalam ayat tersebut, jika seseorang memasuki kebun, hendaklah ia mengucapkan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ). Kekagumannya atas indahnya kebun tersebut, ranumnya buah, lebatnya tanaman dan berhasilnya perkebunan, semata-mata kebaikan-kebaikan itu atas kehendak Allah.

Sedangkan kalimat “Subhanallah” (سُبْحَانَ اللَّهِ), dalam Al Qur’an disebutkan lima kali. Yakni dalam surat Al Mu’minun ayat 91, Al Qashash ayat 68, Ash Shafat ayat 159, Ath Thur ayat 43 dan Al Hasyr ayat 23. Dalam surat Al Mu’minun ayat 91 dan Ash Shafat ayat 159, kalimat “Subhanallah” digandengkan dengan “ammaa yashifuun” yang artinya Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Sedangkan dalam tiga ayat lainnya, kalimat “Subhanallah” digandengkan dengan “ammaa yusyrikuun” yang artinya Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Jadi dalam Al Qur’an, kalimat “Subhanallah” digunakan untuk menyatakan kesucian Allah dan menyangkal hal-hal negatif yang dituduhkan orang-orang musyrik.

Sedangkan dalam hadits, ucapan “Subhanallah” dipakai ketika seseorang heran sikap seseorang. Heran, bukan kagum. Misalnya ketika Abu Hurairah junub dan tidak mau berdekatan dengan Rasulullah yang suci. Rasulullah pun bersabda:

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

“Maha Suci Allah, sesungguhnya muslim itu tidak najis” (HR. Al Bukhari).

Ucapan “Subhanallah” juga dipakai Rasulullah ketika ada peristiwa besar. Namun, bukan bentuk kekaguman.

Misalnya dalam sabda beliau:

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ

“Maha Suci Allah, betapa banyak fitnah yang turun di malam ini” (HR. Al Bukhari)

Semua kembali kepada masing-masing diri, menyebut istighfar malah di anjurkan setiap waktu. Sebenar nya dulu tidak pernah ada dipermasalahkan oleh ulama-ulama terdahulu. Namun ketika peradaban semakin kompleks, keilmuan dituntut sedetil-detil nya disinilah ijtihad pemikiran dipertajam lagi. Tentu dengan mengurai dan membuka ayat-ayat yang bersinggungan dengan kata tersebut menjadikan tolak ukur kata yang pantas mana untuk digunakan. Apalagi di bumi Indonesia ini yang memiliki 4 mahzab, tentu berbeda masing-masing dalil yang digunakan. Asal saja jangan terkotak-kotak dengan mahzab "Islam Nusantara" yang jelas-jelas tidak ada dalil nya dalam Al-Quran dan Hadist.


Wallahu a’lam bish shawab.


--- Sekian ---

Monday 16 November 2015

12 Pristiwa Penting Nagari Suliek Ayie (Bag - I)


Momentum Mukernas SAS 2015

Tanggal 18 Juli 2015, di Sulit Air telah berlangsung Musyawarah Kerja Nasional SAS (Mukernas 2015). Jika selama ini Mukernas SAS selalu di laksanakan di luar Sulit Air atau di perantauan, kali ini dengan semangat pulang basamo disepakatilah kampung halaman sebagai arena Mukernas. Itu juga tidak lepas dari Ad/Rt SAS yang mengalami revisi, jika selama ini pemilihan ketua umum DPP SAS dilaksanakan 2 tahun sekali, diperpanjang menjadi hanya 4 tahun sekali. Akan tetapi untuk agenda pulang basamo tetap diselenggarakan 2 tahun sekali.

Dalam kesempatan itu bapak Hamdullah Salim sebagai pembicara utama dalam tajuk awal diperingati hari jadi nagari, banyak mengemukakan pemikiran serta nilai-nilai sejarah tentang awal keberadaan nagari Sulit Air. Dengan semangat yang menggebu dan ingatan masa lalu yang masih kuat, beliau  telah mencatat berbagai tanggal yang di anggap merupakan tonggak-tonggak penting dalam sejarah Sulit Air.

Maka itu sebabnya ketika pertanyaan dari Prof Jurnalis Uddin diajukan kembali kepada bapak Sejarahwan nagari Sulit Air yakni Drs. Hamdullah Salim kapan tepatnya pristiwa terpenting nagari, dengan cepat dapat beliau sebutkan satu tanggal yang dapat dipandang sebagai Hari Jadi Sulit Air yakni tanggal 28 April 1821, disertai alasan-alasannya . Keberadaan seorang pakar nagari seperti bapak Hamdullah ini, sangat jarang kita dapati memberikan informasi-informasi berkaitan dengan riwayat nagari padahal umur beliau sudah mendekati uzur.
Bapak Hamdullah (paling kanan berbaju biru) ketika mensurvey pendirian GONTOR tahun 2009
Diwaktu bersamaan beliau juga kemukakan. penting nya melihat berbagai peristiwa penting dalam Sejarah Sulit Air – sepanjang yang dapat beliau telusuri - itu benar ada nya, dapat menjadikan tonggak bersejarah untuk riwayat nagari kedepan. Bapak Hamdullah yang bersuku Simabur dan pernah menjadi pemred Tunas IPPSA tahun 1952, dengan segala upaya dan ingatan yang masih normal tentu tidak asal bicara dan bermain-main dengan sejarah ini.  Dimana secara kronologis ada 12  pristiwa kenagarian yang bisa diangkat sebagai moment penting, lansung saja ulasan beliau sebagai berikut :

1. 25 JULI 1818, hari Sabtu. ( Ekspansi Kunjungan Rafles ).

Letnan Gubernur Jenderal Bengkulu Thomas Stamford Raffles (1781 – 1826) dan rombongan dalam perjalanan pulang dari Saruaso dan Pagar Ruyung (bekas istana kerajaan Minangkabau yang dihancurkan Kaum Paderi pada tahun 1809) sampai di Simawang. Mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811 – 1816) tsb, setelah bersilaturrahmi dengan Tuan Gadih (puteri mahkota Pagarurung), kaum bangsawan yang tersisa serta kaum adat, kini ingin mengadakan pendekatan dengan Kaum Paderi di Sulit Air, dalam rangka melancarkan niat imperialismenya, menyingkirkan Belanda dari Minangkabau. Namun niatnya tsb ditolak oleh Kaum Paderi di Sulit Air. Hal ini disebutkan Rusli Amran dalam bukunya “Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang” antara lain sebagai berikut:

“Di Saruaso itulah Raffles bertemu muka dengan Tuan Gadih yang diperkenalkan oleh kedua orang tadi sebagai ratu. Dari Pagaruyung mereka kembali lagi ke Simawang. Kemudian diputuskan untuk ‘mengirim’ seorang utusan, tetapi tidak seorang pun yang berani. Kemudian diputuskan untuk ‘mengirim’ surat saja. Pada suatu lapangan dipancangkan tiang cukup tinggi dan pada tiang itulah diikatkan surat tadi. Balasan pun diterima, juga dengan cara yang sama. Jawaban orang Paderi singkat saja yakni ‘bersedia hidup damai asal mereka dibantu menyiarkan agama yang benar”.
Thomas Stamford Rafles (penguasa dari Inggris waktu itu)
Sungguh luar biasa, penduduk Sulit Air berani menolak keinginan Raffles, mantan pengusaha tertinggi Inggeris di Jawa, untuk bertemu dengan pimpinan Paderi di Sulit Air, demi membela keyakinan Islamnya! Hal ini akan kita uraikan lebar panjang nanti. Yang penting, peristiwa 25 Juli 1818 yang heroik ini perlu dicatat dengan tinta emas dalam Sejarah Sulit Air.dalam hal ini juga akan ada bab tersendiri, kronologis peristiwa muhibah Rafles ke negeri Minangkbau bermula dari Simawang.

2. 28 APRIL 1821, (Pertempuran Pertama Belanda Terhadap Kaum Paderi)

Ditulis oleh buku-buku sejarah sebagai hari dimulainya Perang Paderi (1821 – 1837). Pada hari itu tentara Belanda mendemonstrasikan kemampuan militernya dengan menggempur Sulit Air, karena penduduknya tidak mau tunduk kepada Pemerintah Belanda walau sudah diancam. Namun tanpa disangka-sangka rakyat Sulit Air memberikan perlawanan sengit selama 1 hari. Penduduk dan pejuang Paderi berhasil mempertahankan Sulit Air dan Belanda terpaksa mundur.
Nagari Simawang strategis di masa penjajahan dahulu nya
Demikian juga waktu menyerang Sipinang (berdasarkan arsip Kielstra dan Lange, 1856). Korban di pihak Belanda cukup tinggi, pada hal di Simawang sudah ditempatkan meriam-meriam. Belanda kemudian menambah balatentaranya dan baru pada ronde kedua, pasukan Paderi berhasil dikalahkan. MengenaI ini juga akan kita uraikan panjang lebar nanti dalam bab tersendiri nanti nya. Dalam hal ini juga menjadi sebab musabab dijadikan waktu & tanggal ini menjadi hari jadi lahir nya nagari Sulit Air. Karena ini adalah salah satu pristiwa yang terpenting, nanti diuraikan dalam tulisan tersendiri dengan dalil dan berita cakupan yang otentik.

3. Tahun 1871 ( Berdirinya Sekolah Rakyat )

Adalah tahun berdirinya Sekolah Guvernemen atau "Gouvernement School" di Koto Tuo Sulit Air. Sekolah ini kemudian berubah nama menjadi Sekolah Rakyat (SR) I, lalu menjadi Sekolah Dasar (SD) IV Koto Tuo. Dan sekarang populer pula sebagai sebagai Sekolah Hibrida karena dijadikan sebagai sekolah dasar percontohan. Tidak lama sesudah berakhirnya Perang Paderi, yang dimulai di Sulit Air tgl 28 April 1821 dan berakhir di Bonjol pada tahun 1837, maka pendidikan cara Barat mulai memasuki Sumatera Barat. Yang ada sebelumnya hanya pendidikan surau, belajar mengaji Al Qur’an. Kebanyakan di antara mereka tahu hurup Arab, namun tidak tahu aksara Latin. Surat ¬menyurat dan naskah-naskah lainnya ditulis dalam hurup Arab ¬Melayu.

Yang diajarkan di sekolah guvernemen tsb adalah menulis, membaca, berhitung, sedikit ilmu bumi. Tahun 1871 ini perlu kita kenang sebagai Tahun Aksara Latin bagi Sulit Air karena merupakan tahun mulai terbukanya mata penduduk Sulit Air melihat hurup Latin, membaca dan menulis. Sudah barangtentu secara berangsur dan perlahan-lahan, sedikit demikian sedikit, mengingat kapasitas sekolah yang ada sangat terbatas. Lagi pula, tujuan Belanda membuka sekolah tsb bukanlah untuk mencerdaskan anak nagari, tapi untuk sekedar dapat membantu administrasi pemerintahan Hindia Belanda.

Kenyataannya sampai tahun 1930, berdasarkan statistik, baru sekitar 10% penduduk Indonesia yang bisa tulis baca hurup Latin. Di dalam buku "Sumatra Barat Plakat Panjang" karangan Rusli Amran, halaman 163, ada disebutkan: "Tiba-tiba dimana-mana bermunculan sekolah-sekolah nagari. Yang telah ditutup dibuka kembali. Semua segera mengajukan permintaan subsidi kepada pemerintah. Antara 1871 dan 1877 dibuka di Sulit Air, Tanjung Balit, Supayang, Talang, Sungai Lasi, Padang Panjang, Matua, Balai Selasa, dan Painan".
Ilustrasi, Sekolah Rakyat pada zaman dahulu
Karena Sulit Air ditempatkan pada urutan pertama, maka saya berkeyakinan "Sekolah Guvernemen Koto Tuo" yang dibangun pada tahun 1871 itu adalah sekolah guvernemen pertama yang dibangun Belanda di Sumatra Barat. Pemuka-pemuka Sulit Air dimasa lalu yang lahir di Sulit Air, termasuk para hartawan, dermawan, cendekiawan dan sarjana, kebanyakan pernah bersekolah di sana. Karena banyak di antara mereka yang cerdas dan memiliki intelegensia yang tinggi, merasa tidak kalah dengan para sarjana, maka mereka membanggakan diri sebagai alumni “Universitas Koto Tuo”!. Maka tahun 1871 tsb perlu kita catat sebagai salahsatu tonggak penting dalam sejarah kebangkitan Sulit Air, perlu diingat dan dikenang oleh generasi masa kini dan masa mendatang, sebagai hari pendidikan atau hari aksara Sulit Air.

Bersambung...

Sumber : Drs. Hamdullah Salim

--- Sekian --

Thursday 12 November 2015

Awal Mula Suku di Nagari Sulit Air (bag - III habis)

Pada bagian terakhir ini, disebutkan keadaan nagari  masih dalam tahap panca robah menuju eksistensi Nagari Sulit Air yang berdaulat akan terpisah dari kerajaan Pagaruyuang. Dimana begitu berat nya syarat-syarat administrasi dan geografis kenagarian yang harus dilaksanakan dari kehendak kerajaan, hingga menuju kegemilangan yang nyata. Pada bagian kedua kisah yang lalu, sudah terbentuk para datuk-datuk ninik serta datuk Andiko yang awal nya hanya 15 meningkat menjadi 35 terus sampai 85 orang bertahan cukup lama waktu nya, terakhir dilengkapi sampai sekarang jumlah datuk-datuk di kanagarian Sulit Air terdapat seabnyak 115 orang datuk plus orang Alim sebanyak 5 orang keseluruhan menjadi 120 orang.

Di antara syarat-syarat tersebut di setiap kenagarian berdaulat harus memiliki empat jorong, tapi waktu itu hanya ada 3 jorong yakni Koto Tuo, Koto Gadang dan Silungkang. Maka itu dbuatlah satu jorong lagi, dimana harus dilalui oleh sungai yang mengalir. Yakni air batang katialo, maka disebutlah satu jorong bernama Gando yang memenuhi syarat tersebut. Selain itu harus ada juga setiap nagari Langgam nan tujuah atau antakan nan tujuah, merupakan sebuah perkumpulan yang nanti nya ada berupa balai-balai atau dangau kecil yang mencukupi untuk berdialog. Disepakati ketujuh antakan tersebut dibuat adalah :
  1. Antakan nan tigo Tungku (balai-balai berada di Padang Data), meliputi Cumpadak Ampo, Sarikieh & Ujung Guguok - Purangan.
  2. Antakan nan tigo Korong (balai-balai berada lapangan tanah datar -Taram), meliputi Batu Galeh, Taram & Guok Jonggi.
  3. Antakan nan tigo Rumah (balai-balai berada di Kuniek Bolai), meliputi Siaru, Kunik Bolai & Gunuang.
  4. Antakan nan tigo Lurah (balai-balai berada di Rawang), meliputi Kandang Batu, Rawang & Simbacang.
  5. Antakan nan tigo Gantiang (balai-balai berada di Linawan), meliputi Gantiang Siaru, Gantiang Bigau & Gantiang Pisalak.
  6. Antakan nan tigo Niniek (balai-balai berada di Alai), meliputi Limo Puruik, Alai & basuang - Kumbangan.
  7. Antakan nan tigo Simpang (balai-balai berada di Telaga Loweh), meliputi Padang Panjang-Parupuak, Telago Loweh-Kapau & Ompang-Talago Puyuah.
Antakan nan tujuahLareh ini membangun Balairung Sari (tempat Musyawarah) meliputi satu kenagarian mula-mula berada di Koto Tuo (hilie) kemudian baru dipindah ke (Koto Gadang) Balailamo yang sekarang ini.

Adanya balai-balai juga harus dilengkapi dengan Tabuah yang harus berdekatan dengan Balairung Sari, dimana setiap suku harus mempunyai sendiri. Seperti berikut ini :
  • Tabuah suku Simabur terletak di rumah adat Dt. Rajo Kuaso di Simabur Guguak Jaguang.
  • Tabuah suku Limo Singkek terletak di rumah adat Dt. Maharajo nan Sati di Limo Singkek Tabuah.
  • Tabuah suku Limo Panjang terletak di rumah Adat Dt. Malakomo di rumah gadang Silungkang.
  • Tabuah suku Piliang terletak di rumah adat Dt. Bandaharo di rumah gadang Piliang Rimbo Kalaluang.
Tabuah-tabuah tersebut ada pula orang menyebut sebagai tabuah larangan, secara harfiah memperkuat dan mempertegas dari kegunaan tabuah tersebut, bila mana nagari dihadapkan pada suatu pristiwa penting bahkan marabahaya dan serangan dari luar nagari. Bagitupun dengan keberadaan rumah gadang masing suku juga berada di empat jorong dan sama dengan keberadaan para datuk-datuk sebanyak 85 orang dimasa itu. Rumah Gadang tersebut berada diantaranya di Koto Tuo10 rumah, Silungkang 26 rumah, Gando 26 rumah & Koto Gadang 21 rumah.

Berkat Alam nya yang luas dan kaya bahkan termasuk paling luas di nagari Minangkabau , maka adanya persyaratan Bukit nan Tujuh, Rimbo nan Tigo, Tanjuang nan Tigo & lubuak nan Tigo seperti yang diajukan oleh kerajaan Pagaruyuang dengan mudah bisa dipenuhi oleh nagari Sulit Air. Seperti :
  1. Bukit nan Tujuh : Sibumbun jantan, Sibumbun batino, Gunung Papan, Sundak langik, Guguok Jonggi, Guguok Muncuong & Guguok Taroguang.
  2. Rimbo nan Tigo : Rimbo Tombang, Rimbo Taji & Rimbo Alai.
  3. Tanjuang nan Tigo : Tanjung Sumpadang, Tanjung Balit & Tanjung Alai, dimana dulu nya masih meliputi kenagarian Sulit Air, ibarat pepatah mengatakan  " Sulik Ayie ba Tanjung Balik cumati Koto Piliang".
  4. Lubuk nan Tigo : Lubuk Uwok, Lubuk Siami & Lubuk Motak.

Wilayah Taraguang :

Dengan cara-cara penuh perhitungan dan gemilang yang ditempuh oleh para pemimpin dan para cendikiawan nagari pada waktu itu, maka segala bentuk persyaratan yang di ajukan Pagaruyuang dapat di atasi dan dipenuhi dengan sebaik-baik nya. Kato bajawek - Gayuang basambuik. Setelah habis jangka waktu yang ditentukan, maka atas undangan nagari berangkatlah Bundo Kanduang , Cinduo Mato & bangsawan Pagaruyuang lain nya menuju Sulit Air. Tak lain dengan maksud menguji kebenaran dan meneliti apa yang telah dipenuhi. Sampai di di kenagarian Sulit Air, para pembesar Pagaruyung benar-benar dibuat tercengang dan kagum atas bukti diperlihatkan nagari. 

Walaupun tidak sepenuh nya tepat apa yang telah disyratkan, tapi sudah mendekat sebuah nagari berdaulat. Meskipun waktu itu tidak satu nagari pun, yang sanggup memenuhi semu apersyaratan tersebut. Maka mau tak mau, terpaksa Bundo Kanduang mengakui dan meresmikan Wilayah Taraguang sebagai suatu wilayah yang diberi hak untuk mengurusi rumah tangga nhya sendiri. Saat itu juga rakyat Sulit Air larut dalam kegembiraan yang luar biasa atas pengakuan yang nyata dari Pagaruyung tersebut.

Wilayah Taraguang ini mencapai masa keemasan nya tak kala berada dibawah pimpinan Datuk Pemuncak Perkasa Alamsyah. Pada waktu berdatanganlah orang-orang dari luar daerah  diantara nya Aceh, Palembang dan malaka untuk berdagang. Bahkan banyak pula dari perantau itu menetap di alam Sulit Air. Pada masa inilah sebagian pertambahan para datuk-datuk di nagari Sulit Air, seperti ada nya nama Dt. Malin Aceh, Dt. Palembang, Dt. Malako Sutan, Dt. Tan Aceh. Agak nya dapat dimengerti tak seorangpun dari merak sebagi datuk ninik, namun hanya sebagai datuk Andiko.

Namun dengan lenyapnya kekuasan Kerajaan Pagaruyung pada awal abad ke-19 dan berubah nya status Minangkabau menjadi negara Islam ( masa nya kaum Paderi). Maka hak otonom yang didapat sebagai wilayah Taragung ikut serta juga dihapuskan. Saat itu 1825 nagari Sulit Air dikembalikan kepada status kenegerian nya. Ketika itu Belanda menjajah begitu kuat nya, beberapa penghulu pun yang memilik kekuasan ikut dilenyapkan antara lain Dt. Pemuncak Alam Perkasa & Datuk Rajo Endah.

Dalam perjalanan nya pertikaian kaum Paderi dan Kaum Adat ikut merubah peran serta keberadaan para datuk dan hak atas kuasa nagari dan ulayat. Namun secara garis besar kelengkapan para datuk di Sulit Air tetap terjaga dengan memasukan kaum Alim Ulama sebagai penentu & pengayom nagari saat itu. Terbukti dimasukan nya para Imam, Khatib, Bilal, Khadi dan Gharim sebagai orang-orang yang diberi amanah memimpin kaum nya. Di Sulit Air saat ini terdapat 115 orang datuk ditambah para ulama lima orang menjadi 120 orang, Meliputi suku Limo Singkek 38 datuk, Limo Panjang 26 datuk, Piliang 25 datuk dan Simabur 26 datuk.
Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari)  Sulit Air saat ini

Datuk Empat Suku nagari Sulit Air :

- Datuk Suku Limo Panjang:
  • Datuk Suku : Dt. Malakomo
  • Monti: Dt.Rajo Muhammad
  • Hulu Balang : Dt. lelo Batuah 
  • Jurai : Malin Parmato
Urang nan Sambilan : Datuk Ninik - Dt. Malakewi
  1. Dt. Rangkayo Basa
  2. Dt. Rajo Mangkuto
  3. Dt. Tamaruhun
  4. Dt. Rajo Mansyur
  5. Dt. Ompang Limo
  6. Dt. Majo Kotik
  7. Dt. Mangkuto Sinaro
  8. Dt. Gampo Sinaro
  9. Dt. Khatib Alam Batuah
Urang nan Anam : Datuk Ninik - Dt. Paduko nan Panjang 
  1. Dt. Paduko Rajo lelo
  2. Dt. Tumenggung
  3. Dt. Pono Kayo
  4. Dt. Sindo Sutan
  5. Dt. Tanali
  6. Dt. Tamandaro
Urang nan Ompek : Datuk Ninik - Dt. Pono Marajo
  1. Dt. Rajo Alam
  2. Dt. Podo Besar
  3. Dt. Rajo Sampono
  4. Dt. Tumak Alam

- Datuk Suku Piliang :
  • Datuk Suku : Dt. Bendaharo
  • Monti : Dt. Kakayo
  • Hulubalang : Dt. Rajo Padang
  • Jurai : Malin Cayo
Urang nan Tigo : Datuk Ninik - Dt. Majo Bosa
  1. Dt. Majo Garang
  2. Dt. Penghulu Bongsu
  3. Dt. Majo Indo
Urang nan Tigo : (Piliang Panjang) Datuk Ninik - Dt. Majo Bongsu
  1. Dt. Rajo Putiah
  2. Dt. Marah Sutan
  3. Dt. Mantiko Sutan
Urang nan Salapan : Datuk Ninik - Dt. Rajo Lelo
  1. Dt. Malako Bongsu
  2. Dt. Mogek Sutan
  3. Dt. Malako Sutan
  4. Dt. Nan Besar
  5. Dt. Tanam Putiah
  6. Dt. Incek Malako
  7. Dt. Alek Cumano
  8. Dt. Sutan Majolelo
Urang nan Tigo : Datuk Ninik - Dt. Rajo Malano
  1. Dt. Tampang Hulu
  2. Dt. Malano Kayo
  3. Dt. Marajo

- Datuk Suku Limo Singkek :
  • Datuk Suku : Dt. Maharajo nan Sati 
  • Monti : Dt. Bagindo Kayo
  • Hulu Balang : Dt. Penghulu Mudo
  • Jurai : Pakieh Sati
Urang nan Salapan : Datuk Ninik - Dt. Bagindo Bosa
  1. Dt. Endah Bongsu
  2. Dt. Bagindo TAn Alam
  3. Dt. Tan Aceh
  4. Dt. Pono Garang
  5. Dt. Sutan Palembang
  6. Dt. Mantiko Sutan
  7. Dt. Mara Bongsu
  8. Dt. Bangso Rajo
Urang nan Tigo : Datuk Ninik - Dt. Rajo Lenggang
  1. Dt. Rajo Diateh
  2. Dt. Majo Indo
  3. Dt. Khatib Batuah
Urang nan Tigo Boleh : Datuk Ninik - Dt. Nan Sati
  1. Dt. Bagindo Rajo
  2. Dt. Samarajo
  3. Dt. Podo Gamuk
  4. Dt. Tanaro
  5. Dt. Sati Marajo
  6. Dt. Malin Aceh
  7. Dt. Rajo Mantiko
  8. Dt. Podo Bumi
  9. Dt. Rajo Pahlawan
  10. Dt. Majo Sati
  11. Dt. Podo Sati
  12. Dt. Pito Bosa
  13. Dt. Malako Rajo
Urang nan Anam : Datuk Ninik - Dt. Rajo Panghulu
  1. Dt. Panghulu Marajo
  2. Dt. Rajo Tanjung
  3. Dt. Pandeka Rajo
  4. Dt. Malin Marajo
  5. Dt. Malin Putih
  6. Dt. Malin Panghulu

- Datuk Suku Simabur :
  • Datuk Suku : Dt. Rajo Kuaso
  • Monti : Dt. Bijo Dirajo
  • Hulu Balang : Dt. Rajo Batuah
  • Jurai : Pakieh Mudo
Datuk Ninik ( Sumpadang) - Dt. Marajo
  1. Dt. Mantiko Sutan
  2. Dt. Mangkuto Sati
  3. Dt. Panghulu Kayo
  4. Dt. Parmato Kayo
  5. Dt. Intan Marajo
  6. Dt. Lenggang Marajo
  7. Dt. PonoMarajo
  8. Dt. Panghulu sati
  9. Dt. Sutan Dilangik
Datuk Ninik (Bendang) - Dt. Bagindo Marajo
  1. Dt. Gagar Kayo
  2. Dt. Bagindo Malano
  3. Dt. Sutan Malano
Datuk Ninik (Bodi) - Dt. Polong Kayo
  1. Dt. Endang Pahlawan
  2. Dt. Polong Sati
  3. Dt. Panghulu Sutan
Datuk Ninik (Koti Anyie) - Dt. Rajo Alam
  1. Dt. Pono Sutan
  2. Dt. Parhimpunan
  3. Dt. Rajo Putiah
Itulah ringkasan lengkap dari awal mula nagari dan terbentuk nya empat suku serta para datuk-datuk yang ada di kanagarian Sulit Air. Ini Semua hanyalah Tambo berupa nilai sejarah berdasar cerita mulut ke mulut dari orang tua dahulu yang dirangkai menjadi sebuah karya untuk para pembaca dimanpun berada. Hingga nanti nya bisa menjadi nilai budaya dan memiliki keterikatan terhadapan Adat Mianangkabau dan Nagari sendiri.

Sumber : Tambo Asal-usul nagari & persukuan Sulit Air 1974 (H.Rozali Usman & Drs. Hamdullah Salim) - Arsip suku oleh Isis Dt. Pandeka Rajo 2008.


--- Sekian ---

Thursday 5 November 2015

Jokowi Tentang Hate Speech

Jika teman-teman memlihat berita sore, Metrotv ataupun TvOne spesialis siaran berita dijumpai polemik tentang auran boleh nya mengkritik dan menghujat seseorang. Bahkan polisi dengan badan intelejen nya dirasa perlu mengeluarkan surat edaran ke seluruh anggota polisi seluruh Indonesia di publish ke media tentang kata-kata yang mengandung unsur ujaran kebencian (hate speech). Itulah, sepekan pertama di awal bulan november perbincangan tentang Suku Anak Dalam (Kubu) menyeruak ke permukaan. Pasalnya, di sela-sela kunjungannya melihat langsung kasus kebakaran hutan wilayah Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau,

Presiden Jokowi menyempatkan dirinya untuk menengok langsung kondisi Suku Anak Dalam. Jokowi menjadi presiden pertama di Indonesia yang akhirnya berkunjung menilik langsung bagaimana kehidupan nomaden masyarakat pedalaman hutan Jambi: Suku Anak Dalam. Justru ketika pihak Istana mendokumentasikan photo-photo tersebut tersirat kejanggalan yang aneh di pemerhati media, bahkan seorang Roy Suryo (bekas menteri) & Andi Arif (mantan safsus era SBY) ikun menunjukan ketidak heranan atas sesuatu yang agak aneh dalam fhoto tersebut dibawah ini.
Saat ini, media adalah sarana tercepat untuk menyampaikan sesuatu dalam skala kecil maupun besar sehingga memiliki efek yang sangat besar pula. Efek yang seperti ini menimbulkan efek positif dan negative. Positif jika memang berita yang disampaikan sesuai dengan fakta ataupun kritikan yang memiliki alasan dan dasar yang jelas. Negative jika berita yang disampaikan tidak sesuai dengan fakta dan tidak memiliki alasan yang jelas sehingga bermuara pada fitnah. Fitnah yang disebarkan ini pula menjadi bahan konsumsi masyarakat luas terutama kepada masyarakat yang tidak selektif (asal telan saja) sehingga membuat fitnah tersebut lebih cepat berakar dari umurnya yang seharusnya.

Banyak dari pro pemerintah menghujat atas ke orisinalan foto tersebut. Bahkan dalam suatu media ProJo, mengeluarkan himbauan seperti ini: Parahnya lagi pelaku dalam media (terutama media sosial) adalah para remaja atau generasi muda penerus dan harapan bangsa. Mereka bukannya tidak berpendidikan dan tidak mampu menyeleksi apa yang mereka dapat dan apa yang layak dibuang. Begitu juga dengan berita-berita yang dari media, manusia Indonesia didominasi oleh pikiran yang sok kritis padahal otak krisis. Banyak yang berpikiran, “mengkritik pemerintah itu hebat, trend luar biasa,” padahal mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka kritik. Mulailah dengan tidak saling menyalahkan.
 
Apa yang mengandung himbauan positif rasa nya perlu kita dalami lebih baik lagi dalam era digital ini. Media harus lebih selektif untuk memberitakan sebuah peristiwa. Ada baiknya media memberitakan suatu peristiwa secara beruntut, jelas, dan nada kronologis yang jelas agar pembaca mengetahui secara penuh latar belakang dari peristiwa tersebut sehingga tidak ada lagi fitnah. Saat ini, media lebih banyak memberitakan “cuplikan” saja atau potongan berita saja sehingga masyarakat juga menerima potongan tersebut, apalagi mereka yang tidak mampu berpikir realistis dan logis, berita itu akan cepat menyebar karena begitu gampanganya melakukan share di media sosial.

Sebelum nya hanya era media cetak yang berani menyuarakan ketidak seimbangan demokrasi, disebut hanya seperti koran Kompas,  majalah Tempo, Tabloid Obor Rakyat. Sekarang media menjadi konsumsi publik bisa dimiliki oleh pribadi misal nya Facebook, Instagram, twitter dll.. Disitulah kehati-hatian dalam menulis harus dibingkai dalam fakta dan berita yang bisa di pertanggung jawabkan. Saya pribadi tidak ingin teman-teman tergoda dengan segala macam atau kesengajaan kebohongan yang tersirat dalam pemerintahan sekarang, itu boleh jadi sebagai ketidaktahuan atau permainan politik yang tiada habis nya.
Be Your self itu motto dari teman sekolah saya dahulu, jangan terbawa Arus. So..! dengan kemunculan SE (surat edaran) kapolri atas hate speech, setiap ada yang aneh sekarang ini ataupun ada laporan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan polisi sekarang akan melakukan langkah cepat serta pencegahan yang bisa berujung penangkapan. Tentu kita semua kita berharap kebebasan informasi & komunikasi tidak terkangkangi dengan SE Kapolri yang agak nyeleneh tersebut.

Mulai lah sekarang bersikap dan bisa membedakan antara kebenaran foto dengan kenyataan yang ada, saya pribadi tidak mau teman-teman termasuk bagian dari delik aduan nanti nya. Walau rancanagn SE ini banyak dipertentangkan, namun karena masih era nya Jokowi semua tetap dalam koridor kehati-hatian yang dalam menyuarakan ketidak jelasan negeri ini. Simak juga ulasan Gubernur Sumbar atas sosok Jokowi .

--- Sekian ---