Saturday, 29 November 2014

Menelusuri jejak sejarah Nagari Sulit Air

          Menurut buku kecil  “Asal-usul Negeri dan Persukuan Sulit Air” yang disusun pada tahun 1975 oleh Hamdullah Salim bersama Rozali Usman (ketua umum DPP SAS “Yayasan Rora”), berdasarkan tambo (cerita dari mulut ke mulut) dikatakan bahwa orang Sulit Air itu dulu berasal dari serombongan orang yang dipimpin oleh Dt. Mulo Nan Kawi dan isterinya Puti Anggo Ati, yang hendak pindah dari Pariangan Padangpanjang ( di kawasan selatan Gunung Merapi) untuk mencari daerah kehidupan baru yang lebih menjanjikan di kawasan Solok (kawasan Gunung Talang), yang terkenal  sebagai daerah yang subur dengan persawahan dan pertaniannya.

          Rute yang mereka tempuh melewati Batusangkar dan menyeberangi Batang Ombilin. Namun setelah mereka melintasi Gunung Papan dengan warna merah dan putihnya yang norak dan menyolok itu, Puti Anggo Ati demikian terpesona dan minta kepada suaminya agar mereka menetap di lembah gunung itu saja. Usul itu diterima oleh Dt. Mulo Nan Kawi dan diputuskan bahwa rombongan menetap di lembah itu bila ada sumber air yang cukup besar sebagai urat nadi kehidupan.

          Semula yang ditemukan hanya parit atau bandar air yang kecil, airnya keluar dari batu-batu sulit sekali, di kemudian hari diberi nama Batang Sulik Ayie, di kaki Guguk Teragung, Koto Tuo.  Dari sinilah nama Sulik Ayie (Sulit Air) berasal. Namun setelah ditelusuri sampai ke lembah gunung yang berwarna merah putih itu, ditemuilah sungai yang besar, itulah dia Batang Katialo, yang airnya rupanya mengalir ke Batang Ombilin, yang baru saja mereka lewati.

          Maka terkabullah permintaan Puti Anggo Ati, Dt. Mulo Nan Kawi menetapkan rombongan yang dipimpinnya berdiam dan membangun nagari baru di lembah itu karena di tempat mereka tengah berada itu dipandang cukup baik untuk dijadikan perkampungan  karena ada tanah dan lapangan yang cukup datar, tapi airnya memang sulit. Sedang di lembah bawah walau sungainya besar tapi untuk dijadikan perkampungan masih memerlukan waktu untuk membangunnya, namun mempunyai masa depan yang cerah karena ada sungai besar yang tersambung dengan Batang Ombilin dan bukit-bukit yang banyak disekitarnya sebagai  sumber kehidupan.

          Di tempat pertama yang mereka tempati yang kini bernama Koto Tuo (karena menjadi kediaman yang pertama) memang sulit air, tapi di koto-koto lainnya yang mereka bangun kemudian, yakni Koto Gadang,  Silungkang dan Gando, mengalir  sungai yang cukup besar, yakni Batang Katialo, ditambah beberapa anak sungai lainnya. Karena sulitnya air menjadi pembicaraan sehari-hari dan Puti Anggo Ati selalu ingat akan peristiwa pertama yang menarik hatinya , melihat sulitnya air keluar dari sela-sela batu, maka sebagaimana halnya parit yang mereka temui itu, dinamailah kampung halaman mereka yang baru itu Sulit Air.

          Sebagian rombongan tidak betah menetap di Sulit Air, mereka meneruskan pengembaraan ke Solok,  kawasan antara Gunung Talang dan Danau Singkarak, yang memang melimpah ruah airnya,  subur tanahnya dan sudah banyak orang yang membuat sawah. Mereka kemudian menetap di Kacang, Saningbakar, Sumani, Koto Sani, Koto Ilalang, Gantung Ciri, Sawah Suduik, Solok, Selayo dan sebagainya.  Kawasan ini kemudian terkenal sebagai Kubung Tiga Belas.

          Penulis DR. Kato dalam bukunya “Adat Minangkabau dan Merantau”,  menceritakan bahwa berdasarkan buku “Monografi Kabupaten Solok”  tulisan Syafri Sjafei (1971, hal. 26-30) dan serangkaian wawancara yang dilakukannya di berbagai nagari di Kabupaten Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan pada bulan Mei dan Juni 1973, dia berkesimpulan:

“Studi pemekaran nagari tampaknya menunjukkan bahwa penduduk darek (pedalaman Minangkabau) semakin lama menjadi semakin terkurung. Pola pemekaran nagari mirip dengan lingkaran konsentris yang makin membesar seperti riak air di sebuah kolam. Penduduk darek pindah ke daerah-daerah pinggiran darek (ekor darek kepala rantau atau “ikua darek, kapalo rantau) dan ke wilayah rantau yang berdekatan". 

Penghuni awal di daerah-daerah ini kemudian pindah ke deerah-daerah yang lebih jauh di rantau.  Kasus menarik yang diketahui dalam hal ini adalah perpindahan orang darek dalam jumlah yang banyak ke Pesisir Selatan di selatan Padang. Pada mulanya orang-orang berpindah dari Luhak Tanah Datar ke Solok (Kubung XIII). Dari sana sebagian mereka pindah lebih jauh ke selatan Sungai Pagu. Akhirnya bagian utara Pesisir Selatan ditempati oleh orang-orang dari Solok, bagian selatan oleh orang-orang dari Sungai Pagu” 
Ciri-ciri yang unik ketika sampai di nagari Sulit Air - dijumpai gunung merah putih yang menawan
          Hasil penelitian Kato yang didasarkan buku monografi (sebutan lain atau bagian dari tambo) dan wawancara tekun yang dilakukannya di nagari-nagari di Kabupaten Solok (termasuk Sulit Air) menunjukkan kemiripan dengan buku tambo “Asal Usul Negeri dan Persukuan Sulit Air”. Ada kemungkinan pencaharian tanah kehidupan baru yang dilakukan oleh rombongan Dt. Mulo Nan Kawi tsb sama atau merupakan bagian dari perpindahan besar-besaran  dari darek ke Solok tsb (kemudian dilanjutkan ke Pesisir Selatan), karena rombongan Dt. Mulo Nan Kawi tadinya memang hendak merantau ke Solok, namun akhirnya sebagian tertahan dan menetap di lembah Gunung Papan yang kemudian mereka beri nama Sulit Air, sedang sebagian lainnya meneruskan perantauan ke Solok, ke sejumlah negeri yang kemudian populer dengan sebutan Kubung XIII (karena terdiri dari 13 negeri dengan berbagai versi, menyangkut mana saja negeri yang 13 tsb).

          Kapan perpindahan maupun perantauan besar-besaran tsb terjadi, tidak satu bukupun yang menyebutkannya. Namun Kato dalam bukunya tsb (halaman 78) dengan mengutip Dobbin mengatakan bahwa sampai akhir abad ke- 17, tampak bahwa Indragiri dan Batanghari di selatan lebih sering digunakan dari kedua sungai lainnya (sungai Siak dan Kampar, pen). Daerah-daerah penghasil emas dan merica memiliki hubungan yang lebih baik dengan kawasan hulu kedua sungai ini (salahsatu hulu Indragiri adalah Batang Katialo di Sulit Air, pen) , dan kekuasaan atas Siak dan Kampar di utara sering diganggu oleh Aceh dan Johor. Akan tetapi kedaan ini berubah pada akhir abad ke- 17.  Siak, khususnya, menjadi jalan utama ke pantai timur (Selat Malaka ).

          Sulit Air itu pernah menjadi kawasan perdagangan yang makmur, sewaktu menjadi ibukota wilayah Taragung, di abad ke-14, terutama sewaktu dipimpin oleh Dt. Pamuncak Perkasa Alamsyah.  Wilayahnya meliputi Sulit Air sekarang ini, ditambah Tanjung Balit, Tanjung Alai, Dadok, Tarok Bungkuk, Batu Alang, Parit Bakali (antara Tikalak – Singkarak), Guguk Palano, Bunduong, Sawah Kareh, Panjalangan, Kolok Mudiek, dan Guguok Panjaringan.

          Menurut penuturan Bapak Yunus Amin Dt. Marah Bangso, seorang ahli adat, kepada Hamdullah Salim di tahun 1970, dari mana-mana orang berdatangan ke Sulit Air; mulai dari Aceh, Malaka (Malaysia sekarang), sampai ke Palembang.  Adat kapalnya berlabuhan, adat dagangnya bertepatan, jauh mencari suku, dekat mencari indu.  Orang-orang Palembang berdagang, bertepatan pada Dt. Marah Bangso.  Sekelompok orang Aceh berdagang bertepatan pada Dt. Bagindo Bosa, sekelompok yang lain pada Dt. Nan Sati, dan sekelompok orang Aceh lainnya pada Dt. Rajo Mansyur.  Beberapa kelompok orang Malaka bertepatan pada Dt. Majo Lelo.  Artinya mereka berdiam di Sulit Air, ber-keluarga dan beranak pinak, seperti kita merantau sekarang ini.

          Sampai sekarang kita memang mengenal adanya 7 penghulu yang bergelar  Dt. Palembang, Dt. Tan Aceh, Dt. Malin Aceh, Dt. Malaka Kayo, Dt. Malako Sutan,  Dt. Malako Bongsu,  Dt. Incek Malako.  Salah seorang di antara pendatang tersebut, yakni yang berasal dari Aceh bernama Jahid.  Ternyata ia adalah seorang ulama dan dianggap sebagai penyebar Islam yang pertama di Sulit Air. Ia kawin dengan Bayuria, adik kandung Dt. Rangkayo Basa, tempat tinggalnya di Sulit Air kemudian terkenal dengan sebutan Kampuong Bayuo.  Atas jasa-jasanya itu, lalu ia diangkat sebagai penghulu dengan gelar Dt. Malin Aceh.

          Bila dilihat kenyataan sekarang bahwa ketujuh penghulu tersebut adalah datuk andiko semuanya, artinya memimpin sekelompok anak buah, Hamdullah Salim berteori bahwa semula para pendatang baru tersebut beserta anak buahnya bergabung dengan penghulu-penghulu yang disebutkan itu sebagai kaum bertali budi atau kemenakan di bawah lutut, ada juga yang menyebut kaum bertali adat.  Kemenakan-kemenakan di bawah lutut (bertali budi) tidak dapat diangkat menjadi penghulu untuk memimpin kemenakan bertali darah (penduduk asli atau pendatang pertama).  

          Mungkin karena kaum bertali budi ini semakin berkembang biak atau karena jasa-jasa baik (budi) yang mereka berikan kepada sulit Air, pemimpinnya kemudian diangkat jadi penghulu-penghulu baru dengan gelar-gelar tersebut di atas, memimpin anak buahnya sendiri dalam suku yang baru.  Teori ini memperkuat dugaan bahwa di Sulit Air dulu banyak sekali suku.  Menurut sumber itu, sebelum wilayah Taragung, jumlah penghulu di Sulit Air 35 orang, sesudah wilayah Taragung 85 orang, dan pada masa sekarang ini 120 orang, dan yang berstatus sebagai penghulu andiko 83 orang.  Penghulu andiko tidak lagi memimpin suku, tapi kaum.  Jumlah suku di nagari-nagari di Minangkabau tidak sama, yang jelas minimal 4 suku, sesuai dengan salah satu syarat diakuinya tempat itu sebagai nagari.
Satu lagi keunikan nagari ini, ada nya gonjong Rumah Gadang diatas jembatan - sumbangan perantau SAS
          Berdasarkan uraian di atas, Sulit Air pada masa dahulu kala adalah negeri yang makmur, tempat tujuan orang merantau.   Sumber lain mengatakan bahwa di sepanjang Batang Katialo itu dulu banyak orang yang berpenghasilan sebagai pendulang mas, seperti halnya di sungai-sungai besar Kalimantan sekarang banyak orang yang berpenghasilan sebagai pendulang emas, termasuk para perantau dari daerah lain.  Dalam kondisi demikian, nenek moyang kita tidak akan banyak pergi merantau karena alasan ekonomis.  Pada hal orang-orang Minang banyak pergi merantau tidak hanya pada masa-masa yang akhir ini saja, tapi juga pada abad-abad yang lalu.

          Sebelum Belanda merebut dan menguasai Minangkabau melalui Perang Paderi (1821 s/d 1837), kekuasaan tertinggi di Minangkabau di pegang oleh penghulu. Adagium adat mengatakan: kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat. Tidak ada yang lebih tinggi daripada penghulu. Yang disebut mufakat tsb adalah mufakatnya para penghulu di balairungsari dalam bentuk kerapatan adat. Karena setiap nagari mempunyai banyak penghulu, maka untuk menciptakan kemajuan, kebersamaan, penyelesaian  masalah-masalah antar anak kemenakan berlainan penghulu, dan pengaturan kehidupan sehari-hari anak nagari, mufakat itu perlu dilembagakan. Lembaga  itulah bernama Kerapatan Adat Nagati  (KAN), sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di setiap nagari. Penghulu tidak saja memegang kekuasaan eksekutif (pemerintahan), tapi juga legislatif (perundangan) dan yudikatif (hukum dan peradilan).

          Pada awal mulanya, setiap penghulu memimpin sebuah suku, maka Belanda menyebut pemerintahan di Minangkabau sebagai pemerintahan suku. Karena yang berkuasa pada hakekatnya adalah rakyat (anak kemenakan) melalui penghulunya masing-masing di KAN tsb, maka disebut Belanda pula Minangkabau itu sebagai republik-republik   kecil (suku) yang diperintah penghulunya masing-masing. Sedang Raja Paguruyung hanya berkuasa di rantau (yakni di luar Minang yang mengakui pengaruh Pagaruyung)  dan  sebagai lembaga sakral memelihara  hubungan baik dan ketertiban antar nagari.   Dari sinilah lahirnya adagium rantau barajo, nagari bapanghulu. Atau sebutan indak barajo ka Pagaruyuang.

          Belanda  merasa repot dan sulit berhadapan dengan demikian banyak (empat ratusan) raja-raja kecil itu. Maunya hanya berurusan dengan segelintir orang, yang berkuasa atas rakyatnya. Walau Perang  Paderi (1821 s/d 1837) belum usai, namun Belanda sudah mulai berkuasa dan mencekamkan kuku jajahannya di ranah Minang. Pada tahun 1833 mulai diperkenalkan dan dilaksanakannya secara sistem kelarasan (laras= sama, sesuai, cocok) di Minangkabau. Walau penghulu tetap diakui, tapi kekuasaannya mulai dikurangi sedikit demi sedikit. Nagari tidak lagi diperintah oleh para penghulu tapi oleh tiga pejabat penting kenagarian yakni  Kepala Laras  (Tuanku Lareh), Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi.

          Kepala Laras memerintah kelarasannya yang terdiri dari beberapa nagari yang ditentukan.  Dialah yang bertanggungjawab kepada Belanda. Tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban nagari-nagari di kelarasannya,  menjamin pemasukan pungutan sebanyak-banyaknya bagi kas Belanda (terutama yang berasal dari pelaksanaan aturan tanaman paksa). Penghulu Kepala (di Sulit Air populer dengan sebutan Ongku Palo atau Tuok Palo) pada hakekatnya tugasnya sama dengan Kepala Laras ditambah sebagai alat penghubung antara Kepala Laras ke bawah di nagarinya, tapi tidak boleh menghadiri rapat-rapat adat. Sedang tugas penghulu rodi adalah sebagai mandor, kaki tangan Belanda, memata-matai tingkah laku rakyat yang dicurigai. Dia menjalankan setiap perintah yang datang dari atas dengan sasaran pokok: menghimpun sebanyak mungkin pungutan dari rakyat (terutama dari penjualan kopi).
Pusat nagari berada di Balailamo - jorong Koto Gadang
          Penderitaan rakyat semakin berat, apalagi sejak November 1847, Belanda mewajibkan seluruh hasil kopi dijual kepada Belanda. Untuk itu dibangun 80 pakus (gudang) kopi di Sumatera Barat. Dari jumlah itu, 5 pakus besar ada di Solok dan 4 pakus kecil ada di Singkarak. Di Bukit Tinggi hanya ada 3 pakus besar, Padang Panjang hanya 1 pakus besar + 1 pakus kecil, Batusangkar 2 pakus besar. Daerah Solok memang penghasil  kopi yang besar pada masa itu.  Dapatlah kita membayangkan, bagaimana penduduk Sulit Air harus mernjual dan membawa sendiri hasil panen kopinya ke gudang kopi yang ada di Singkarak itu. Belanda menetapkan selain harus dijual kepada Belanda, juga harus diantar sendiri ke gudang (franco pakhuis.)

          Kepala Laras digaji oleh Belanda, sedang Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi memperoleh komisi dari hasil kegiatan usahanya. Rodi adalah kewajiban bekerja (berladang, memperbaiki jalan, jembatan dsbnya) yang diperintahkan Belanda tanpa mendapat upah.  Maka Penghulu Rodi amat berat tugasnya, sering dibenci dan dicemooh rakyat. Tugas berat dan tidak berprikemanusiaan yang dibebankan Belanda kepada ketiga jenis penghulu model Belanda tsb, erat kaitannya dengan Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa dan Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat yang masih berlangsung.  Untuk membiayai kedua perang yang menelan biaya besar itu, menyebabkan kas Belanda sudah terkuras habis.

          Untuk mengatasi kesulitan itu,  Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van de Bosch pada tahun 1830 menetapkan UU Cultuurstelsel (Aturan Tanam Paksa). Rakyat diharuskan menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekspor (terutama kopi) untuk kemudian diserahkan kepada Belanda secara sukarela. Aturan itu diterapkan dengan sangat keras dan kejam, yang membuat  rakyat terluka dan sangat menderita. Itulah yang menjadi salahsatu sebab kaum adat yang tadinya berperang dengan kaum Paderi, berbaik dan bersatu kembali untuk sama-sama memusuhi Belanda. Maka lahirlah persatuan antara keduanya dan tercetuslah sebuah  piagam (deklarasi) di Bukit Marapalam, dekat Lintau, pada tahun 1833, yang kemudian sangat terkenal sebagai Piagam Marapalam. Bunyi piagam itu sering kali disebut-sebut oleh orang Minang untuk keteguhan dan kebanggaan akidah keislamannya: adat bersendi syarak, syarak bersendikan Kitabullah. Yang dimaksud dengan Kitabullah tsb adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

          Atas desakan kaum liberal di Negeri Belanda, Cultuustelsel yang tidak berprikemanusiaan tsb dihapuskan secara bertahap. Rapat para Kepala Laras se Minangkabau yang diadakan di Bukit Tinggi dan dipimpin oleh Komisaris Hindia Belanda Mr. Kinderen pada tanggal 6 April 1865 memutuskan kekuasaan Kepala Laras dikurangi. Dan pada tahun 1873 UU Governemen yang dibuat Belanda berlaku sepenuhnya.  Berarti pemerintahan adat yang bertumpu pada penghulu berakhir sudah. Budidaya kopi yang dipaksakan baru benar-benar dihapuskan pada tahun 1908, diganti dengan pajak biasa. Maka sekarang kita tidak melihat lagi kebun-kebun kopi yang luas di Kabupaten Solok dan sekitar Danau Singkarak, karena tidak ada lagi kekuatan yang memaksakan penanamannya.

          Dengan Stablad No 321 tahun 1913, jabatan Kepala Laras (Tuanku Lareh), jabatan Penghulu Kepala dan Penghulu Rodi  dihapuskan di Sumatera Barat. Sedangkan nagari dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Sebutan yang populer adalah Kepala Nagari, Engku Kepala, di Sulit Air sebutannya Ongku Palo (Tuok Palo).  Pengganti yang setingkat dengan kepala laras adalah demang.. Wilayah kedemangan umumnya lebih luas dari kelararasan. Gaji demang lebih tinggi daripada Kepala Laras, diperlakukan sebagai pegawai negeri, yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan kemana-mana.

          Selama pemerintahan kelarasan (1833-1913) ciptaan Belanda, nagari Sulit Air mempunyai 4 tuanku lareh. Keempat tuanku lareh itu berturut-turut adalah: Tuanku Lareh I Dt. Bandaro (1833-1852), Tuanku Lareh II Dt. Sutan Bandaro (1852-1888), Tuanku Lareh III Dt. Pamuncak Perkasa Alam (1888-1902), dan Tuanku Lareh IV Dt. Rajo Mansyur (1902-1912). Hamdullah Salim belum menemukan apakah kelarasan Sulit Air sama dengan kawasan Sulit Air (karena demikian luasnya)? Ataukah ditambah dengan  nagari-nagari lainnya, umpamanya nagari-nagari di Kec. X Koto Diatas sekarang.
Dilihat dari peta alam Minang Kabau, Nagari Sulit Air berada dalam kerajaan Pariangan, dengan menganut kelarasan koto Piliang. Sepertinya perlu ditelusuri lebih dalam lagi. (MozaikMinang)
           Pada dekade terakhir abad ke- 19, Provinsi Sumatera Barat terdiri atas 3 resindensi, yakni Tapanuli, Padangsche Benedenlanden (Pesisir Bagian Barat, yakni Painan, Padang, Pariaman, Air Bangis, Rao ), dan Padang Bovenlanden (Padang Darat, wilayah Sumbar sekarang minus pesisir tsb). Tahun 1906, Tapanuli dilepas dari Sumatera Barat. Menjelang Perang Dunia I (1914-1918), sebutannya berubah menjadi Residensi Sumatera Barat dan terbagi atas 8 afdeeling (setingkat kabupaten sekarang). Ke-8 afdeeling tsb adalah: Padang, Painan, Batipuh dan Pariaman, Agam, Lubuk Sikaping, 50 Koto, Tanah Datar, dan Solok.

          Pembagian di bawah afdeeling adalah onderafdeeling (kewedanaan, lebih kecil dari kabupaten namun lebih besar dari kecamatan sekarang). Di bawah onderafdeeling adalah district (setingkat nagari), sebagai struktur terbawah instansi pemerintahan Hindia Belanda pada masa itu. Berarti Sulit Air berstatus distrik pada waktu itu.  Dalam koran “Oetoesan Melaju” tanggal 1 April 1916 Hamdullah Salim  temukan daftar demang dan asisten demang yang baru saja dilantik, dengan urutan antara lain sebagai berikut:
10.   Soelit Air district , Singkarak Onderafdeeling, dan Afdeeling Solok, bertempat di Paninjaoean, dengan Asisten Demang Loedin gelar Soetan Mangkoeto.
Sejarawan Sulit Air bapak Hamdullah Salim, (baju merah-celana hitam) ketika menyaksikan Pulang Basamo SAS & IPPSA
          Dari kutipan tsb dapat di simpulkan bahwa Sulit Air pada tahun 1916 tsb adalah sebuah distrik, termasuk di dalam Onderafdeeling Singkarak, Afdeeling Solok. Secara operasional Kepala Distrik Sulit Air berada langsung dibawah Demang Singkarak, namun secara administratif dia berada di bawah kendali koordinator dan kendali asisten demang yang berkedudukan di Paninjauan. Asisten demang tsb kira-kira sama fungsi dan tugas pokoknya dengan Camat X Koto Diatas. 

          Kenapa asisten demang itu ditempatkan di Paninjauan, bukan di Sulit Air? Diperkirakan, untuk memudahkan koordinasi, mengingat Paninjauan itu terletak di tengah-tengah Kecamtan X Koto Diatas. Asisten demang yang dilantik pada tahun 1916 itu bernama Ludin Sutan Mangkuto. Sayang tidak disebutkan, siapa yang menjadi Kepala Distrik Sulit Air pada waktu itu. Menurut catatan Hamdullah Salim, yang menjadi Kepala Distrik Sulit Air pada waktu itu adalah  J. Dt. Malin Marajo.

          Demikianlah pemerintahan nagari yang demikian itu berlangsung terus di Sumatera Barat, mulai tahun 1913 sampai kedatangan Balatentara Jepang pada tahun 1942. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh.

Sumber: Mustari Rahmat & H. Hamdullah Salim  

--- Sekian ---

Wednesday, 26 November 2014

Taragak kampuang - dangakan lagu dulu

  •  Tapuak ambai-ambai lagu minang anak-anak yang sudah jarang adik-adik kecil menikmati, mulai dipopulerkan oleh Artis Vanny vabiola.

                                                         


  • Artis Minang Yen rustam, beliau tinggal di kubang duo sedang shooting di Rumah gadang 20, judul lagu salamaik datang.



  • Artis Minang Opetra, dimana salah satu tempat shooting berlokasi di Balai lamo judul nyo kain pambaduang usang                                                                                                                        

  •  Gamawan Fauzi lagu nya enak didengar, lagu nya sibunian bukik sambuang terinspirasi dari pengalaman pribadi dulu sebagai bupati Solok tersesat selama lima hari di hutan belantara Bukit barisan.

  •  Uda Alextri Chaniago, ciek lai artis Minang yang akan mambuek awak rindu jo kampuang. Lagu baru iko di shootiang di Suliek Aie seluruh nyo. Baa.. lai ndak karindu  :)
   


         Semua lagu itu mengingatkan sedikit banyak nya Alam minang kabau, selamat menikmati....

 
--- sekian ---

Monday, 24 November 2014

Bupati H.Syamsu Rahim melantik wali nagari Sulit Air

            Alhamdulillah berkat izin Allah swt, pelantikan wali nagari Sulit air berlansung khidmat penuh dengan suasana kekeluargaan. Hari sabtu 22 november 2014, bapak Bupati Solok berkesempatan melantik ibu Alex Suryani menjadi wali nagari Sulit Air akan dijabat selama enam tahun kedepan. Banyak segenap warga perantauan maupun berada dikampung menaruh 'asa' kepada kepemimpinan ibu wali yang baru, semoga ibu wali bisa mengakomodir kebutuhan untuk warga di kampung halaman khusus nya.

            Segenap warga nagari ikut menyambut dengan antusias pelantikan wali nagari, pada momen acara alek nagari ini di potong satu ekor sapi yang disumbangkan warga SAS Pekanbaru. Hadir juga para pejabat seperti Bupati Solok H.Syamsu Rahim, (mantan ka BIN Sumbar) Fachril Dt.Panghulu sutan dan Kajari Solok Yulefdi SH, dimana ketiga orang ini masih bertautan darah Sulit Air. Tampak juga hadir ketua KAN Hendri dunant Dt.Endah Bongsu dan mantan ketua KAN Nasrul Dt Majo Indo  duduk bersebelahan dengan Azmi Anwar Dt.Tumanggung.
         
           Disamping itu hadir juga dari perantauan utusan dari Jakarta dan pengurus DPP SAS dimana ketua umum H.Zakarsih Nurdin SH dan Sekjend Yarsid Efendi S.komp membawa anggota sebanyak 46 orang, rombongan SAS pekanbaru 2 bus+10 mobil pribadi, 50 orang rombongan SAS Padang, serta puluhan warga SAS Palembang, Solok dan sekitar nya. Bahkan ada sanak saudara keluarga, sahabat beliau juga menyempatkan diri hadir pulang ke Sulit Air.

            Masyarakat umum nya tidak berharap yang muluk-muluk tetapi menjunjung tinggi rasa kekeluargaan lah yang di prioritaskan, disamping itu melayani kebutuhan warga dengan rasa keadilan yang tinggi juga tidak di abaikan. Jika sebelum nya pilwali , banyak perbedaan yang tampak karena berbeda dukungan. Setelah pelantikan ini, sepakat semua hanya menunggu realisasi janji beliau dan program merakyat untuk kemajuan masyarakat nagari Sulit Air. Amiin.


--- Ringkasan & akhir penutup Tausiah dari Bapak Bupati Syamsur Rahim.(by.Bunda Yulmatri R.R) ----

" Nasehat Rasulullah saw kepada Umar bin Khauf :"Percantik lah SilatuRahim dan Ma'afkanlah orang yang tidak kita sukai dan yang tidak suka kepada kita"

Kebahagian tidak bisa dicari kemana mana , yang diluar diri kita tidaklah berbahaya , yang berbahaya ialah didalam pikiran kita yang selalu memikirkan orang lain yang belum tentu tidak suka dan tidak berbahaya bagi kita .

Kebahagiaan itu adalah didalam diri kita sendiri untuk mengolahnya jadi suatu kebahagiaan atau suatu penderitaan "

Berikut Photo dari berbagai sumber :
Ketua DPP SAS berbaju batik ungu dan Bupati Solok berpeci hitam






Hj. Alex Suryani pengucapan janji menjabat 2014-2020 & disumpah dengan Al-Quran di lapangan medan nan bapaneh


----- Sekian ----

Thursday, 20 November 2014

Cerita Sulit Air

Sumatera Barat adalah tempat untuk belajar. Saya bangga pernah menjadi bagian dari mereka. Lebih dari 4 tahun hidup bersama dan menjadi bagian orang-orang yang haus untuk selalu belajar ….

“Sulik Aie !” Orang Minang melafalkan dua kata di atas. Kata-kata pedas itu merupakan nama sebuah Nagari yang tersuruk di perbukitan Danau Singkarak Kabupaten Solok – Sumatera Barat.

Mendengar namanya saja, bulu kuduk segera berdiri. Membayangkan sebuah perkampungan kumuh di perbukitan batu cadas yang tandus dengan sawah-sawah dikotori rumput-rumput liar yang juga tak sanggup hidup lagi. Masyarakat penghuninya tinggal di gubug-gubug reot berlantai tanah. Perkampungan hanya dihuni laki-laki tua dan wanita renta serta anak-anak caludih berkulit legam terpanggang matahari. Anak-anak kecil bermain dalam simbahan debu tanpa alas, mereka yang lebih besar membawa tempayan di kepala, menuruni perbukitan terjal menuju sumber air, Danau Singkarak.

Lain dulu lain sekarang, kata pepatah. Demikian juga dengan Nagari Sulit Air, tidak ada lagi kelangkaan benda cair sekalipun kemarau melanda teramat panjang. Sawah dan huma dapat menghasilkan padi serta tanaman khas seprti kulit manis (sebutan untuk kayu manis, karena memang yang dijual di pasar dan rasanya manis adalah kulitna bukan kayunya) dan tanaman kebun lainnya.

Sulit Air bukanlah tanah yang gersang seperti namanya melainkan perbukitan yang subur makmur. Pembangunannya melebihi nagari-nagari lain di Sumatera Barat.

Berbaliknya rupa wajah dengan nama yang melekat sampai sekarang itu ternyata tidak lepas dari peran perantau asal Nagari Sulit Air yang tersebar di seantero tanah air dan juga luar negeri. Sulit Air Sepakat (SAS) adalah organisasi yang mempunyai cabang seratusan di seluruh Indonesia dan beberapa di luar negeri.

Jauh-jauh hari sebelum krismon, aset orang rantau itu mencapai Rp. 12 milyar (data tahun 1995). Bisa dihitung sendiri sekarang, kalau kurs dollar saat itu belum lebih dari Rp. 2.000,-/US dollar. Bila sampai sekarang Nagari Sulit Air dihuni 80.000 orang maka setiap bayi yang lahir sudah punya tabungan hampir mencapai Rp. 1 juta.

Sekarang, sulit air yang sebenarnya sedang melanda Kabupaten Indramayu. Di sebelah barat, para petani gagal panen atau bahkan tanam winih sekalipun gara-gara irigasi kering. Tanah pun tidak ramah lagi untuk disedot, selain airnya kelicir kecil juga berakibat langsung terhadap krisis air di perkampungan.

Sepanjang pengetahuan penulis, baru saat ini sumur bor di Desa Sumbon Kecamatan Kroya hampir tidak mengeluarkan air. Padahal rata-rata sumur bor dibuat dengan menancapkan 18 pipa. Tahun 70-an, sumur bor sedalam itu sudah bisa mengeluarkan air tanpa disedot pompa Dragon, apalagi jet-pump.

Petani yang sudah pasrah dengan kegagalan panen pun harus menyerah pasrah kalau biang kerok kesulitan air itu dituduhkan kepada mereka. Sebagian berpendapat lain, kesulitan air di Indramayu Bagian Barat yang dampaknya langsung dirasakan penduduk pengguna sumur bor di Kroya, Gabuswetan, Bongas, Anjatan dan Haurgeulis itu tidak lain akibat ribuan liter air yang terus mengucur dari sumur artesis Pesantren Al-Zaitun. Krisis air bersih mereka alami beberapa bulan lebih dulu sebelum masyarakat Indramayu Bagian Timur berteriak, “PDAM macet !”

Sulit Air tetap ada di Ranah Minang sementara masyarakat Kabupaten Indramayu saat ini benar-benar lagi sulit air. Kata media, merupakan yang terparah diseantero Jawa Barat.

Belajar dari Sulit Air di Ranah Minang, maka kebersamaan akan kuat mengatasi permasalahan sesulit apapun. Termasuk kesulitan yang sudah melekat erat dan menjadi prototype nama daerah sekalipun. Dengan kekompakan warganya, baik di rantau maupun yang tetap tinggal di Kampuang, Sulit Air berubah menjadi daerah yang sama sekali lain dari arti kata nama daerah itu sendiri.

Akhir bulan agustus tahun 2010, ada 60-an pejabat Kabupaten Indramayu, termasuk Bupati Indramayu, akan menunaikan umroh ke Tanah Suci. Kata sebagaian orang, do’a di Tanah Haram itu akan sangat dekat dengan Yang Maha Kuasa sehingga, selalu terkabul.

Dapat ditebak kalau berbagai macam permintaan sudah ada di benak masing-masing peserta. Permintaan-permintaan pribadi sampai sangat privacy sehingga tidak boleh diketahui siapapun, tak terkecuali sang isteri. Bagaimana dengan do’a untuk kemaslahatan bersama ?

Berdo’a di Tanah Haram bagi masyarakat Indramayu khususnya, yang sama sekali tidak punya sumber air baku sendiri kecuali bergantung kepada daerah sekitarnya. Posisinya mirip Nagari Sulit Air yang keberadaannya dikelilingi sumber air berlimpah namun selama bertahun-tahun terus kesulitan air. Mudah-mudahan do’a bersama di Tanah Suci akan memberi jalan keluar bagi Indramayu yang selama secara terus menerus bergantung kepada sumber-sumber air daerah sekitarnya untuk dikaruniai mata air yang berlimpah.

Kalau di tengah padang pasir bisa keluar air yang deras seperti halnya Zam Zam, mengapa di daerah yang dikelilingi sumber air ini dianggap mustahil ? Semua adalah karunia Yang Maha Kuasa yang harus diiringi dengan ikhtiar kita bersama. Amien.

Bunga Bangkai tinggi 2 meter  hidup subur di nagari Sulit Air

Sumber: segudang-cerita-tua.blogspot.com

Monday, 17 November 2014

Penginjil dari Ranah Minang (1927-2012)

Suatu hari di awal Ramadhan lalu, ambotercenung di depan tumpukan buku di toko buku Gramedia Palembang. Di tangan amboada sebuah buku berjudul "Dari Subuh hingga Malam: Perjalanan Seorang Putri Minang Mencari Jalan Kebenaran" karangan Abdul Wadud Karim Amrullah. Penerbitnya adalah BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Nama si pengarang mengingatkan ambokepada trah keluarga besar Haji Rasul atau Inyiak De-Er (DR, maksudnya Doktor) alias Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, yang tak lain adalah bapak dari Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Tapi terasa ganjiakarena setau ambo BPK itu adalah penerbit buku-buku kristen. Dan memang, setelah membaca sepintas barulah ambotercenung dan sedikit shock karena bukunya berisi tentang testimoni si pengarang tentang kisah hidupnya dalam memperoleh iman kristen dan menjadi penginjil di Amerika (!).

Hal yang pertama terlintas dalam benakambo adalah: Apa benar pengarang buku ini adik Buya HAMKA? Jangan-jangan hanya mencatut nama biar terkenal. Di dunia ini apa saja dikerjakan orang. Batinambo seolah tak rela jika darah para ulama besar tercemar dengan terbitnya buku ini.

Jawabannya datang secara tak sengaja di akhir Ramadhan dari sebuah buku yangambo beli di Bukittinggi ketika pulang mudik. Bukunya dikarang oleh salah seorang putra Buya HAMKA, Irfan, dan berjudul "Ayah....Kisah Buya Hamka" terbitan RepublikaPenerbit tahun 2013. Didalam buku itu dicantumkan ranji silsilah keluarga besar Haji Rasul. Dan guess what,  nama Abdul Wadud memang terdapat didalamnya! Bahkan di bagian meninggalnya Buya Hamka juga ditulis Pak Irfan bahwa "Pamanku, Abdul Wadud dan anak istrinya yang baru datang dari Amerika pun turut sibuk juga menyambut pelayat." Klop. Confirmed. Ternyata pendeta itu memang adik Buya Hamka. Rupanya memang benar apa kata orang bijak: tidak ada yang tidak mungkin dibawah matahari.

Pertanyaan lain muncul: Kok bisa? Pertanyaan selanjutnya: Apakah Buya Hamka tahu? Selanjutnya lagi: Terus kalau tahu apa tanggapan Buya?.

Jawaban pertanyaan pertama kita cari di dalam buku Pak Abdul Wadud. Ia lahir di Kampung Kubu, Sungai Batang, Maninjau, tgl. 7 Juni 1927 sebagai anak tunggal dari istri ketiga Haji Rasul yaitu Siti Hindun. Sedangkan Buya Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara hasil pernikahan Haji Rasul dengan istri keduanya Siti Shafiah. Artinya Abdul Wadud adalah adik tiri seayah dari Buya Hamka. Perlu juga dicatat bahwa pernikahan ayah mereka dengan ketiga istrinya itu tidak dalam masa yang sama. Artinya Haji Rasul tidak berpoligami. Jarak umur antara Buya Hamka dan Abdul Wadud adalah 19 tahun.

Abdul Wadud menghabiskan masa kecilnya di Maninjau. Sebagaimana anak-anak Minangkabau lainnya, waktu kecil ia pergi ke surau di kampungnya dan pergi sekolah agama di Padang Panjang yang dikelola oleh murid-murid ayahnya. Selanjutnya ia meninggalkan Minangkabau pada 8 Agustus 1941 bersama ayahnya menuju tempat pembuangan ayahnya di Sukabumi.

Abdul Wadud Karim Amrullah
Selepas kematian ayahnya pada 1945, Abdul Wadud berangkat ke Rotterdam dengan bekerja sebagai tukang binatu di kapal MS Willem Ruys yang berangkat dari Tanjung Priok pada Februari 1949. Selanjutnya ia meneruskan petualangan ke Amerika Serikat dan Amerika Selatan pada 1950 sebelum akhirnya memutuskan untuk menetap di San Francisco, California.

Di California Abdul Wadud mendirikan IMI (Ikatan Masyarakat Indonesia) tahun 1962. Kemudian ia menikah dengan Vera Ellen George, seorang gadis Indo, pada tgl. 6 Juni 1970 dan belakangan dikarunia 3 orang anak. Ia juga aktif dalam kegiatan Islamic Center yang dikelola oleh para imigran Islam dari Indonesia dan negara-negara Islam lainnya di Los Angeles.

Pada tahun 1977 keluarga ini kembali ke Indonesia dan bekerja di biro perjalanan milik Hasjim Ning di Bali. Pada saat bisnis mereka bermasalah, istrinya yang muallaf kembali diajak teman-temannya untuk pergi ke gereja. Tidak itu saja, sang istri juga mengajak si suami untuk turut serta. Akibatnya mereka sering bertengkar hebat.

Namun lambat laun pertahanan Abdul Wadud bobol juga. Tahun 1981 ia setuju mengikuti agama istrinya. Tahun 1983 ia dibaptis sebagai “anak Yesus” oleh Pendeta Gereja Baptis Gerard Pinkston di Kebayoran Baru. Selanjutnya ia kembali ke AS tahun itu juga, menyusul istri dan anak-anaknya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Indonesia. Tidak lama kemudian Abdul Wadud ditasbihkan menjadi pendeta di Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di California. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Pendeta Willy Amrull.

Untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga, konon Buya Hamka tahu bahwa adik tirinya itu telah masuk Kristen dari laporan anaknya Rusydi Hamka yang baru pulang dari Amerika yang melihat bahwa Pak Eteknya itu membuat tanda salib sebelum makan. Setidaknya demikian yang disampaikan Irfan Hamka kepada seorang penanya. Selanjutnya Buya Hamka berpesan agar anak-anaknya jangan sampai mengikuti langkah yang sudah ditempuh si Pak Etek.

Namun demikian ada sedikit ganjalan bagi ambo dalam hal ini. Kalau dilihat daritime frame kejadian, Buya Hamka meninggal dunia pada tahun 1981. Sedangkan Abdul Wadud baru dibaptis -menurut bukunya- pada tahun 1983. Ada sesuatu yang tidak cocok dari segi waktu jika dianggap Buya Hamka telah tahu soal ini. Ditambah lagi sepertinya hubungan antara keluarga kakak-adik ini tetap berlangsung baik. Buktinya pada saat Buya Hamka meninggal, Abdul Wadud dan keluarganya datang dan bertindak selaku tuan rumah, sebagaimana dimuat dalam buku Pak Irfan. Sebab biasanya orang yang sudah bertukar agama, agama apapun itu, akan dikucilkan oleh keluarganya. Jadi menurut ambo kemungkinan ada data dan kejadian yang tidak sinkron dalam hal ini. Meskipun begitu,  kebenarannya  tentu hanya diketahui oleh pihak keluarga Buya Hamka sendiri.

Didalam bukunya ini Abdul Wadud alias Pendeta Willy juga mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan. Masih ingat kasus Wawah? Tahun 1998 Ranah Minang buncah ketika seorang siswi MAN 2 Padang diculik, dibuka jilbabnya, dibaptis dan (maaf) diperkosa. Selanjutnya setelah semuanya terbongkar, yang diadili hanyalah tuduhan perkosaan saja. Sedangkan penculikan dan pemaksaan pindah agama tidak ikut didakwakan. Pihak Gereja GPIB Padang yang berdasarkan pengakuan Wawah disangkakan terlibat dalam hal ini, menolak keterlibatannya. Pihak gereja juga membantah keberadaan seorang pendeta yang membaptis Wawah. Namanya Pendeta Willy.

Melalui buku ini,  sosok Pendeta Willy dalam kasus Wawah yang sebelumnya kabur menjadi terang benderang. Memang benar ada yang bernama pendeta Willy dalam kasus itu. Dituliskan bahwa pada tahun 1996 Pendeta Willy Amrull, dengan dukungan lembaga misionaris di Amerika, mulai aktif menyebarkan agama Kristen di Minangkabau. Ia dan para pengikutnya berbasis di Jalan Batang Lembang (daerah Padang Baru) dan di Parak Gadang, Padang. Pendeta Willy Amrull merekrut anak-anak muda Minang, khususnya dari golongan ekonomi lemah, untuk dialihimankan menjadi orang Kristen. Ia menyebutnya sebagai proses “pemuridan”. Diantara tangan kanannya yang terkemuka adalah Yanuardi dan Salmon yang belakangan juga ikut tersangkut kasus Wawah. Akibat kasus Wawah juga, dituliskan bahwa Pendeta Willy Amrul menjadi takut datang ke Ranah Minang lagi.

Pendeta Willy Amrull meninggal tgl. 25 Maret 2012 di Los Angeles, tak lama setelah bukunya ini terbit. Ia telah meninggalkan catatan tertulis tentang sesuatu hal yang dianggap aib besar bagi orang Minang: meninggalkan Islam. Buku ini juga memberi peringatan kepada kita bahwa soal kristenisasi di Ranah Minang bukanlah hantu di siang bolong. Bukan sekedar kabar pertakut. Bukan pulaphobia. Tetapi memang nyata dan sistematis. Adik Buya Hamka ini adalah contohnya. Semoga kita, keluarga kita dan semua teman serta karib kerabat kita tidak ikut terjebak. 

(Sumber: lilinkecil.com; republikapenerbit.co.id; niadilova.blogdetik.com; rantaunet@googlegroups.com

Friday, 14 November 2014

Gunung Papan lambang negara ada di Sulit Air


Red Mountain At West Sumatra
          Jika yang sudah lama tinggal di Minang Kabau atau kab Solok lingkup kecil nya, sedikit banyak nya pasti mengenal atau mendengar nagari Sulit Air. Padahal letak nya cukup jauh dari kota Padang sekitar 96 km melewati kota Solok, melewati nagari Aripan masih 18km lagi atau melalui pinggir jalan danau Singkarak arah Ombilin harus naik lagi 16 km lagi ke nagari yang berada di kec.X koto diatas ini. Apa yang bisa di banggakan dari negeri yang tanah nya kata orang dahulu banyak yang tandus dan gersang ini ? kalau untuk bertani mungkin untuk kebutuhan warga masih mencukupi, tetapi panen yang lebih baik dari itu butuh solusi nyata & gebrakan massal. Tidak heran masyarakat perantau nya ada dimana-mana.

         Tetapi disamping itu hal yang lebih utama dan kebanggaan bagi nagari Suliek Aie memiliki sebuah gunung penyatu seluruh elemen masyarakat, yakni Gunung merah-putih atau juga disebut Gunung Papan. Di negeri ini pula telah membuat dia terkenal dimana-mana karena keberadaan sebuah organisasi terbesar perantauan Minang berasal, yakni dinamakan organisasi SAS (Sulit Air Sepakat) yang berpusat di jalan Saharjo Jaksel dan tersebar kurang lebih 80 cabang perantauan sampai ke LN.

         Gunung Papan atau gunung merah yang terdapat tanah merah diatas nya dan tanah / kapur putih berada disamping nya, sungguh yang melihat takjub akan kebesaran Allah swt. Segala sesuatu yang diciptakan Nya,diwakili oleh nagari Sulit Air dimana  melambangkan sebagai simbol bendera bangsa Indonesia yakni berani dan suci. MasyaAllah, sang pencipta bumi & langit, selaras nya warna merah-putih juga nyata telah menyatukan Nusantara ini sepanjang 5000 km dari barat ke timur.

         Ketika yang baru pertama kali menuju ke nagari Suliek Aie, akan disambut dengan hawa yang sejuk. Kadang walaupun panas tapi terasa adem dikulit. Nagari ini luas nya 80km persegi dengan segala sumber wisata, kalau di optimalkan bisa menjadi devisa yang menguntungkan. Disamping wisata Gunung Papan juga ada rumah gadang Dalimo Panjang 20 ruang, konon terpanjang ke dua di Sumatera Barat setelah rumah gadang 21 ruang Salajang kudo balari nagari Abai Sangir-Solok Selatan. Bahkan nagari 13 jorong ini dikelilingi oleh lurah atau curug yang punya potensi wisata kalau diberdayakan masing-masing jorong, sebut saja ada lurah talago biru dijorong Talago laweh, ada lurah timbulun di jorong Rawang, juga ada lurah sarosa di jorong Siaru.

          Dari pusat kota nagari Sulit Air  bernama Jorong Koto Gadang , akan berjalan sekitar 3 km lagi munuju kaki Gunung Papan. Dimana nanti nya melewati jembatan titi bagonjong belok kekiri arah Masjid Raya Silungkang terus ikuti jalan sampai dipersimpangan Siaru baru belok kanan, dari simpang berjalan kira-kira 500 meter lagi. Sampai dikaki gunung dipermudah dengan ada nya tangga yang dinamakan Jonjang saribu, dimana diberi nama awal nya oleh (alm) H.Rainal Rais pada tahun1989, walau kenyataan nya saat ini sudah ada 1200 anak tangga. Untuk menaikinya tidak perlu pakai pemandu asal hati-hati, karena anak tangga nya sudah pakai pagar tetapi ada sebagian yang belum. Bagi yang punya kendaraan roda dua, juga bisa menaiki nya dari jalan samping tapi harus berhati-hati, lebih baik rasa nya jalan kaki sekalian olahraga. Konon kabar nya tidak lama lagi dan masih dalam perencanaan mencontoh siger rumah adat Lampung di Bakauhuni,  akan dipasang menara siger yakni plang bernama SULIT AIR.

          Sebenar nya melihat dari ukuran geografi (benar atau tidak) belum pantas disebut gunung karena batas ketinggian disebut gunung adalah 1000 dpl, entah mengapa mungkin lebih heboh aja kali. Sampai diatas juga ada sebuah  gua yang menghadap ke danau singkarak yang terlihat jelas dari atas serta bukit barisan bertautan dengan gagah nya. Waktu kunjungan lebih enak di hari sabtu dan minggu lebih ramai dari biasanya, apalagi waktu setelah hari lebaran idul fitri. Tiket masuk pun sekedar nya saja, karena dari uang tiket/infak lah warga disana merawat - menjaga anak tangga dan lingkungan. Semoga dengan menikmati keragaman & keindahan ciptaan Allah swt membuat kita lebih tunduk & dekat lagi pada Nya. Amin.
wisata.kompasiana.com/.../gunung-merah-lambang-negara-                                                       

                                                                  ------ sekian ------

Thursday, 13 November 2014

Hj. Alex Suryani Walinagari perempuan Sulit Air

         
          Tepat tanggal 1 November 2014 kemaren dilansungkan Pilwali nagari Sulit air, ibu Alex Suryani dengan meyakinkan meraih 36% suara - terbanyak dari 4 kandidat calon . Bulan ini genap umur ibu Alex 53 tahun, mungkin ini adalah sebagai puncak karir beliau dan juga sebagai pengabdian kepada nagari. Wanita yang hampir 15 tahun sudah menetap dikampung halaman ini, sudah mencoba beberapa upaya untuk menapak karir lebih baik lagi.

          Sempat dua kali ikut menjadi caleg partai Demokrat pada tahun 2009 dan ikut caleg partai PPP tahun 2014, nyata nya kharisma beliau belum bisa meyakinkan suara rakyat di kec X koto diatas dan sekitar nya. Untung naluri ke-ibuan nya tidak memiliki sifat putus asa, bahkan ketika sebelum nya (H.Firdaus Kahar) suami beliau masuk penjara karena gugatan pembukuan nagari yang tidak jelas dengan yakin nya ikut serta mencalonkan pilwali Sulit Air pada tahun 2008, namun waktu itu hanya menduduki runner up atau kalah lebih kurang 92 suara. Impian sang bunda pun tertunda dan kembali berkarir sebagai guru bahasa inggris di SD 4 hybrida (unggulan) di Koto tuo.

          Orang-orang memanggil biasa nya dengan sebutan ibu Alex, mungkin dengan amanah baru sekarang sedikit bertambah jadi ibu wali. Dalam riwayat keluarga Ibu Alex Suryani memiliki empat saudara, tapi yang masih hidup tinggal dua orang  yakni ibu Sugiarti (Jakarta) dan satu orang lagi kakak beliau berada dikampung yakni bapak Ujang Rustam alias Ujang Masa. Orangtua beliau asli Sulit Air dimana ibu (alm) Hj.Rohana saad bersuku Limo singkek 8 dan ayah (alm) H.Marsidin Thaib bersuku Limo panjang. Suami beliau  adalah H.Firdaus Kaharudin Bujang Sati, merupakan wali nagari Sulit Air periode 2003-2007, serta memiliki satu anak bernama Alfina Saura yang saat ini masih kuliah di kampus Unand Padang.

          Ibu Alex Suryani dulu nya sempat belajar di SMA Don Bosco padang, dilanjutkan dengan mengambil sekolah bahasa asing ABA Prayoga diteruskan juga mengambil titel sarjana di Universitas negeri Padang. Rumah nya yang sederhana berada di jl.Gedung Timbar - Balai Lamo merangkap juga sebagai kantor Cv. usaha kontraktor suami beliau. Hal ini tentu memudahkan masyarakat untuk berinteraksi lebih dekat lagi. Ibu Alex Suryani mungkin adalah wali nagari perempuan kedua di Sumatera Barat setelah ibu Jurniwati wali nagari Tigo balai, kab Agam (koreksi jika salah). Halangan dan tantangan menembus birokrasi yang biasa nya dipegang oleh kaum pria menjadi "PR" tersendiri, tentu nya mulai hari terpilih nya semua tidak ada lagi perbedaan dan suara sumbang yang ada adalah sokongan menuntun menuju kebersamaan dan keadilan semua warga.

          Semoga terpilih nya beliau selama masa tugas enam tahun kedepan sampai 2020, bisa membawa masyarakat  kepada nagari yang menjunjung tinggi nilai Islam dan budaya Adat Minagkabau. Selain itu wali nagari bisa membuktikan transparansi keuangan dan sumber daya alam yang ada di nagari bisa menjadi kemajuan untuk seluruh mayasarakat tanpa diskriminasi terhadap sekleompok warga. Disamping itu berharap banyak bisa membawa keharmonisan terhadap lembaga Tigo Tungku Sajarangan yang damai, jauh dari bala sengketa. Kedepan nya juga dapat menfasilitasi keberadaan organisasi SAS dan IPPSA untuk bersinergi kepada Nagari Sulit Air. Semoga tercapai. Aamiin.

Bersama anak semata wayang Saura Alfina
Menunaikan ibadah Haji Bersama suami H.Firdaus Kahar

                                                        
Bersama (Alm) H.Rainal rais di rumah Jl. Kemang - Jaksel
                                                  ---- Sekian ----                                                            

Wednesday, 12 November 2014

Generasi IPPSA dari masa ke masa

          Organisasi IPPSA (ikatan pemuda pelajar sulit air) sebuah wadah perantauan yang telah lama berdiri semenjak tahun 1951, berawal dari kepedulian (alm) Darussalam Dt. Samarajo yang pada tahun itu beliau menjabat sebagai Kadin. pendidikan, pengajaran & kebudayaan kab.Solok. Beliaulah yang memanggil beberapa pelajar Sulit Air yang waktu belajar di SMP dan SMA Solok diantara nya Martunus tunut, Chainaris ns, Musmar st.Mangkuto, Misbah jalin, Lukman Muman, Raslaini Taher, Harun AlRasyid, Syahrudin Kasim, Jurnalis Jalins, asnida Taher, Nurhayati Miin Syafni Djalibs dll.
         
          Muncul nya wadah IPPSA waktu itu disambut hangat oleh para pelajar anak sekolah yg bermukim diluar Sulit Air, baik itu di Solok, Padang Panjang, Bukit Tinggi, Padang serta Jogyakarta. Memang awal nya berdiri tidak banyak berbuat, dimana masa itu masih suasan lepas merdeka dan serba kekurangan. Tetapi dengan semangat senasib separasaian,saling berbagi dan niat selalu belajar ilmu, serta dibarengi dengan prinsip bahwa nasib bisa dirubah dengan berusaha keras dan giat dengan pendidikan yang baik. Melihat gigih perjuangan para perintis dan awal berdiri nya, boleh disebut IPPSA ini termasuk organisasi pemuda perantau minang tertua yang masih eksis saat ini. Terakhir dalam data rapimnas IPPSA di Puncak jawa barat bulan desember 2014, hadir 24 cabang IPPSA seluruh Indonesia.
Hymne yang harus dinyanyikan setiap ada pertemuan atau perkumpulan besar IPPSA
          Setelah 63 tahun berlalu keberadaan IPPSA lebih kepada penyatu, wadah berkumpul nya generasi muda-mudi Sulit Air perantauan dengan dibarengi kegiatan yang positif. Organisasi IPPSA bagian tidak terpisahkan dalam kemajuan nagari Sulit Air, banyak orang sukses berawal dari sini. Dalam perjalanan nya organisasi ini dalam keterbatasan tetap mampu besinergi dan hidup melembagakan organisasi ini tetap didalam jalur nya. 

          Dimana bisa mengeksplorasi kemampuan muda-mudi anak nagari baik di perantauan ataupun di dikampung halaman minimal menggairahkan semangat untuk selalu ingat kampung halaman. Syarat dalam ad/rt IPPSA adalah berumur 12 tahun maksimal 33 tahun dan belum menikah menjadikan nya tetap organisasi independen sosial namun berlindung dalam wadah SAS yang sudah duluan terdaftar di kemendagri. Semoga tetap eksis dan selalu bangga akan kampung halaman yang beradat dan Islami ini, InsyaAllah .

                                             Senarai Ketua Umum DPP IPPSA

No.                      Tahun periode                                 Nama                                      Suku

 1.                       1951-1952                              Martunus Tunut                              Limo Singkek
 2.                       1952-1953                              Aidit Alwie                                       Simabur
 3.                       1953-1954                              Abdul Karim Saleh                          Limo Singkek
 4.                       1954-1957                              Syahrudin Kasim                            Limo Singkek
 5.                       1957-1958                              Sofyan Hasan                                 Limo Singkek

 6.                       1958-1962                              Vakum - (Era PRRI)                         ----
 7.                       1962-1964                              Rozali Usman                                 Limo Singkek
 8.                            -----                                    Musmar Mu'in                                Limo Singkek
 9.                       1964-1967                              Zulfikar Yusuf Ahmad                     Limo Singkek
10.                      1967-1970                              Nur Akhsar                                     Limo Singkek

11.                      1970-1973                             Syarman Syam                                 Limo Singkek
12.                             --                                     Rainal Rais                                      Limo Singkek
13.                      1973-1975                             Helmy Panuh                                   Simabur
14.                      1975-1977                               - sda -                                           Simabur
15.                      1977-1979                               - sda -                                           Simabur

16.                      1979-1981                             Bungkarmen Durin                          Limo Panjang
17.                      1981-1984                             Shahrizal Darwin                             Limo Panjang
18.                      1984-1986                             Rismun Rais                                    Simabur
19.                      1986-1988                             Syafrizal Anas                                  Piliang
20.                      1988-1990                             Afrizal Nurlian                                  Simabur

21.                      1990-1993                             Edi Sofyan                                        Limo Panjang
22.                      1993-1995                             Raymon Rais                                   Simabur
23.                      1995-1998                             Reyzon Rais                                    Simabur
24.                      1998-2000                             Nasrullah Yahya                               Limo Panjang
25.                      2000-2001                             Yarsid Efendi                                    Limo Singkek

26.                      2001-2003                             Mediyanto                                        Limo singkek
27.                      2003-2005                             Bismar Y. Sudirman                         Limo Panjang
28.                      2005-2007                             Agus Saputra                                   Limo Singkek
29.                      2007-2009                             M.Firaldi Akbar                                 Limo Panjang
30.                      2009-2011                             Wahyu Fernando                             Simabur

31.                      2011-2013                             Wahyu Fernando                              Simabur
32.                      2013-2015                             Taufik Akbar                                     Simabur    
33.                      2015-2017                             Taufik Akbar                                     Simabur                     
                                          
Sumber: Buku sejarah IPPSA (Syafrizal Anas)
 ----  Sekian  ----