Monday, 14 December 2015

12 Peristiwa Penting Nagari Suliek Ayie ( Bag-III )

7. 24 APRIL 1957, (Musyawarah Akbar Nagari)

Adalah tanggal dibukanya Konperensi Negeri Tradisionil V di Sulit Air yang diselenggarakan oleh “Pusat Organisasi Warganegeri Sulit Air (POWSA) yang berlangsung sampai tanggal 8 Mei 1957. Dimulai tgl 24 Ramadhan 1376 dan baru berakhir pada tgl 4 Syawal 1376. Konperensi tsb dihadiri oleh tokoh- tokoh Sulit Air masa itu dan ikut memberikan buah pikiran sesuai dengan bidangnya masing-masing, yakni HZA Ahmad (Pertambangan di Sulit Air); Ramawi Izhar, cucu Ongku Palo Gaek, Komisaris Dewan Banteng (Mambangkik Batang Tarandam, Menilai Harta Terpendam); Rasyidin Rasyad Ms (Meninjau Sulit Air Masa Kini dan Masa Datang); IAL Dt. Nan Sati (Badan Pembangunan Negeri Sulit Air); Mawardy Djalins (Neraca Pelajar Sulit Air Tahun 1957); Djamaluddin Tambam (Tinjauan Kemakmuran Sulit Air di Masa Datang); Kahar Thaher (Koperasi Pertanian Cengkeh); M. Salim Amany (Pendidikan Agama di Sulit Air), Adat, pendidikan & beasiswa, AD/ART POWSA, diakhiri Shalat Idul Fitri, pertandingan sepakbola di Lapangan Koto Tuo, Malam Gembira dan Resepsi Halal bi Halal bi Halal. 

Dalam suratkabat Haluan, Padang, tgl 9/5/1957, saya baca berita berjudul “Sulit Air Bentuk Yayasan Pencinta Negara, Perluas Pintu Perkawinan Dengan Menambah Suku”. Diberitakan, dalam konperensi yang dihadiri Bupati Solok Nurdin Dt. Majo Sati itu, diputuskan untuk mencari kemungkinan pembukaan tambang Timbulun diserahkan kepada Yayasan Pencinta Negara yang diketuai HZA Ahmad, memperluas pintu perkawinan dengan menambah jumlah suku di Sulit Air menjadi 15 suku, yang diharapkan segera dapat diputuskan oleh Kerapatan Adat Sulit Air. Dibentuk “Pusat Organisasi Sulit Air” (POWSA) di Jakarta dg Ketum HZA Ahmad, Ketua I M. Jusuf Ahmad, Ketua II Wali Nagari Salim Thaib, Panitera I AA Dt. Pamuncak, Panitera II A. Dt. Sutan Malano, Bendahara I Djamaluddin Tambam dan Bendahara II Darusalam Dt. Samarajo. Pembantu Umum Dali Mutiara dan Nurdin Dt. Majo Sati dan 5 orang penasehat (Mr. Dt. Jamin, Adinegoro, Riva’i Yunus, Camat X Koto Diatas dan Rohana Djamil). 

Program pembangunan ekonomi rakyat akan diserahkan kepada suatu Panitia Khusus. Rohana Djamil ZA Ahmad dalam tulisannya berjudul “Pembangunan Negeri Yang Sambung Bersambung” mengatakan:
“Konperensi Tradisional V telah menelorkan suatu hasil yang besar, ialah berdirinya suatu organisasi yang besar, yang meliputi seluruh warga negeri , baik yang di rantau maupun yang dikampung. Organisasi itu bernama POWSA, singkatan Persatuan Organisasi2 dan Warga Negeri Sulit Air. Konperensi ini telah mengambil langkah2 penting di dalam segala kebutuhan hidup dan penghidupan, meliputi 7 bidang, yakni Pemerintahan, Pembangunan, Ekonomi, Pendidikan dan Agama, Adat, Sosial dan Keamanan dan Umum”. 

Selanjutnya disebutkan rincian ketujuh bidang tsb. Kita patut mencatat konperensi ini sebagai salahsatu peristiwa penting dan besar dalam Sejarah Sulit Air. Inilah buat pertama kalinya masyarakat Sulit Air mengadakan suatu pertemuan besar yang disebut konperensi, dengan susunan acara, tempat, waktu dan pembicara yang demikian tertib dan teratur, bagai layaknya organisasi modern. Hebatnya lagi, kebanyakan pembicara telah menyerahkan bahan2 tertulis hingga semua terdokumentir dengan baik dan dibukukan dengan cetakan yang bagus. Dalam buku itu terdapat berbagai iklan perusahaan-perusahaan warga Sulit Air dan Ucapan Selamat Idul Fitri dari berbagai perusahaan milik warga Sulit Air pada masa itu. 

Saya pandang buku ini mencatat suatu peristiwa yang bernilai historis. Yang mungkin tidak terkalahkan oleh organisasi manapun pada masa sekarang ini, konperensi itu berlangsung selama 8 hari, siang dari pukul 09.30 s/d 14.00 dan malam pukul 21,00 s/d 24.00 (sesudah shalat Tarawih), maklum diadakan dalam suasana puasa dan lebaran. Konperensi tsb disebut sebagai yang ke-5, karena konperensi-konperensi sebelumnya, yakni yang ke- 1 s/d ke-4, yang berlangsung sejak tahun 1935 (kecuali Masa Jepang dan Revolusi Fisik), hanya berupa rapat-rapat biasa atau musyawarah-ceramah dagang, yang dikoordinir oleh Alwin Dt. Sutan Malano bersama Wali Nagari Sulit Air, pada setiap bulan puasa, belum tertib dan belum terorganisir secara baik. Maka penyelenggaraan konperensi tsb merupakan lompatan kemajuan dan salahsatu tonggak perjalanan sejarah Sulit Air yang perlu diketahui dan diwarisi semangatnya oleh generasi muda Sulit Air.

8. 17 Agustus 1971, (Menjadi Nagari Terbaik).

Atraksi Seni dalam acara pembukaan MTQ se-Kab Solok di Lap Koto Tuo
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud menetapkan Sulit Air sebagai desa terbaik Sumatera Barat 1971, baik untuk tingkat Kabupaten Solok maupun untuk tingkat Provinsi Sumatera Barat. Ada 620 desa di Sumatera Barat yang diperlombakan, meliputi rencana dan pelaksanaan proyek pembangunan, jalannya pemerintahan, administrasi, kesehatan, pertanian, agama, pendidikan, keamanan dan lain-lain. Sebagai juara pertama, pemerintah memberi hadiah sebesar Rp 590.000,- kepada Sulit Air . Uang sebesar itu oleh Wali Nagari Nasrullah Salim Dt. Polong Kayo SH dengan persetujuan DPRN Sulit Air digunakan untuk pembuatan irigasi Rambun Gando (Rp 100.000,-), penyelesaian Kantor Wali Nagari Sulit Air (Rp 190.000,-) dan pembuatan jalan Sulit Air – Talawi (Rp 300.000,-).

Tanggal 17 Agustus 1971 ini pun layak kita catat sebagai salahsatu tonggak penting dalan sejarah Sulit Air. Solok dan Payakumbuh merujuk hari jadinya dari tanggal dan tahun SK Mendagri Amir Machmud yang meningkatkan status kedua kota itu menjadi kotamadya. Maka Sulit Air pun dapat menjadikan tanggal dan tahun SK Mendagri Amir Machmud yang menetapkan Sulit Air sebagai desa terbaik di Sumatera Barat yakni tanggal 17 Agustus 1971 sebagai Hari Jadi Sulit Air, jika kita mau. Tujuannya untuk membangkitkan semangat juang anak nagari dengan mengabadikan suatu kenangan atas prestasi yang pernah dicapai untuk dapat terjadi lagi, yakni sebagai nagari terbaik di Sumatera Barat.

9. 7 Desember 1972, (SAS & KAN Polemik Pernikahan Satu Suku)
Musyawarah para Datuk-Datuk melengkapi peradaban Nagari
Adalah tanggal ditetapkannya Keputusan “Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sulit Air” tentang Perluasan Pintu Perkawinan bagi Warga Sulit Air. Keputusan tsb diambil sebagai jawaban KAN Sulit Air atas prasaran “Perbanyakan Suku, Suatu Partisipasi Adat Dalam Pembinaan Orde Pembangunan di Sulit Air”, yang disampaikan oleh Team Ketua DPP SAS (Rozali Usman, Kaharuddin Saleh Bujang Sati, H. Ny. Rosma Rais dan H. Djamaluddin Tambam) yang disampaikan dalam Sidang Istimewa KAN Sulit Air tanggal 7 September 1072. Dalam sidang istimewa tsb, DPP SAS pada pokoknya minta kepada KAN Sulit Air, agar 4 suku di Sulit Air (Limo Panjang, Limo Singkek, Simabur dan Piliang) diperluas (dimekarkan) menjadi 15 suku, sesuai dengan jumlah datuk (penghulu) nyinyiek di Sulit Air. 

Alasan permintaan tsb banyak sekali. Namun yang terpenting adalah dengan diperbanyaknya suku, maka pernikahan antara sesama warga Sulit Air akan semakin terbuka luas, disebabkan banyaknya pilihan jodoh. Dari 3 anggota suku yang dapat dikawini menjadi 14 anggota suku (yakni orang-orang di luar suku sendiri). KAN diberi waktu 3 bulan untuk membahas dan memutuskan permintaan DPP SAS itu. Dalam waktu selama 3 bulan itu, timbullah kehebohan dan kegaduhan yang luar biasa dalam masyarakat Sulit Air. Ini tergambar dari pemberitaan Suara SAS No. 04/1972 antara lain sebagai berikut: “Di berbagai tempat perdebatan tsb telah berlangsung sedemikian rupa, hingga dapat menimbulkan terundangnya ketegangan2 dan ucapan2 yang bersifat negatif, perkataan2 yang berbau fitnah serta isyu2 yang tidak sedap. Lebih2 di Sulit Air sendiri , suhu perdebatan telah berada pada tingkat yang demikian panas. 

Dari kalangan mereka yang beroposisi dengan DPP SAS telah dimuntahkan ucapan2 yang ‘over emotional’ bahwa bila suku diperbanyak akan berhenti menjadi penghulu, akan merombak rumahgadang, bahkan ada yang akan membakarnya, malah ada yang akan bergantung di Pangka Titi. Sebaliknya dari kalangan yang membela prasaran DPP SAS, hampir pula ada yang akan melakukan penempelengan dan pengejaran terhadap oknum2 yang sudah terlalu ‘over acting’ dalam mencuci maki prasaran”. Dalam suasana perbedaan pendapat pro-kontra yang demikian tajam dan perdebatan yang demikian lama serta berlarut-larut memakan waktu 3 bulan, akhirnya dapat dipahami lahirnya Keputusan 7 Desember 1972 yang kompromistis namun aneh dan membingungkan. Butir ke-2 keputusan tsb menyebutkan : membolehkan/membenarkan perkawinan antara warga Sulit Air yang berlainan Datuk Ninik dalam persukuannya secara adat di perantauan dan tidak akan dituntut secara adat. 

Keputusan tsb ditetapkan oleh 17 anggota perumus atas penunjukan KAN, yakni AB Dt. Bagindo Rajo, NS Dt. Polong Kayo, MY Dt. Endah Bongsu, R. Dt. Tan Aceh, R, Dt. Rajo Putih, Sy. Dt. Rajo Alam, Is. Dt. Malakomo, H. Dt. Majo Bosa, Y. Dt. Permato Kayo, Y. Dt. Perhimpunan, Z. Dt. Paduko Rajo Lelo, K. Malin Marajo, Darwis Damin, M. Tamim, Zainuddin Rasyad, Tamim Pakih Mudo, dan Nadirsyah. Keputusan ini oleh sebagian masyarakat dirasakan aneh, diskriminatif dan tidak adil, karena Kerapatan Adat Nagari memperbolehkan warganya kawin dengan orang yang satu suku dengan ybs tapi hanya bagi warga perantauan.

Walau dengan embel-embel berlainan datuk ninik, tetap saja disebut kawin se-suku, yang bertentangan dengan pilar utama adat Minangkabau. Dalam adat Minang, kawin harus ke luar suku (exogami), tidak boleh dengan orang-orang yang satu suku (endogami). Kalau penduduk suatu negeri sudah semakin banyak, maka adat memperbolehkan suku itu ditambah atau dimekarkan, sesuai dengan musyawarah dan hasil kesepakatan para penghulu di dalam kerapatan adat. Banyak negeri di luar Sulit Air, yang jauh lebih kecil penduduknya dibandingkan Sulit Air, yang pada masa itu mempunyai lebih dari 4 suku, seperti Cupak, Pianggu dan Koto Hilalang (5 suku); Singkarak, Enam Suku dan Tarung-tarung (6 suku); Selayo (7 suku) dan seterusnya. Mengingat demikian banyaknya penduduk Sulit Air, maka wajar sekali bila Sulit Air memiliki 15 suku. Apalagi menurut tambo, Sulit Air itu dulu memang pernah memiliki 15 suku, sesuai dengan jumlah 15 kelompok orang satu Datuk Ninik yang terdapat dalam masyarakat Sulit Air, sampai sekarang.

Mengapa bukan solusi 15 suku itu yang diambil? Bukankah hal itu sudah diputuskan dalam Konperensi Tradisionil V Tahun 1957, seperti dapat dibaca dan dijadikan kepala berita oleh suratkabar HaLuan, Padang, tanggal 9 Mei 1957, seperti telah diungkap pada butir 4 di atas? Bahkan sepanjang penelusuran saya, keinginan seperti itu sudah pernah dikemukakan oleh ahli adat Jausa Dt. Majo Bongsu pada rapat-rapat tradisionil bulan puasa di tahun 1935 di Sulit Air, yang kemudian dipopulerkan sebagai Konperensi Tradisionil Sulit Air ke- I. Dengan adanya Keputusan KAN 7 Desember 1972, maka sejarah berjalan mundur, pola 4 suku tetap dipertahankan, hanya diperbolehkan perkawinan antara orang-orang yang berlainan datuk ninik walau satu suku, tapi harus dilaksanakan di perantauan. 

Apa sebab DPP SAS dengan berat hati menerima juga keputusan itu, bahkan merayakannya secara besar-besaran dengan memotong sapi, pesta anak nagari menyantap gulai jawi di Balairungsari dan Medan Nan Bapaneh Balai Lamo? Karena ada dua butir keputusan tsb yang memberi peluang perbanyakan suku tsb akan dapat diwujudkan juga nanti: Pertama, pada konsiderans Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb ada disebutkan bahwa untuk membuat suku baru diperlukan alat perlengkapan suatu suku (seperti urang nan 4 jinih) yang memerlukan persyaratan adat tertentu, waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Dan pada butir ke- 2 disebutkan bahwa belum sependapat dengan perbanyakan suku atau penambahan suku sebagai usaha perluasan pintu perkawinan secara adat. Dan pada butir ke- 3 ditegaskan bahwa warga Sulit Air yang tinggal di kampung (Sulit Air) bila menghendaki pula perkawinan serupa itu, akan dibicarakan lebih mendalam dalam Kerapatan Adat Negeri Sulit Air. 
SAS dalam perjalanan waktu memeberikan pembangunan yang nyata untuk nagari
Maka DPP SAS mencoba menghibur diri dengan menyebut Keputusan KAN 7 Desember 1972 yang telah banyak menguras pikiran, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar ( 3 bulan masa persidangan) sebagai suatu lompatan yang amat penting dalam sejarah Sulit Air. Suatu masa transisi dari pola 4 suku menjadi pola 15 suku. Hingga perlu berjuang terus sampai pola 15 suku tsb dapat segera terwujud dalam masyarakat adat Sulit Air. Terutama dengan maksud mulia untuk memperluas pintu perkawinan bagi putera-puteri Sulit Air. Namun kenyataan tidak seindah impian dan harapan. Sejarah Sulit Air kemudian berbicara lain. Walau pengurus KAN Sulit Air, demikian juga DPP SAS, sudah silih berganti naik ke panggung Sejarah Sulit Air, pola 4 suku tetap berlaku dan pola 15 suku tak pernah terwujud sampai sekarang. 

Tak pernah pula kita dengar, orang melaksanakan pernikahan antar datuk ninik sepersukuan di perantauan dengan merujuk atau memanfaatkan Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb secara formal. Sebabnya, orang merasa perkawinan dengan cara demikian itu masih tetap disebut orang sebagai kawin sesuku, karena sukunya sama. Yang sering terjadi, keinginan orangtua untuk mengawinkan putera-puterinya dengan sesama warga Sulit Air terpaksa tidak dapat diteruskan, karena keduanya berasal dari suku yang sama. Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb sering pula disebut orang sebagai keputusan yang banci, karena kalau dilaksanakan, pelakunya bila lelaki akan menjadi ninik-mamak, namun sekaligus juga menjadi urang sumando di dalam persukuannya, yang bisa jadi olok-olok dalam masyarakat Sulit Air. Kecuali bisa sukunya sudah dimekarkan dan dibuat suku-suku baru berdasarkan keputusan KAN, ini dapat dibenarkan oleh adat Minang, maka tidak dapat lagi disebut kawin sesuku. 

Keputusan 7 Desember 1972, yang menyebutkan belum sependapat dengan perbanyakan suku karena hal tsb memerlukan persyaratan tertentu, waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Artinya, KAN Sulit Air bukan tidak setuju dengan perbanyakan suku, tapi belum waktunya! Adalah menarik untuk mengetahui apa yang terjadi di Sulit Air dua tahun setelah Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb dikeluarkan. Warta berita yang ditulis oleh wali nagari Sulit Air sendiri di dalam majalah “Suara SAS” no.2 Tahun 1975, halaman 19-20, bercerita sebagai berikut: “ Sejak tahun 1974 sampai kini (1975) tercatat perbuatan maksiat (zina) sebanyak 8 kali. Perbuatan ini dilakukan antara mamak dengan kemenakan, mertua dengan menantu, orang-orang satu persukuan, adik dengan ipar, dan lain-lain. Semua pelakunya, begitu diketahui umum, pergi beterbangan menuju perantauan, hingga sangat menyulitkan di dalam penyelesaiannya. Sejauh penelitian yang diadakan, sebab-sebab terjadinya perbuatan terkutuk itu, tidak ada sangkut-pautnya dengan tekanan ekonomi seperti halnya di kota-kota. Tapi lebih banyak karena dorongan kebutuhan sexual (kebutuhan alamiah) yang tidak dapat mereka kekang. Hampir pada setiap kesempatan, Pemerintahan Nagari telah berulang kali meminta perhatian bersama akan banyaknya ‘janda balaki’ (isteri-isteri yang ditinggalkan suaminya pergi merantau bertahun-tahun) di Sulit Air, begitu juga gadis-gadis berumur yang sudah waktunya untuk kawin”. 

Karena dalam berita itu jelas disebut bahwa pelaku perbuatan-perbuatan maksiat (zina) tsb adalah mamak dengan kemenakan, orang-orang sepersukuan, di samping adik dengan ipar, maka penyelesaiannya menjadi amat sulit , bila sebagai solusinya mereka harus dinikahkan. Bagaimana akan menikahkannya, keduanya sesuku, yang terlarang sekali menurut adat, apalagi ini terjadi di Sulit Air. Maka sesuai dengan butir ke-3 Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb, KAN Sulit Air seharusnya segera mengadakan Sidang Istimewa untuk meninjaklanjuti keputusan tsb. Solusi yang paling tepat untuk berbagai kasus maksiat tsb, tiada jalan lain kecuali perbanyakan suku, sesuai dengan prasaran DPP SAS tsb. Namun hal yang ditunggu-tunggu tsb tidak kunjung dan tidak pernah terjadi. 

Sekarang sudah tahun 2015, berarti sejak tahun 1972, sudah 43 tahun! Bila dihitung sejak tahun 1935, sejak pertama kali gagasan itu dicetuskan oleh ahli adat Jausa Dt. Majo Bongsu, berarti sudah 80 tahun! Masih kurang jugakah kasus-kasus maksiat dan waktu untuk menyatakan SUDAH sependapat dengan perbanyakan suku, syarat-syarat apa lagi yang diperlukan? Keadaan masyarakat Sulit Air sekarang sudah seperti tahun 1970-an tsb. Lihat saja facebook di internet pada komputer kita masing-masing, ramai dan heboh anak-anak muda kita warga Sulit Air membicarakan kasus-kasus maksiat dan perihal kawin sesuku tsb. Banyak di antara mereka yang tidak memahami akar permasalahan sesungguhnya, hingga debat berubah menjadi pro adat dan pro syari’at Islam. Dua hal yang sebenarnya tidak perlu dipertentangkan, bila mereka memahami akar dan pokok permasalahan sebenarnya! 

Maka bagi saya Keputusan KAN 7 Desember 1972 ini menjadi salahsatu peristiwa penting dan menghebohkan dalam sejarah Sulit Air yang tidak kunjung juga mendapat solusi dari KAN Sulit Air sampai sekarang. Dia telah menjadi hutang dan beban sejarah bagi KAN Sulit Air secara kelembagaan untuk menuntaskannya. Keputusan KAN tentang dibenarkannya perkawinan antara orang berbeda datuk ninik di dalam persukuannya, tidak satu kali pun terjadi, setidaknya secara formal keadatan sampai sekarang. Artinya keputusan itu tak ada gunanya, telah gagal dalam pelaksanaannya! Risikonya, keputusan tsb sesuai dengan salahsatu bunyi fasalnya, harus ditindaklanjuti atau disempurnakan dengan keputusan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masa sekarang. Apalagi pada masa-masa sesudah keluarnya keputusan tsb, seperti diungkapkan di atas, semakin banyak terjadi kasus kemaksiatan. Semakin kerap kedengaran orang melakukan perkawinan sesuku, tanpa sanksi apapun dari KAN Sulit Air dan masalah kawin sesuku kembali marak dibicarakan oleh generasi muda Sulit Air sekarang. 
Masjid Raya bukti fisik sumbangsih perantau untuk nagari
Selain prasaran, program pembangunan Rumah Sakit Balik Parit dengan sponsor Jamaluddin Tambam pada tahun 1975, pembangunan kembali Mesjid Raya Sulit Air dengan sponsor Yayasan Rozali Usman-Rais Taim (RORA), yang diresmikan oleh Gubernur Sumbar Prof. Drs. Harun Zein pada tgl 26 Februari 1976 (dan beliau nyatakan sebagai mesjid termodern di Sumatra Barat), dan pembangunan lain-lain adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan prasaran perbanyakan suku itu. DPP SAS masa itu menjadikan Persatuan, Pembaharuan, dan Pembangunan sebagai Trilogi Perjuangan-nya. Pembangunan tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik tanpa Pembaharuan dalam arti menyeluruh. Pembaharuan tidak pula dapat diwujudkan dengan baik tanpa Persatuan segenap potensi masyarakat Sulit Air. Maka tgl 7 September 1972 dan berpuncak pada tgl 7 September 1972, patut ditulis sebagai peristiwa penting dalam sejarah Sulit Air dimana DPP SAS mencoba mewujudkan “Trilogi Perjuanghan SAS” tsb. 

(Bersambung)
Sumber: Drs. Hamdullah Salim

--- Sekian ---

Saturday, 5 December 2015

Satu Tahun Pemerintahan Wali Nagari Sulit Air


Tanggal 22 November 2015 yang lalu genaplah satu tahun usianya pemerintahan nagari Sulit Air di bawah Wali Nagari Hj. Alex Suryani S. Pd. Usia satu tahun belum cukup bagi kita untuk memberikan penilaian tentang posisi keberhasilan beliau. Masa bakti beliau masih 5 tahun lagi, yang baru rampung pada tahun 2020 yad. Waktu bagi Bundo Alex (sebutan manis yang disarankan bagi walinagari perempuan dalam diskusi facebook yl bersama HMD Dt. Marah Bangso dan Syamsu Sudirman) masih cukup panjang untuk memperlihatkan kebolehannya. Mengingat itu, dengan melihat prestasi beliau selama satu tahun ini, maka saat yang tepat bagi kita untuk menyampaikan pendapat, penilaian, kritik dan saran2 yang konstruktif, sebagai bagian dari kecintaan kita kepada Sulit Air dan masa depannya.

Perlulah kita sadari, Sulit Air dengan luas 80 kilometer persegi atau 8000 HA atau 80 juta meter persegi, adalah nagari terbesar di seluruh Sumatera Barat. Dari segi luas, Sulit Air itu lebih besar dari Padangpanjang (20 km2), Solok (25 km2), Bukittinggi (25 km2) dan Pariaman (73 km2). Sulit Air sama besar dengan Payakumbuh (80 km2). Bahkan lebih besar daripada beberapa ibukota provinsi seperti Yogyakarta (31 km2), Mataram (61 km2) , Banda Aceh (61 km2) dan Banjarmasin (72km2). Walau penduduknya sekarang hanya sekitar 8.000 jiwa atau sekitar 15% dari seluruh warga Sulit Air, saya kira masih merupakan nagari yang terbanyak penduduknya di antara nagari-nagari lainnya di Minangkabau. Apalagi warga yang 85 % lainnya itu yang berdiam di perantauan, kebanyakan masih mecincai dan merasa dekat dengan Sulit Air, mengikuti terus perkembangan yang terjadi di Sulit Air, pulang dalam waktu tertentu ke Sulit Air, menganggap wali nagari Sulit Air sebagai wali nagarinya juga. Dia tahu siapa wali nagari Sulit Air, tapi mungkin tidak tahu siapa lurah tempat domisilinya se-hari2 di perantauan. Walinagari itu kan setingkat lurah di kota-kota.

Mengingat luasnya Sulit Air itu, seharusnya statusnya tidak lagi nagari tapi Kecamatan Sulit Air, yang terdiri dari 13 nagari, yakni 13 jorong yang ada sekarang ini, yang bisa ditambah dengan Pasilihan, Simawang , Bukit Kandung dan Penjalangan. Tapi mungkin terbentur dengan masalah jumlah penduduk yang tidak mencukupi. Celakanya, negeri yang demikian besar itu tetap diberlakukan sebagai suatu desa. Kerugian terbesar, pada saat pemerintah bagi-bagi dana desa setiap tahun menurut UU Desa, jatah bantuan untuk Sulit Air sama dengan bantuan untuk desa-desa kecil, yang luasnya mungkin hanya sebesar kawasan seputar satu stasiun kereta api. Maka beberapa tahun yl ada pemikiran untuk membagi Sulit Air menjadi dua desa, hingga bantuan pedesaan bisa diterima setiap tahunnya dalam yang jumlah lebih besar.

Dari hal-hal yang saya kemukakan di atas dapatlah kita bayangkan betapa beratnya tugas yang harus dipikul oleh seorang wali nagari di Sulit Air. Bagaimana mengelola suatu nagari yang luasnya sama dengan rata-rata suatu kota tapi dengan perangkat personil dan anggaran yang sama dengan suatu desa kecil. Berdasarakan Perda Kab. Solok No. 7/2008, dalam tugas pokoknya menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, wali nagari dibantu oleh perangkat nagari sebagai unsur staf dan unsur pelaksana tehnis lapangan, yang terdiri seorang Sekretaris Nagari, 3 orang Kepala Seksi (Kasi) dan Kepala Jorong. Sekretaris Nagari diangkat oleh Bupati, selebihnya oleh wali nagari. Mungkin sekretaris nagari satu-satunya PNS yang ditempatkan di pemerintahan nagari dan digaji oleh negara (APBN). Berdasarkan Perda tsb, ada 9 wewenang wali nagari, yakni memimpin nagari, memajukan rancangan peraturan nagari dan menetapkannya bersama Badan Musyawarah Nagari (BMN), membina kehidupan masyarakat nagari, membina perekonomian nagari, dstnya…. Ada 18 kewajibannya, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi, menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan nagari, memberdayakan masyarakat dan kelembagaan, mendamaikan perselisihan masyarakat di nagari, dst-nya, Coba perhatikan, memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, menjadi tugas seorang wali nagari, apa sebab? Kebanyakan di nagari itu tidak ada polisi!

Membaca seluruh wewenang dan kewajiban seorang wali nagari yang demikian besar dan berat itu, teringatlah saya kepada ucapan seorang pakar pemerintahan Bapak Wasito Rasman, mantan Dirjen PUOD dan Gubernur Kalteng. Menurut beliau, tugas seorang pejabat pemerintahan hanya ada 4, yakni sebagai regulator (pengatur, termasuk memberi perizinan sesuai dengan bidangnya), motivator (mendorong dan merangsang orang untuk berbuat sesuatu), fasilitator (memberikan fasilitas atau kemudahan untuk mencapai sesuatu) dan antisipator (tanggap atas sesuatu yang sedang atau akan terjadi hingga hal-hal yang negatif dapat dicegah). Empat ‘resep’ tsb agaknya perlu diresapkan dan diamalkan oleh seorang wali nagari, apalagi seorang walinagari Sulit Air, yang menguasai wilayah yang demikian luas, penduduk dan masyarakat perantauan Sulit Air yang demikian besar, dengan segala sifat, karakter dan tingkah laku baik maupun buruknya.

Struktur pemerintahan nagari Sulit Air, berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Wali Nagari Mustari Rahmat Tahun 2014, hanya terdiri dari seorang wali nagari, dibantu oleh seorang sekretaris nagari, 3 orang kepala seksi Kasi) dan 13 orang Kepala (Wali) Jorong. Sekretaris nagari dibantu oleh seorang petugas kantor, dua orang staf, dan seorang bendahara (pemegang keuangan). Jadi personal yang ada di kantor wali nagari Sulit Air hanya ada 8 orang (termasuk wali nagari). Tidak ada jabatan wakil wali nagari atau pembantu utama wali nagari, seperti pada tahun 1970-an. Bila wali nagari meninggalkan Sulit Air atau karena satu dan lain sebab berhalangan, tidak dapat melaksanakan tugasnya, siapa yang menjalankan fungsinya sebagai wali nagari? Saya belum melihat peraturan perundangan yang mengatur hal ini. Saya menduga, kedudukan sebagai pejabat wali nagari tsb dipegang oleh sekretaris nagari, karena dalam garis komando struktur pemerintahan nagari tsb, sekretaris nagari berada di bawah wali nagari dan mendampingi wali nagari dalam membawahi 3 Kasi tsb. Dalam sistem pemerintahan RI, Kasi adalah pejabat eslon IV, maka mungkin sekretaris nagari setara kedudukannya dengan pejabat eselon III-a atau III-b.

Dalam memikul tugas dengan kewenangan dan kewajiban sebagaimana yang diutarakan tsb, memerintah wilayah yang demikian luas dan dibantu hanya oleh 7 personil staf, sungguh berat tugas wali nagari Sulit Air. Apalagi mereka, kecuali mungkin sekretaris nagari, memperoleh penghasilan bulanan dari pendapatan nagari. Pendapatan bulanan yang diberikan negara kepada wali nagari saya kira tidak seberapa. Dalam LPJ Mustari Rahmat 2014, pendapatan asli nagari tahun 2014 hanya Rp 78.169, 775,- ditambah dengan bantuan pemerintah kabupaten sebesar Rp 233.857.000,- seluruhnya Rp 312.026. 775,- Yang dapat disisihkan untuk belanja pegawai hanya Rp 134.850.000 untuk tahun itu. Hanya sekitar 12 juta rupiah setiap bulan untuk personil2 tetap tsb, jauh berada di bawah UMP buruh di provinsi manapun. Untung pendapatan bulanan wali nagari, ketua BMN, ketua KAN dan ketua MUIN Sulit Air dibantu oleh hartawan kita Yendra Fahmi yang penyantun dan berdada lapang, dengan memberikan bantuan honor bulanan kepada keempatnya cukup lumayan, yang saya dengar sampai sekarang masih tetap mengalir.
Perpisahan Wali Nagari yang lama bapak  Mustari kepada ibu Alex disaksikan oleh BMN bapak Tasrial
Tiga orang Kasi yang membantu wali nagari dalam SPJ Mustari Rahmat 2014 tsb adalah Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan dan Kasi Kesejahteraan. Saya tidak tahu, apakah nomenklatur yang demikian ini berdasarkan Perda atau Ketetapan Bupati dan apakah sampai sekarang struktur yang demikian ini masih berlaku? Di facebook ini kita mengenal nama Syamsu Dirman, orang yang rajin mengirimkan foto tentang kegiatan wali nagari dan kenagarian pada umumnya. Dalam pertemuan singkat saya dengan beliau pada Lebaran yl di Sulit Air, saya tanya apa jabatannya sebagai orang yang dekat dengan wali nagari, seolah mengelak beliau katakan: -orang yang berada di lingkungan wali nagari! Yang beliau singgung adalah penghasilan staf wali yang kecil. Dalam situasi dan kondisi sekarang ini, menurut saya ada 2 jabatan yg perlu ada pada struktur pemerintahan nagari Sulit Air, yakni Seksi Humas dan Seksi Umum. Bila hanya tersedia 3 seksi, Seksi Pemerintahan bisa disatukan dengan Seksi Pembangunan, kemudian Seksi Kesejahteraan Rakyat, dan yang ketiga adalah Seksi Humas dan Umum. Malah kalau perlu, urusan-urusan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat masuk dalam urusan Seksi Umum, sehingga 3 seksi tsb adalah Seksi Pemerintahan dan Pembangunan, Seksi Umum dan Seksi Humas.

Dalam sistem pemerintahan Negara kita, nomenklatur Umum itu ada dimana-mana, tergantung kepada besar-kecilnya ‘span of control’ (rentang kendali) organisasi itu. Ada yang berada di level eselon II (Biro atau Direktorat Umum), di level eselon III (Bagian atau Subdit Umum) dan di level eselon IV (seperti Subbag atau Seksi Umum). Salahsatu prinsip organisasi, apalagi organisasi pemerintahan, semua tugas dan urusan harus terbagi habis, dan ini harus terlihat pada struktur organisasinya. Sesuai dengan Perda Kab. Solok No. 7/2008 tsb di atas, ada 18 kewajiban wali nagari yang harus ditunaikannya, namun dia hanya dibantu oleh seorang sekretaris nagari dan 3 Kasi, bagaimana menyikapinya? Kita lihat, tiga Kasi tsb belum mencakup semua kewajiban tsb. Maka 1 dari 3 Kasi itu haruslah Kasi Umum. Sudah merupakan “standing operation procedure” (SOP) atau Tatacara Tetap Pelaksanaan (TTP), dalam suatu organisasi, semua tugas yang tidak menjadi bagian dari seksi lain, harus dikerjakan oleh seksi umum, maka itulah sebabnya dinamakan seksi umum. Dalam keadaan biasa, seksi umum mengerjakan tugas2 ketatausahaan, kerumahtanggaan, perlengkapan, keamanan, perjalanan dinas dsb-nya. Namun bila ada tugas2 atau hal2 lain yang tidak termasuk dalam uraian tugas seksi lain, maka atas petunjuk (d.h.i) wali nagari atau sekretaris nagari harus dilakukan oleh Kasi Umum.

Dalam struktur organisasi tsb di atas, Kasi secara administratif berada di bawah sekretaris nagari, namun secara operasional berada langsung di bawah wali nagari. Pengalaman2 masa lalu menunjukkan, wali nagari Sulit Air menjadi tempat bagi orang2 untuk mengeluh dan mengadu segala macam urusan, sengketa, perkelahian, penipuan, perbuatan maksiat, kambing hilang dikandang, jawi malinjak sawah urang, bonda ayie ka sawah dipokok urang, macam2 urusan tetek bengek, wali nagari yang dicari orang untuk memperoleh penyelesaiannya, apalagi kantor polisi jauh di Tanjung Balit. Itu dulu, bagaimana sekarang, saya tak tahu. Namun bila kita baca isi Perda Kab. Solok yang saya kutip di atas, itu memang menjadi urusan wali nagari, yakni: -memelihara ketertiban dan ketenteraman masyarakat! Tidak mungkin wali nagari menangani semua urusan itu, dia harus dibantu oleh setidaknya seorang pejabat atau petugas yang mengurus hal-hal yang bersifat umum dan tidak terduga, yakni Kasi Umum, di samping Sekretaris Nagari!

Pembangunan2 di Sulit Air selama ini, seperti mesjid, surau, rumahsakit, sekolah, kantor pos, sumber air, titi bagonjong, jonjang saribu, sebagian jalan, terakhir pesantren Gontor dan renovasi Mesjid Raya, banyak dibantu oleh masyarakat perantauan, baik melalui SAS, yayasan atau perorangan. LPJ Mustari Rahmat 2014 menyebut biaya rutin pendidikan di PSA, Sekolah Muhammadiyah, beaya anak beprestasi dan kurang mampu dibiayai oleh berbagai yayasan, seperti Yayasan Arfiah (Kamardy Arief), Yayasan Haji (Jakarta), Yayasan Ratna-Jamaluddin (kel. Alm. Jamaluddin Tambam), Yayasan SAS Sydney dan Yayasan Gunung Merah (Yogya). Maka selain dengan bupati, camat, lembaga2 kenagarian, penduduk, wali nagari mutlak harus memelihara hubungan baik dengan masyarakat perantauan itu. Dulu, hubungan baik itu dibangun dengan surat-menyurat, dengan mengunjungi kota perantauan tsb, atau ketika masyarakat perantauan itu pulang ke Sulit Air, terutama waktu Lebaran.

Untuk mewujudkan hubungan baik dengan berbagai pihak tsb, wali nagari memerlukan seorang pejabat atau petugas yakni Kasi Hubungan Masyarakat (Humas) sebagai pembantunya, yang selalu mendampinginya, hingga mengetahui dan memahami apa-apa yang telah terjadi. Saya lama bertugas di Departemen Perhubungan, kemudian Depparpostel, sebagai salah seorang Kasubbag Humas, menghadiri Rapim (rapat menteri dengan para pejabat eselon I) sebagai Notulis, hingga mengetahui peristiwa2 penting yang tengah berlangsung atau tengah dibahas.

Humas (public relations) adalah jurubicara instansi ybs yang mengabarkan kepada masyarakat tentang peristiwa2 penting yang perlu diketahui masyarakat, mempromosikan segala sesuatu yang baik, menjawab pertanyaan2 yang diadukan atau dikeluhkan masyarakat, maka sekaligus menghimpun masukan-masukan penting dari masyarakat untuk diteruskan kepada pimpinan instansi ybs, memancing pendapat jkalayak ramai (public opinion) masyarakat tentang instansi tsb. Demikian penting kedudukan Humas hingga ia diberi julukan sebagai mulut, sekaligus mata dan telinga pimpinan instansi ybs. Jika kita bicara mengenai Humas Pemerintahan Nagari Sulit Air, maka berarti dia yang menjadi mulut (penyambung lidah), mata dan telinga wali nagari Sulit Air! Sekarang masyarakat Sulit Air mempunyai sarana komunikasi yang yang demikian ampuh dalam menampung dan menyalurkan semua urusan itu, selain ponsel (HP), terpenting adalah facebook ini. 
Menghadiri kegiatan nagari di Jorong Talago Laweh
Tidak kurang dari 10 grup "Fb Sulik Ayie" dengan sekitar duapuluhan ribu anggota, jauh melebihi penduduk Sulit Air sendiri, salahsatu di antaranya malah bernama grup “Forum Komunikasi Nagari Sulit Air” FKNS lsg dibawah asuhan Humas nagari, yang mampu menyalurkan semua pendapat, rekomendasi, kritik dan saran2 apapun serta jawaban2 apapun oleh ybs mengenai Sulit Air. Terbuka 24 jam sepanjang waktu dan dalam hitungan menit dapat sampai kepada segenap warga Sulit Air bahkan segenap netizen yang ingin mengetahuinya. Ditambah lagi sekarang juga ada Radio Online Sulit Air (ROS) dbp HMD Dt. Marah Bangso yang juga dapat menampung semuanya itu dalam bentuk siaran langsung (live) secara audio visual. Sungguh suatu perkembangan tehnologi komunikasi yang canggih dan luar biasa bagi Sulit Air, semoga juga dapat diikuti dan ditiru oleh saudara-saudara kita di nagari-nagari lainnya di Minangkabau.

Yang sering kita lihat muncul di facebook adalah foto-foto tentang keindahan Sulit Air, kegiatan2 Bundo Nagari (sebutan ini atas usul Syamsu Dirman dalam diskusi facebook belum lama ini yang disetujui) Alex Suryani dan peristiwa2 penting, namun dengan narasi yang minim. Selain foto2 tsb, seyogyanya juga ditampilkan serinci mungkin. perkembangan pembangunan dan kemajuan nagari, sumber pendanaan, besaran dana yang sudah diterima, yang sudah digunakan dan yang diharapkan akan menerima; ikhtiar dan upaya2 apa yang sudah dilakukan, masalah dan kendala yang dihadapi dan apa-apa yang diharapkan dari masyarakat Sulit Air agar ikut membantu memikirkan dan mencarikan jalan keluarnya.
Hasil tenunan karya PKK Sanggar Putri Sulita, sudah menuai hasil. Adakah kira nya link untuk pemasaran yang lebih besar lagi ?
Melalui facebook ini, pemerintahan nagari perlu menghimbau masyarakat perantauan untuk berinvestasi di Sulit Air dengan menawarkan berbagai paket investasi berdasarkan ‘feasibility study’ (studi kelayakan) Dinas2 terkait atau hasil kajian Tim yang dibentuk, dengan menyebutkan modal yang diperlukan dan prospek bisnis masa depannya, mulai dari modal kecil, sedang sampai yang besar, untuk dapat dipertimbangkan calon investor. Ikhtiar ini layak ditempuh karena dalam Perda Kab. Solok No. 7/2008 tsb pada fasal 37 ada disebutkan a.l. walinagari berkewajiban mengembangkan pendapatan masyarakat dan nagari; memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di nagari. Wali Nagari Alex Suryani sebenarnya sudah memberikan contoh yang bagus mengenai ini, dengan membuat industri bordir di Sulit Air denganmenggunakan `mesin2 jahit yang tak terlalu besar modalnya atas bantuan pengusaha Sulit Air. Saya tidak tahu, apakah sudah ada kegiatan usaha lain, namun ikhtiar semacam ini perlu digali dan diteruskan dengan bentuk2 usaha lainnya yang memungkinkan. Kalau kegiatan industri bordir itu berhasil memasuki bursa bisnis dan memberikan keuntungan, tentulah pengusaha dan pedagang Sulit Air lain akan tertarik untuk berinvestasi pula di Sulit Air.

Masa sekarang ini adalah era globalisasi., digitalisasi dan tranparansi, foto-foto dan video dengan segala keindahan dan rekayasanya mengenai apa saja dapat dimunculkan melalui komputer yang kemudian dapat ke ponsel, dimanapun pemiliknya berada. Cepat dan efektif sekali! Namun sayang foto-foto dan video tsb tidak disertai narasi (berita) yang lengkap, yang di dalam dunia jurnalistik disebut menjawab pertanyaan: 5 W + 1 H-nya, yakni Who, What, Who, When, Where, Why and How, yang orang-orang kepolisian menyingkatnya dengan Si Adi Demen Babi (Siapa, Apa, Dimana, Dengan Apa, Bagaimana dan Bilamana) dalam penyidikan untuk membuat suatu perkara menjadi jelas dan terang! Berbeda sekali dengan masa di tahun 1960 s/d 1980-an, masyarakat Sulit Air perantauan banyak sekali menerbitkan majalah khas Sulit Air, penuh dengan berita, tulisan dan cerita, tapi minim sekali dengan foto, karena kebanyakan majalah itu dicetak dengan menggunakan mesin stensil Gestener! Sekarang foto-foto dan videonya demikian banyak dan indah (full colour) tapi berita, tulisan dan ceritanya yang kurang, hingga pembaca tidak memperoleh gambaran yang utuh dan lengkap!

Entah berapa puluh pesan (sharing) yang masuk setiap hari ke facebook melalui 10 grup tsb. Kebanyakan isinya foto2, cukup dominan foto2 keluarga; pesan2 moral, agama, sosial dan politik; gurau senda anak2 muda atau setengah baya. Namun masih sedikit atau semakin menyusut frekuensi pembicaraan masalah2 serius menyangkut pembangunan dan kemajuan kenagarian Sulit Air serta permasalahan yang dihadapinya. Saya katakan demikian, beberapa bulan yl, cukup ramai dan heboh pembicaraan dan tanggapan warga Sulit Air di facebook ini atas berbagai peristiwa penting kenagarian, seperti pembangunan, adat, kepenghuluan, perbuatan maksiat dan pencurian disertai kritik, saran dan ada yang meminta tanggapan wali nagari. Namun sepanjang yang dapat saya ikuti, walinagari tidak memberikan penjelasan2 yang diperlukan atas berbagai tulisan di facebook itu.

Nah, disinilah berperannya fungsi kehumasan. Sebagai SA-1, walinagari tidak harus selalu atau berkewajiban menanggapi atau merespons tulisan2 yang dianggap penting atau sensitif hingga masyarakat Sulit Air memperoleh pejelasan resmi dari pemerintahan nagari tentang duduk persoalan yang sebenarnya atau bagaimana tanggapan wali nagari. Dia bisa melimpahkan kepada Kasi Humas untuk menanggapinya melalui jawaban langsung atau menerbitkan apa yang disebut “press release” (siaran pers). Siaran pers bisa dibuat atas nama wali nagari dengan redaksi yang sudah disiapkan oleh Kasi Humas, bisa pula cukup dibuat atau ditandatangi oleh Kasi Humas. Siaran pers itu perlu menjawab apa adanya, tidak perlu ada hal yang disembunyikan, kecuali etika dan norma. Ini tidak terjadi, karena memang tidak atau belum ada Kasi Humas, atau wali nagari dalam struktur organisasi pemerintahan nagari yang ada sekarang ini tidak menugaskan sekretaris nagari untuk melaksanakan tugas2 kehumasan. Akibatnya komunikasi antara wali nagari dengan warga masyarakat Sulit Air melalui facebook ini tersumbat, komunikasi dua arah (double way communicaton) tidak jalan, suatu hal yang sangat disayangkan!

Bulan Juli yl, melalui Mukersas SAS 2015, dideklarasikan tanggal 28 April 1821 sebagai Hari Jadi Sulit Air yang didukung dan ditandatangani oleh unsur2 yang mewakili masyarakat Sulit Air, baik di Sulit Air maupun di perantauan, disertai sejumlah program untuk mensukseskan Hari Jadi itu setiap tahun. Namun sepanjang yang dapat saya ikuti, sampai sekarang belum ada pemerintahan nagari memberikan sesuatu siaran pers melalui facebook ini menyangkut hal itu, demikian juga program2 yang direncanakan menyangkut peringatan hari jadi itu, hingga banyak orang yang ber-tanya2. Saya mengusulkan, agar pada hari jadi itu diselenggarakan festival kuliner khas Sulik Ayie, sebagai langkah untuk mempromosikan Sulit Air sebagai obyek wisata.
Memperhatikan nilai sejarah kuburan yang dinilai unik & langka menjadi perhatian bersama
Demikian juga mengenai penemuan kuburan kuno berangka tahun 1339 di Guok Riang Kunik Bolai Sulit Air pada tgl 17 Juli 2015, sepanjang yang saya ikuti juga belum ada penjelasan resmi yang dikeluarkan pemerintahan nagari di facebook ini. Memang ada diberitakan, wali nagari melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Solok, telah mendatangkan Tim Balai Arkeologi (Balar) dari Batu sangkar untuk mengadakan penelitian ilmiah atas kuburan kuno tsb. Tapi saya belum pernah membaca penjelasan lengkap tentang hasil penelitian Balar Batusangkar atas kuburan kuno tsb dan pemerintahan nagari tidak pula memberikan sesuatu penjelasan mengenai ini. Yang pernah saya baca, Syamsu Dirman secara sepintas menulis di facebook bahwa menurut Tim Balar Batusangkar, angka tahun1339 pada kuburan tsb adalah tahun Hijriah, bukan tahun Masehi. Sesuai dengan prosedur (SOP) yang berlaku di dalam jajaran birokrasi pemerintahan, karena penelitian yang dilakukan Tim Balar Batusangkar di Sulit Air adalah atas permintaan wali nagari Sulit Air melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Solok, maka hasil penelitian ilmiah yang telah dilakukan atas kuburan tsb, saharusnya dilaporkan oleh Tim Balar kepada Kadin Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Solok dan Wali Nagari Sulit Air dengan tembusan kepada atasannya di tingkat Provinsi dan atau Pusat di Jakarta.

Karena yang dipersoalkan adalah tentang angka tahun 1339 yang tercantum pada kuburan tsb, apakah tahun Masehi atau Hijriah, Tim Balar harus menjawabnya. Bila Tim berpendapat itu adalah tahun Hijriah sebutkan alasan dan bukti-buktinya, dan sebutkan pula alasan dan bukti bahwa itu bukan tahun Masehi. Hasil temuan Tim Balar itu seharusnya disiarkan oleh wali nagari pada facebook ini, dari mana hal itu tadinya ramai dibicarakan, agar masyarakat Sulit Air yang berminat atas hal tsb dapat memahami dan menimbang-nimbangnya. Tanpa adanya penjelasan itu kita menjadi ragu. Saya sebagai pembuka masalah tsb pertama kali, tanpa adanya penjelasan yang bersifat ilmiah, tetap berpendapat bahwa angka tahun 1339 pada kuburan kuno di Kunik Bolai itu adalah angka tahun Masehi. Bila itu angka tahun Hijriah, berarti usianya kira2 dua tahun lebih muda dari kuburan Datuk Bangkik di Mato Ayie Padang, artinya keduanya satu masa. Pada hal bentuk kuburan Dt. Bangkik sudah sama dengan bentuk kuburan2 yang kita kenal sekarang, sedang kuburan di Kunik Bolai itu bangunannya berundak, menggunakan aksara Arab Melayu, mengingatkan kita kepada kuburan2 Islam pada abad-abad yl seperti dapat kita lihat pada buku2 sejarah. Nama yang tercantum pada kuburan tsb adalah Haji Samhulu, suatu nama yang terasa asing pada abad permulaan abad ke- 20 (bila benar tahun Hijriah) pada masyarakat Minangkabau, yang terbiasa menggunakan gelar pusaka atau datuk bila ybs sudah menjadi penghulu.

Tapi bila Balar Batusangkar bisa memberikan bukti2 dan sanggahan yang meyakinkan, sebagai warga ilmiah, dengan senang hati kita tentu akan menerimanya! Walau angka tahun 1339 itu adalah tahun Hijriah, sekarang sudah tahun 1437 H, berarti umurnya sudah 98 tahun (1339 – 1437 H) dan bukan 677 tahun (1339 – 2015 M), tetap saja kuburan kuno tsb termasuk benda cagar budaya yang harus dipelihara dan dirawat. Menurut UU No. 5 Tahun 1992, kuburan yang berusia sudah lebih dari 50 tahun termasuk dalam kategori cagar budaya. Cuma bila sudah berusia 677 bobotnya sebagai obyek wisata ziarah tentu jauh lebih tinggi.
Penyaluran Raskin untuk nagari Sulit Air, butuh pemerataan & tepat sasaran
Dengan menyampaikan lebar-panjang hal-hal yang saya kemukakan di atas, saya menyadari beratnya tugas seorang wali nagari di Sulit Air. Walau wali nagari sudah dilengkapi dengan Kasi Umum dan Kasi Humas (yang rajin membaca dan menulis) seperti yang saya usulkan tsb, bukan berarti semua wewenang dan kewajiban tsb dapat terpenuhi dan dengan mudah dapat dilakukan. Wali nagari dengan staf dan dana yang terbatas tsb tidak akan mungkin dapat memimpin dan mengolah nagari Sulit Air yang besar itu sesuai dengan peraturan perundangan tanpa dukungan, bantuan dan kerjasama perangkat pemangku nagari lainnya dan masyarakat Sulit Air pada umumnya. Secara formal menurut peraturan perundangan, mitra kerja utama wali nagari adalah Badan Musyawarah Nagari (BMN). Yang lainnya adalah Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Majlis Ulama Islam Nagari (MUIN). Dulu dikenal sebutan tigo tungku sejarangan, sekarang ada sebutan perangkat pemangku nagari yang terdiri dari 4 lembaga itu. Bila ditinjau dari segi kewenangan dan kewajibannya terhadap nagari, seperti telah diungkap di atas, jelas yang paling besar dan paling berkuasa adalah wali nagari. Karena tidak ada jabatan wakil wali nagari, boleh dikatakan wali nagari adalah penguasa tunggal atau tungga babeliang dalam hal pemerintahan di Sulit Air. Namun ditinjau dari segi kapasitas intelektual sumber daya manusianya, mungkin wali nagari yang paling lemah.

Saya katakan demikian, dengan menunjuk LPJ Mustari Rahmat 2014 dan makalah Ketua BMN Syahril Sutan 2009, yang saya kira komposisinya tidak banyak berubah dengan yang sekarang, di kantor wali nagari hanya ada 8 personil, dan hanya ada 2 orang sarjana (S-1). Sedang di BMN ada 11 orang anggota dengan kedudukan setaraf, dengan 2 orang sarjana strata dua (S-2) dan 7 orang sarjana strata satu (S-1). Sedang di MUIN lebih hebat lagi, dari 22 anggotanya yang berstatus sebagai da’i (muballgih) dua orang adalah sarjana S-2 dan 14 orang sarjana S-1. Mungkin jumlah sarjana itu lebih banyak di lingkungan KAN yang berstatus sebagai datuk (penghulu) namun sayang sebagian besar mereka berada di perantauan. Sungguhpun begitu KAN sekarang oleh Hendry Dunant Dt Endah Bongsu, bukan saja seorang sarjana, saya kira sudah 3 periode menjadi anggota DPRD Kab, Solok, berjasa memperjuangkan bebagai bantuan pembangunan untuk Sulit Air.

Kita belum hitung sarjana2 sebagai yang pengajar di perguruan tinggi El Hakim dan sekolah2 dan 1 pesantren di Sulit Air. Demikian banyak sarjana di Sulit Air. Saya ingat dulu di tahun 1970, setelah lulus dari UGM, saya pulang ke Sulit Air dan waktu itu belum ada seorang pun sarjana yang berdiam di Sulit Air, pada hal waktu itu penduduk Sulit Air sekitar 13 ribu jiwa, sekarang hanya 8 ribu jiwa. Dan potensi cendekiawan yang paling tentulah yang berdiam di perantauan, yang tidak kalah rasa cintanya kepada tanah pusakanya Sulit Air. Tidak berlebihan rasanya bila saya, warga Sulit Air perantauan termasuk anak keturunan yang bertalian darah dan berhubungan perkawinan dengannya, memiliki seribu sarjana, ditambah dengan para ahli dan profesional dalam berbagai jabatan dan bidang kehidupan, termasuk pedagang dan pengusaha yang sukses walau bukan sarjana.

 Sungguh merupakan potensi tak terkirakan bila mereka termotivasi untuk memberikan bantuan dan sumbangan kepada Sulit Air, termasuk berinvestasi untuk Sulit Air, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka masing2. Coba perhatikan pada tahun 2015 ini saja, di facebook ini aktivitas berbagai kelompok masyarakat Sulit Air yang menguras cukup banyak uang. Terakhir menghadiri upacara pelantikan DPC SAS Bali sambil berwisata, yang diikuti oleh sekitar duaratus warga Sulit Air, berapa banyak uang yang telah dikeluakan untuk itu? Lihat pula, berapa banyak warga Sulit Air ber-qurban, memotong sapi, di berbagai kota perantauan termasuk di Sulit Air sendiri, berapa banyak uang yang dikeluarkan? Ini semua menunjukkan, masyarakat Sulit Air punya sumber daya manusia dan sumber dana yang cukup besar, bergotong royong untuk membangun dan memajukan Sulit Air, baik dalam bentuk sumbangan sukarela lillaahi ta’alah, baik dalam bentuk investasi murni bila ditawarkan kepada mereka.
Proyek jalan nagari yang membutuhkan dana yang besar & berkesinambungan
Nah, sebagai telah saya katakan dengan mengutip pendapat ahli, tugas kepala pemerintahan itu ada 4, yakni sebagai regulator, motivator, fasilitator dan antisipator. Ini tepat sekali bagi wali nagari Sulit Air, dalam kedudukannya sebagai motivator dan fasilitator, dia harus memberikan motivasi dan fasilitas, menggerakkan segenap potensi sumber daya manusia (SDM ) Sulit Air untuk membangun potensi2 sumber daya alam (SDA) yang ada di Sulit Air yang sebenarnya juga besar jika digali. Namun seperti telah dikatakan pula, wali nagari tidak mungkin dapat bekerja mengemban tugas besar dan mulia itu bila tidak dibantu oleh BMN, KAN dan MUIN dll suatu hubungan kerja yang harmonis dan efektif. Menurut Perda Kab. Solok No. 7 Tahun 2008 tsb, BUMN selain melakukan fungsi dan tugas legislasi, anggaran dan pengawasan sebagaimana lazimnya tugas parlementer (perwakilan rakyat), ada tugas lainnya di dalam Perda itu yang cukup tepat untuk kondisi masyarakat Sulit Air yakni: -menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat dan instansi yang berwenang. Klop dan nyambung sudah dengan fungsi dan tugas wali nagari.

Saya tidak tahu, apakah keempat lembaga itu (Wali Nagari, BMN, KAN dan MUIN) ada mengadakan musyawarah atau forum komunikasi untuk menyelaraskan dan menyingkronkan kegiatan antara keempat lembaga tsb. Musyawarah antara keempat lembaga ini perlu diadakan secara tetap dan teratur untuk membahas hal2 penting, menyangkut kenagarian, menyelesaikan permasalahan2 yang dihadapi, merumuskan langkah-langkah yang perlu ditempuh, dan membuat kalender kegiatan tahunan gabungan, yang mereflesikan kegiatan keempat lembaga tsb. Dengan cara demikian, mudah2an tugas berat dan mulia yang diamanatkan Perda Kab. Solok No. 7 Tahun 2008 dan cita-cita Sulit Air Jaya yang sudah lama nian menjadi mimpi dan idaman masyarakat Sulit Air secara bertahap dapat diwujudkan.

Demikian pokok-pokok pikiran saya, menyambut dan memperingati Setahun Pemerintahan Wali Nagari Sulit Air Alex Suryani dalam melangkah ke tahun kedua masa pemerintahannya. Mudah2an ada manfaatnya, mohon maaf dan koreksi atas kesalahan dan kekeliruan yang mungkin terdapat di dalamnya. Selamat Bekerja Bundo Nagari menempuh masabakti tahun kedua pemerintahan Anda, semoga Allah merahmati dan memberkati Anda dengan taufieq dan hidayah-Nya kepada Anda bersama BMN, KAN,MUIN dll dalam memimpin Sulit Air dan masyarakatnya, menuju masa depan yang cerah dan ceria. Amin ya Allah. 

Sebuah tinjauan pribadi oleh: Hamdullah Salim untuk kemaslahatan nagari & masyarakat perantauan.

---- Sekian ---

Sunday, 29 November 2015

12 Peristiwa Penting Nagari Suliek Ayie ( Bag-II )

4. 29 SEPTEMBER 1912. (Musyawarah Lareh Nagari)


Di Balairung Panjang (sekarang Balairungsari) Balai Lamo Sulit Air, berlangsung pertemuan para penghulu Sulit Air, para pemuka masyarakat, orang tua-tua serta para cerdik pandai Sulit Air. Pertemuan besar itu dimotori oleh Mahyuddin Dt. Sutan Maharaja Nan Besar alias Dt. Bangkik (ahli adat terkemuka Minangkabau) dan Muhammad Rasyad Dt. Tumenggung (penghulu andiko di kelompok Urang Nan Onom Limo Panjang), yang baru saja diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kepala Nagari (Nagarihoofd), yang juga merangkap sebagai kepala semua penghulu di Sulit Air. Kepala Penghulu itu dalam pergaulan se-hari2 di Sulit Air disebut Ongku Kapalo (Ongku Palo) atau Datuok Kapalo (Tuok Palo). Karena Rasyad Dt, Tumenggung adalah ongku palo pertama, maka beliau masyhur dengan sebutan Ongku Palo Gaek.


Maksud pertemuan penting itu adalah untuk menangkal segala macam maksiat yang sedang merebak di seluruh Sulit Air. Pertemuan itu akhirnya berhasil membulatkan kata, pipih sepicak, bulat segiling, bulat air dek pembuluh, bulat kata dek mufakat, melahirkan sejumlah keputusan, yang kemudian populer sebagai Undang-2 Nagori Nan Saboleh Fasal, karena terdiri dari 11 fasal. Undang2 tsb mengatur a.l.: " Larangan berjudi dan sanksi berat terhadap pelakunya. Setiap penghulu harus punya rumahgadang sendiri dan memberantas berbagai bentuk kejahatan. Setiap rumahgadang harus terpelihara kebersihannya. Penghulu dan ninik-mamak harus mengajarkan adat-istiadat kepada kemenakannya. Setiap lelaki harus menanam tanam-tanaman tua. Bila pergi merantau harus minta izin kepada penghulunya dan kepada kepala nagari ". Demikian bunyi undang-undang itu. 

Kemudian diwajiban kepada lelaki dewasa untuk menggunakan kupiah setiap keluar rumah. Dimaksudkan sebagai penegakan disiplin diri, ternyata memang mampu memberikan berbagai dampak positif kepada anak nagari Sulit Air. Terkenal sebutan, bila lelaki tidak pakai kupiah dan ketemu di jalan dengan Ongku Palo Gaek di Sulit Air, maka orang itu tentu akan dilompang (ditempeleng) oleh wali nagari. Orang tua-tua kita dahulu sering memuji ketertiban, keamanan, kemajuan dan kebesaran Sulit Air selama berada di bawah kepemimpinan Ongku Palo Gaek Rasyad Dt. Tumenggung itu (1912 – 1936).

 Sejarawan Anas Nafis dari ‘Pusat Dokumentasi & Informasi Kebudayaan Minangkabau” yang menemukan dan menyebar luaskan undang-undang nagari Sulit Air itu, memberikan ulasan a.l. sebagai berikut: “ Jadi berlainan dengan masa sekarang, di mana sebagian masyarakat Minangkabau (baca: Sumatera Barat) lebih suka menunggu lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, Kabupaten atau Kota terlebih dulu dan baru setelah itu ‘penyakit’ ditanggulangi, di masa lampau Sulit Air telah berbuat sesuatu untuk kebaikan dan kemajuan nagari mereka. Jadi yang berkehendak ialah masyarakat sendiri dan bukanlah menunggu komando dari atas, misalnya menunggu perintah dari Tuanku Laras , kemudian Engku Demang, Tuanku Mandua, maupun Tuanku Luhak”.

Dalam kaitan ini, tokoh besar Sulit Air masa lalu Zainal Abidin Ahmad menambahkan: “ Kepala Nagari Rasyad Dt. Tumenggung, Syaikh Sulaiman al Khalidi (Imam Mesjid Raya) dan Dt. Sutan Maharajo (Dt. Bangkik) bersama Kerapatan Adat, melarang keras perjudian, menyabung ayam, memberantas segala sihir dan juhung permayung (memberi pekasih dan kaboji) dan segala perbuatan yang mengganggu dan merusak keamanan masyarakat, khususnya mengganggu rumahtannga. Dalam hal ini jasa Angku Palo Gaek Dt. Tumenggung tidak dapat dilupakan.

Pokoknya masa kepemimpinan Sulit Air di bawah M. Rasyad Dt. Tumenggung Ongku Palo Gaek yang berlangsung demikian lama (1912 – 1937) sering disebut oleh orang-orang tua kita sebagai masa jayanya Sulit Air dan banyak yang mengidamkan agar masa gemilang tsb dapat dibangkitkan kembali. Sebagai salahsatu langkah untuk membangkitkannya adalah dengan berbulat tekad agar warga Sulit Air kembali kepada khittah dan semangat perjuangan di tahun 1912 tsb.

Bisakah diberlakukannya kembali “Undang-undang Nagori Nan 11 Fasal” tgl 29 September 1912 tsb bagi setiap orang yang berdiam di Sulit Air? Sama  kira-kira dengan Presiden Soekarno yang pada tgl 5 Juli 1959 mendekritkan Indonesia kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Tidak salah bila tanggal 29 September 1912 ini perlu kita catat sebagai salahsatu tonggak penting dalam sejarah Sulit Air; -Tahun Penegakan Disiplin!

5. Tahun 1925, (Hidupnya Dunia Pendidikan Nagari).

Adalah tahun berdirinya Pendidikan Sekolah Agama (PSA) Gando Sulit Air, sekolah kebanggaan anak nagari, yang tetap eksis sampai sekarang. Yang mencetuskan berdirinya PSA di Sulit Air adalah Labai Muhammad Yassin, murid Sekolah Thawallib Padang Panjang dengan dukungan 2 temannya Jamin Hamzah (kakek Syaiful Sirin Dt. Rajo Mangkuto) dan Jamin Yahya dari sekolah yang sama.
Gedung PSA yang masih terawat & Asri berada di jorong Gando
Ketiganya ingin mewujudkan adanya sekolah model Thawallib di Sulit Air, jadi semacam mini Thawallib. Gagasan tsb didukung oleh tokoh-tokoh muda Sulit Air masa itu, yaitu: Nurdin Dt. Rajo Mansyur, M. Taher St. Sati (guru Sekolah Gubernemen, kakek DR. Happybone), Kasim St. Besar (pedagang di Padang, ayahanda Brigjen. Dr Amir Kasim), Jalin St. Sati (tokoh penggerak pembangunan), HM Salih (ulama, ayahanda A. Karim Salih), Syamsuddin Khatib Jum'at (ayahanda Amir Shambazy), H. Zakaria (imam Surau Tebing), Udin St. Maruhum, clan sebagainya.

Trio “Yassin-Hamzah-Yahya” tersebutlah yang menjadi guru-guru pertama sekolah PSA itu pada tahun 1925. Dimulai di Surau Tobiang, kemudian pindah ke surau Singgodang, lalu pindah lagi ke Surau Muruok. Belajar tidak lagi menghadap rehal tapi duduk di bangku panjang menghadap meja, mendengarkan guru berbicara dan menulis di papan tulis dengan kapur tulis. Jumlah murid pertama mencapai 80 orang dan terus bertambah-tambah juga.

Melihat kemajuan pesat itu, Nurdin Dt. Rajo Mansyur Cs memelopori berdirinya sebuah organisasi yang diberinya nama VSSA (Vereniging Studiefonds Sulit Air) yang bertujuan untuk membantu menyukseskan PSA dengan membangun sebuah gedung sekolah yang cukup pantas bagi murid-murid yang semakin bertambah tsb. Agaknya VSSA Sulit Air meniru Studie Fonds Koto Gadang yang didirikan oleh Tuanku Laras Datuk Kayo di Koto Gadang pada tgl 1 September 1909, yang ditengarai sebagai penyebab banyaknya orang Koto Gadang yang berhasil menjadi orang-orang pintar dan terkenal di kemudian hari.

VSSA didukung oleh tokoh-tokoh Sulit Air masa itu seperti HM Taher, Jamin Endah Kayo (kakek Zarkasyi Nurdin), M. Jalin Sutan Sati (ayahanda Jurnalis Jalins), Taher Dt. Lenggang Marajo, Asin Sutan Batuah, Jausa Dt. Majo Bongsu (ahli adat), Udin Sutan Maruhum, H. Zakaria dll. Selain dari nama-nama tsb, atas kerja keras pengurus berdatanganlah sumbangan uang dari para pedagang perantau Sulit Air yang diangkat sebagai komisaris-komisaris VVSA, seperti M. Zein Dt. Sati Marajo (Pekan Baru), Ismail Dt. Rajo Penghulu (Teluk Kuantan), Kahar Sutan Mudo (Padang), Tunut Sutan Mangkuto (Sawahlunto), M. Lebe (Solok), Udin Sutan Maruhum (Padang Gantiang), dll.

Pada tahun 1933, sewaktu pimpinan PSA beralih dari M. Salim Amany (yang melanjutkan sekolah ke Normal Islam Padang) kepada Nurdin Thaher, PSA Gando mencapai puncak kejayaannya, muridnya mencapai 500 orang. “Periode ini adalah masa pesatnya kemajuian pendidikan PSA, di mana murid-muridnya sangat menonjol dalam segala gerak masyarakat. Banyaknya murid mencapai 500 orang, terdiri dari 12 kelas, pagi dan sore. Di bawah pimpinan Nurdin Taher, dengan guru-guru 10 orang yang umumnya berpendidikan cukup pada bidangnya masing-masing. PSA mencapai kemajuan yang mengagumkan.

Menjadi kebanggaan bagi pemuda-pemuda perantau, bila mereka mendapatkan isteri dari pelajar PSA. Walaupun isteri cantik dan dari keluarga kaya, tapi kalau tidak belajar di PSA, kuranglah mendapat penilaian dari para pemuda yang ingin mendapatkan jodoh. Banyaklah pelajar puteri PSA yang mencapai prestasi dalam kehidupannya, baik di kampung maupun setelah mengikuti suaminya di perantauan. Begitupun para pelajar pria-nya, banyak yang sukses dan menonjol dalam kehidupan di perantauan, di bidang perdagangan atau di lapangan kehidupan sosial dan ekonomi.
Sisiwa dan Siswi PSA bersama pengurus Yayasan serta para guru.
Maka tahun 1925, perlu pula kita catat sebagai salahsatu tonggak sejarah penting dan tahun kebangkitan Sulit Air, khususnya dalam pendidikan agama Islam yang menyebabkan anak nagari Sulit Air kokoh kuat memeluk agama Islam, yang pada gilirannya meneruskan dan mewariskannya kepada anak keturunannya dalam semangat keislaman yang kental, walaupun sudah pindah ke perantauan.

6. 2 JULI 1951, (Berdiri nya IPPSA).

Adalah hari lahirnya Ikatan Pemuda Pelajar Sulit Air (IPPSA) di Sekolah Rakyat (SR) I Koto Tuo Sulit Air, bersamaan dengan musim liburan puasa pada tahun itu. Mayoritas para pendirinya adalah para pelajar SMP Negeri I dan SMP Negeri II Solok, antara lain: Martunus Tunut, Chainaris NS, Musmar St. Mangkuto, Misbach Jalins, Lukman Muman, Roslaini Thaher, Zamzoma Muman, Sariana Potai Lobek, Harun Al Rasyid, Nurana Suprapto, Jufri Jamin, Syahruddin Kasim , Amir Arselan Tamin, Jurnalis Jalins, Asnidar Thaher, Nurhayati Miin, Hamidah Hamid, Achyar Darussalam. Yang diluar SMP atau yang lebih senior adalah Syafni Jadibs (SGA Negeri Solok).
Pengurus DPP IPPSA saat ini ( Rizki, Septian, Ferry & Taufik Akbar)
Yang memberikan nama IPPSA tsb adalah Darussalam Rasyad. Mengenai nama IPPSA, saya berkeyakinan Darussalam Rasyad (kemudian bergelar Dt. Samarajo) memperoleh inspirasi kata-kata ikatan pemuda pelajar dari nama IPPI (singkatan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang baru lahir dan sedang bertumbuh pesat pada masa itu.

Pada masa itu DPP IPPI di Jakarta dipimpin oleh Emil Salim, sedang di Sumatera Tengah (meliputi Sumbar, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau sekarang) dipimpin oleh Awaloeddin Djamin. Apalagi Awaloeddin Djamin, sebagai Ketua IPPI Sumatera Tengah sering berkunjung ke Solok dan menjadi tamu beliau selaku Kepala Inspeksi P & K Kabupaten Solok. Ungkap Awaluddin Djamin: ”Di SMA Negeri yang dipimpin oleh Dr. Rosma, kami membentuk ”Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia” (IPPI) dan ”Tentara Republik Indnesia Pelajar” (TRIP) seperti pelajar-pelajar di Jawa. Saya terpilih menjadi ketua IPPI Sumatera Tengah. Selaku Ketua IPPI Sumatera Tengah saya sering ke sekolah-sekolah menengah pertama di Padangpanjang, Solok, dan Sawahlunto.

Di Padang panjang siswa sekolah agama pun bergabung dengan IPPI". Untuk menelusuri letak keterkaitan atau hubungan itu, baik kita kutipkan sedikit tulisan Prof. Mr. Ruslan Saleh sekitar kelahiran IPPI sebagai berikut: “Tanggal 2 Februari 1946, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia disingkat IPPI didirikan. Kata “pemuda pelajar” adalah suatu proses pemikiran dan pertukaran pendapat yang serius guna memelihara kesatuan dan persatuan perjuangan pada masa itu yang sangat didambakan. Dengan kata-kata ini tersimpul pengertian tidak terpecahnya pemuda dalam sekolah menengah pertama (SMP), sekolah mengah atas (SMA) dan mahasiswa, semuanya bersatu dalam sebutan Pemuda Pelajar. Terkandung dalam pengertian pemuda yang meliputi pelajar dan mahasiswa. Sebelumnya organisasi ini bernama Ikatan Pelajar Indonesia, organisasi dari pelajar sekolah menengah pertama dan menengah atas".

Yang mengesahkan berdirinya IPPSA adalah Wali Nagari Sulit Air Salim Thaib. Tokoh masyarakat yang hadir dan memberikan sambutan: Darussalam Dt. Samarajo, Alwin Dt. Sutan Malano, M. Jalin Sutan Sati, M. Taher Sutan Sati, M. Salim Amany, Kahar Taher dan Sa’adiyah Muluk. Kelahiran IPPSA itu disepakati setelah para pelajar tsb beberapa kali mengadakan rapat di Ayie Mati Solok, di rumah tokoh pendidik Darussalam Dt. Samarajo tsb, juga atas gagasan dan dorongan yang beliau berikan. Seperti maksud pembentukan IPPI pada tahun 1946, pembentukan IPPSA juga dimaksudkan untuk menyatukan seluruh pelajar dan mahasiswa Sulit Air.

Selain terinspirasi dari IPPI tsb, pemuda pelajar di dalam ”IPPSA” juga dimaksudkan sebagai para pelajar yang setelah tamat dari SR melanjutkan sekolah ke SLTP seperti SMP. Ini untuk membedakan dengan pemuda-pemuda Sulit Air yang setelah bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), baik tamat atau tidak, menjadi tradisi untuk pergi merantau dengan maksud terutama untuk berdagang, mencari pangadok. Jadi, pemuda pelajar dalam pengertian ini merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, bukan pemuda dan pelajar! Pengurus pertama IPPSA, ketua Martunus Tunut, sekretaris Chainaris NS dan bendahara Asnidar Thaher.

Jadi IPPSA yang diresmikan berdirinya pada tanggal 2 Juli 1951 itu sebenarnya adalah IPPSA Solok. Namun pada waktu peresmian tsb, hadir beberapa pelajar dari kota lain yang lebih tinggi sekolahnya, seperti Dawanis Sirin dan Mawardy Jalins (SMA Padang), Sofyan Hasan (SMA Bukit Tinggi) dan Hasan Basri Salim (guru SR dan Kursus Keterampilan Pembantu Guru) dari Sulit Air. Dengan berdirinya IPPSA Solok ini menjadi pendorong bagi berdirinya IPPSA di kota-kota lainnya: Padang, Bukit Tinggi, Padang Panjang, Medan, Jakarta dan Yogya, walau jumlah pelajar Sulit Air di kota-kota tsb (kecuali Padang Panjang) belum begitu banyak.

Dengan berdirinya IPPSA di kota-kota lainnya itu, maka atas inisiatif enam orang pelajar Sulit Air yakni: Dawanis Sirin (kelas 3 SMA Padang), Mishar Bahrony (kelas 3 SMA Yogya yang kemudian pindah ke Bukit Tinggi), A.Karim Salih (Sekolah Tinggi Islam, Jakarta), Jurnalis Jalins (kelas 1 SMA Bukit Tinggi), Hasan Basri Salim (KKPG Sulit Air) dan Ramly Jalil (Kursus Fotografi Jakarta) diadakanlah pertemuan IPPSA dari berbagai kota pada bulan Puasa tahun 1952 di Sekolah Rakyat Balai Lamo Sulit Air. Dideklarasikanlah IPPSA sebagai organisasi bagi seluruh pelajar Sulit Air, mulai dari yang telah menamatkan Sekolah Rakyat-nya dan melanjutkan sekolahnya, sampai menjadi mahasiswa (sebelum menjadi sarjana, berumah tangga atau meninggalkan statusnya sebagai pelajar-mahasiswa). Untuk itu dibentuk Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IPPSA yang pertama yang diketuai oleh A. Karim Salih (Jakarta), dengan cabang di kota-kota perantauan lainnya itu.
Rancak-rancak IPPSAWATI nyo
Dengan demikian, berbeda dengan SAS (Sulit Air Sepakat) yang lahir di Padang pada tahun 1912, mempunyai dewan pimpinan pusat (DPP) yang dilahirkan di Ciloto Puncak Jabar pada tgl 5 Juli 1972, IPPSA maupun DPP-nya, keduanya dilahirkan di haribaan tanah tercinta Sulit Air. Berbeda dengan SAS yang hanya ada di perantauan, IPPSA juga meliputi Sulit Air dan mempunyai cabang di Sulit Air. Maka tanggal 2 Juli 1961 layak kita kenang sebagai salahsatu tonggak dan peristiwa penting di Sulit Air, di mana pelajar-pelajar Sulit Air yang masih demikian muda-muda (apalagi untuk ukuran masa sekarang) telah berhasil melahirkan IPPSA, organisasi kebanggaan pelajar-mahasiswa Sulit Air yang sangat besar peranannya dalam pembangunan dan kemajuan Sulit Air.

(Bersambung)
Sumber: Drs. Hamdullah Salim
--- Sekian ---

Friday, 20 November 2015

PERBEDAAN SUBHANALLAH DAN MASYA ALLAH


Bismillahirrahmanirrahim....,

Sahabat ku muslimin muslimah,,,

Ketahuilah bahwa Subhanallah atau Masya Allah, Kadang Suka Terbalik. Ungkapan Subhaanallah di anjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, dan dengan ucapan itu kita menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari semua keburukan tersebut. Kebalikannya dari ucapan Masya Allah, yang diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah. Penggunaan kedua kalimat ini di tengah masyarakat Islam tanah air kerap terbalik-balik,­ serta tidak heran membuat bingung dan makna harfiah nya sendiri.

Islam mengajarkan kalimat-kalimat yang baik (kalimat thayyibah) dalam segala suasana. Dengan kalimat-kalimat itu, orang beriman dikondisikan untuk senantiasa mengingat Allah. Dengan kalimat-kalimat itu, orang-orang mukmin dikondisikan untuk senantiasa dekat dengan Allah.

Jika seseorang mendapati sesuatu yang membuatnya kagum atau mendengar kabar yang membuatnya takjub, kalimat apakah yang paling tepat? “Subhanallah” (سُبْحَانَ اللَّهِ) atau “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ)?
Menurut para ulama, yang lebih tepat adalah mengucapkan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ). Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Kahfi:

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maa syaa-allaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. al Kahfi: 39).

Ucapan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ) ini mengembalikan kekaguman kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa semua yang kita kagumi itu terwujud atas kehendak Allah, bukan karena usaha kita atau orang tersebut. Dicontohkan dalam ayat tersebut, jika seseorang memasuki kebun, hendaklah ia mengucapkan “Masya Allah” (مَا شَاءَ اللَّهُ). Kekagumannya atas indahnya kebun tersebut, ranumnya buah, lebatnya tanaman dan berhasilnya perkebunan, semata-mata kebaikan-kebaikan itu atas kehendak Allah.

Sedangkan kalimat “Subhanallah” (سُبْحَانَ اللَّهِ), dalam Al Qur’an disebutkan lima kali. Yakni dalam surat Al Mu’minun ayat 91, Al Qashash ayat 68, Ash Shafat ayat 159, Ath Thur ayat 43 dan Al Hasyr ayat 23. Dalam surat Al Mu’minun ayat 91 dan Ash Shafat ayat 159, kalimat “Subhanallah” digandengkan dengan “ammaa yashifuun” yang artinya Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Sedangkan dalam tiga ayat lainnya, kalimat “Subhanallah” digandengkan dengan “ammaa yusyrikuun” yang artinya Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Jadi dalam Al Qur’an, kalimat “Subhanallah” digunakan untuk menyatakan kesucian Allah dan menyangkal hal-hal negatif yang dituduhkan orang-orang musyrik.

Sedangkan dalam hadits, ucapan “Subhanallah” dipakai ketika seseorang heran sikap seseorang. Heran, bukan kagum. Misalnya ketika Abu Hurairah junub dan tidak mau berdekatan dengan Rasulullah yang suci. Rasulullah pun bersabda:

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

“Maha Suci Allah, sesungguhnya muslim itu tidak najis” (HR. Al Bukhari).

Ucapan “Subhanallah” juga dipakai Rasulullah ketika ada peristiwa besar. Namun, bukan bentuk kekaguman.

Misalnya dalam sabda beliau:

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ

“Maha Suci Allah, betapa banyak fitnah yang turun di malam ini” (HR. Al Bukhari)

Semua kembali kepada masing-masing diri, menyebut istighfar malah di anjurkan setiap waktu. Sebenar nya dulu tidak pernah ada dipermasalahkan oleh ulama-ulama terdahulu. Namun ketika peradaban semakin kompleks, keilmuan dituntut sedetil-detil nya disinilah ijtihad pemikiran dipertajam lagi. Tentu dengan mengurai dan membuka ayat-ayat yang bersinggungan dengan kata tersebut menjadikan tolak ukur kata yang pantas mana untuk digunakan. Apalagi di bumi Indonesia ini yang memiliki 4 mahzab, tentu berbeda masing-masing dalil yang digunakan. Asal saja jangan terkotak-kotak dengan mahzab "Islam Nusantara" yang jelas-jelas tidak ada dalil nya dalam Al-Quran dan Hadist.


Wallahu a’lam bish shawab.


--- Sekian ---

Monday, 16 November 2015

12 Pristiwa Penting Nagari Suliek Ayie (Bag - I)


Momentum Mukernas SAS 2015

Tanggal 18 Juli 2015, di Sulit Air telah berlangsung Musyawarah Kerja Nasional SAS (Mukernas 2015). Jika selama ini Mukernas SAS selalu di laksanakan di luar Sulit Air atau di perantauan, kali ini dengan semangat pulang basamo disepakatilah kampung halaman sebagai arena Mukernas. Itu juga tidak lepas dari Ad/Rt SAS yang mengalami revisi, jika selama ini pemilihan ketua umum DPP SAS dilaksanakan 2 tahun sekali, diperpanjang menjadi hanya 4 tahun sekali. Akan tetapi untuk agenda pulang basamo tetap diselenggarakan 2 tahun sekali.

Dalam kesempatan itu bapak Hamdullah Salim sebagai pembicara utama dalam tajuk awal diperingati hari jadi nagari, banyak mengemukakan pemikiran serta nilai-nilai sejarah tentang awal keberadaan nagari Sulit Air. Dengan semangat yang menggebu dan ingatan masa lalu yang masih kuat, beliau  telah mencatat berbagai tanggal yang di anggap merupakan tonggak-tonggak penting dalam sejarah Sulit Air.

Maka itu sebabnya ketika pertanyaan dari Prof Jurnalis Uddin diajukan kembali kepada bapak Sejarahwan nagari Sulit Air yakni Drs. Hamdullah Salim kapan tepatnya pristiwa terpenting nagari, dengan cepat dapat beliau sebutkan satu tanggal yang dapat dipandang sebagai Hari Jadi Sulit Air yakni tanggal 28 April 1821, disertai alasan-alasannya . Keberadaan seorang pakar nagari seperti bapak Hamdullah ini, sangat jarang kita dapati memberikan informasi-informasi berkaitan dengan riwayat nagari padahal umur beliau sudah mendekati uzur.
Bapak Hamdullah (paling kanan berbaju biru) ketika mensurvey pendirian GONTOR tahun 2009
Diwaktu bersamaan beliau juga kemukakan. penting nya melihat berbagai peristiwa penting dalam Sejarah Sulit Air – sepanjang yang dapat beliau telusuri - itu benar ada nya, dapat menjadikan tonggak bersejarah untuk riwayat nagari kedepan. Bapak Hamdullah yang bersuku Simabur dan pernah menjadi pemred Tunas IPPSA tahun 1952, dengan segala upaya dan ingatan yang masih normal tentu tidak asal bicara dan bermain-main dengan sejarah ini.  Dimana secara kronologis ada 12  pristiwa kenagarian yang bisa diangkat sebagai moment penting, lansung saja ulasan beliau sebagai berikut :

1. 25 JULI 1818, hari Sabtu. ( Ekspansi Kunjungan Rafles ).

Letnan Gubernur Jenderal Bengkulu Thomas Stamford Raffles (1781 – 1826) dan rombongan dalam perjalanan pulang dari Saruaso dan Pagar Ruyung (bekas istana kerajaan Minangkabau yang dihancurkan Kaum Paderi pada tahun 1809) sampai di Simawang. Mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811 – 1816) tsb, setelah bersilaturrahmi dengan Tuan Gadih (puteri mahkota Pagarurung), kaum bangsawan yang tersisa serta kaum adat, kini ingin mengadakan pendekatan dengan Kaum Paderi di Sulit Air, dalam rangka melancarkan niat imperialismenya, menyingkirkan Belanda dari Minangkabau. Namun niatnya tsb ditolak oleh Kaum Paderi di Sulit Air. Hal ini disebutkan Rusli Amran dalam bukunya “Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang” antara lain sebagai berikut:

“Di Saruaso itulah Raffles bertemu muka dengan Tuan Gadih yang diperkenalkan oleh kedua orang tadi sebagai ratu. Dari Pagaruyung mereka kembali lagi ke Simawang. Kemudian diputuskan untuk ‘mengirim’ seorang utusan, tetapi tidak seorang pun yang berani. Kemudian diputuskan untuk ‘mengirim’ surat saja. Pada suatu lapangan dipancangkan tiang cukup tinggi dan pada tiang itulah diikatkan surat tadi. Balasan pun diterima, juga dengan cara yang sama. Jawaban orang Paderi singkat saja yakni ‘bersedia hidup damai asal mereka dibantu menyiarkan agama yang benar”.
Thomas Stamford Rafles (penguasa dari Inggris waktu itu)
Sungguh luar biasa, penduduk Sulit Air berani menolak keinginan Raffles, mantan pengusaha tertinggi Inggeris di Jawa, untuk bertemu dengan pimpinan Paderi di Sulit Air, demi membela keyakinan Islamnya! Hal ini akan kita uraikan lebar panjang nanti. Yang penting, peristiwa 25 Juli 1818 yang heroik ini perlu dicatat dengan tinta emas dalam Sejarah Sulit Air.dalam hal ini juga akan ada bab tersendiri, kronologis peristiwa muhibah Rafles ke negeri Minangkbau bermula dari Simawang.

2. 28 APRIL 1821, (Pertempuran Pertama Belanda Terhadap Kaum Paderi)

Ditulis oleh buku-buku sejarah sebagai hari dimulainya Perang Paderi (1821 – 1837). Pada hari itu tentara Belanda mendemonstrasikan kemampuan militernya dengan menggempur Sulit Air, karena penduduknya tidak mau tunduk kepada Pemerintah Belanda walau sudah diancam. Namun tanpa disangka-sangka rakyat Sulit Air memberikan perlawanan sengit selama 1 hari. Penduduk dan pejuang Paderi berhasil mempertahankan Sulit Air dan Belanda terpaksa mundur.
Nagari Simawang strategis di masa penjajahan dahulu nya
Demikian juga waktu menyerang Sipinang (berdasarkan arsip Kielstra dan Lange, 1856). Korban di pihak Belanda cukup tinggi, pada hal di Simawang sudah ditempatkan meriam-meriam. Belanda kemudian menambah balatentaranya dan baru pada ronde kedua, pasukan Paderi berhasil dikalahkan. MengenaI ini juga akan kita uraikan panjang lebar nanti dalam bab tersendiri nanti nya. Dalam hal ini juga menjadi sebab musabab dijadikan waktu & tanggal ini menjadi hari jadi lahir nya nagari Sulit Air. Karena ini adalah salah satu pristiwa yang terpenting, nanti diuraikan dalam tulisan tersendiri dengan dalil dan berita cakupan yang otentik.

3. Tahun 1871 ( Berdirinya Sekolah Rakyat )

Adalah tahun berdirinya Sekolah Guvernemen atau "Gouvernement School" di Koto Tuo Sulit Air. Sekolah ini kemudian berubah nama menjadi Sekolah Rakyat (SR) I, lalu menjadi Sekolah Dasar (SD) IV Koto Tuo. Dan sekarang populer pula sebagai sebagai Sekolah Hibrida karena dijadikan sebagai sekolah dasar percontohan. Tidak lama sesudah berakhirnya Perang Paderi, yang dimulai di Sulit Air tgl 28 April 1821 dan berakhir di Bonjol pada tahun 1837, maka pendidikan cara Barat mulai memasuki Sumatera Barat. Yang ada sebelumnya hanya pendidikan surau, belajar mengaji Al Qur’an. Kebanyakan di antara mereka tahu hurup Arab, namun tidak tahu aksara Latin. Surat ¬menyurat dan naskah-naskah lainnya ditulis dalam hurup Arab ¬Melayu.

Yang diajarkan di sekolah guvernemen tsb adalah menulis, membaca, berhitung, sedikit ilmu bumi. Tahun 1871 ini perlu kita kenang sebagai Tahun Aksara Latin bagi Sulit Air karena merupakan tahun mulai terbukanya mata penduduk Sulit Air melihat hurup Latin, membaca dan menulis. Sudah barangtentu secara berangsur dan perlahan-lahan, sedikit demikian sedikit, mengingat kapasitas sekolah yang ada sangat terbatas. Lagi pula, tujuan Belanda membuka sekolah tsb bukanlah untuk mencerdaskan anak nagari, tapi untuk sekedar dapat membantu administrasi pemerintahan Hindia Belanda.

Kenyataannya sampai tahun 1930, berdasarkan statistik, baru sekitar 10% penduduk Indonesia yang bisa tulis baca hurup Latin. Di dalam buku "Sumatra Barat Plakat Panjang" karangan Rusli Amran, halaman 163, ada disebutkan: "Tiba-tiba dimana-mana bermunculan sekolah-sekolah nagari. Yang telah ditutup dibuka kembali. Semua segera mengajukan permintaan subsidi kepada pemerintah. Antara 1871 dan 1877 dibuka di Sulit Air, Tanjung Balit, Supayang, Talang, Sungai Lasi, Padang Panjang, Matua, Balai Selasa, dan Painan".
Ilustrasi, Sekolah Rakyat pada zaman dahulu
Karena Sulit Air ditempatkan pada urutan pertama, maka saya berkeyakinan "Sekolah Guvernemen Koto Tuo" yang dibangun pada tahun 1871 itu adalah sekolah guvernemen pertama yang dibangun Belanda di Sumatra Barat. Pemuka-pemuka Sulit Air dimasa lalu yang lahir di Sulit Air, termasuk para hartawan, dermawan, cendekiawan dan sarjana, kebanyakan pernah bersekolah di sana. Karena banyak di antara mereka yang cerdas dan memiliki intelegensia yang tinggi, merasa tidak kalah dengan para sarjana, maka mereka membanggakan diri sebagai alumni “Universitas Koto Tuo”!. Maka tahun 1871 tsb perlu kita catat sebagai salahsatu tonggak penting dalam sejarah kebangkitan Sulit Air, perlu diingat dan dikenang oleh generasi masa kini dan masa mendatang, sebagai hari pendidikan atau hari aksara Sulit Air.

Bersambung...

Sumber : Drs. Hamdullah Salim

--- Sekian --