7. 24 APRIL 1957, (Musyawarah Akbar Nagari)
Adalah tanggal dibukanya Konperensi Negeri
Tradisionil V di Sulit Air yang diselenggarakan oleh “Pusat Organisasi
Warganegeri Sulit Air (POWSA) yang berlangsung sampai tanggal 8 Mei
1957. Dimulai tgl 24 Ramadhan 1376 dan baru berakhir pada tgl 4 Syawal
1376. Konperensi tsb dihadiri oleh tokoh- tokoh Sulit Air masa itu dan
ikut memberikan buah pikiran sesuai dengan bidangnya masing-masing,
yakni HZA Ahmad (Pertambangan di Sulit Air); Ramawi Izhar, cucu Ongku
Palo Gaek, Komisaris Dewan Banteng (Mambangkik Batang Tarandam, Menilai
Harta Terpendam); Rasyidin Rasyad Ms (Meninjau Sulit Air Masa Kini dan
Masa Datang); IAL Dt. Nan Sati (Badan Pembangunan Negeri Sulit Air);
Mawardy Djalins (Neraca Pelajar Sulit Air Tahun 1957); Djamaluddin
Tambam (Tinjauan Kemakmuran Sulit Air di Masa Datang); Kahar Thaher
(Koperasi Pertanian Cengkeh); M. Salim Amany (Pendidikan Agama di Sulit
Air), Adat, pendidikan & beasiswa, AD/ART POWSA, diakhiri Shalat
Idul Fitri, pertandingan sepakbola di Lapangan Koto Tuo, Malam Gembira
dan Resepsi Halal bi Halal bi Halal.
Dalam suratkabat
Haluan, Padang, tgl 9/5/1957, saya baca berita berjudul “Sulit Air
Bentuk Yayasan Pencinta Negara, Perluas Pintu Perkawinan Dengan Menambah
Suku”. Diberitakan, dalam konperensi yang dihadiri Bupati Solok Nurdin
Dt. Majo Sati itu, diputuskan untuk mencari kemungkinan pembukaan
tambang Timbulun diserahkan kepada Yayasan Pencinta Negara yang
diketuai HZA Ahmad, memperluas pintu perkawinan dengan menambah jumlah
suku di Sulit Air menjadi 15 suku, yang diharapkan segera dapat
diputuskan oleh Kerapatan Adat Sulit Air. Dibentuk “Pusat Organisasi
Sulit Air” (POWSA) di Jakarta dg Ketum HZA Ahmad, Ketua I M. Jusuf
Ahmad, Ketua II Wali Nagari Salim Thaib, Panitera I AA Dt. Pamuncak,
Panitera II A. Dt. Sutan Malano, Bendahara I Djamaluddin Tambam dan
Bendahara II Darusalam Dt. Samarajo. Pembantu Umum Dali Mutiara dan
Nurdin Dt. Majo Sati dan 5 orang penasehat (Mr. Dt. Jamin, Adinegoro,
Riva’i Yunus, Camat X Koto Diatas dan Rohana Djamil).
Program
pembangunan ekonomi rakyat akan diserahkan kepada suatu Panitia Khusus.
Rohana Djamil ZA Ahmad dalam tulisannya berjudul “Pembangunan Negeri
Yang Sambung Bersambung” mengatakan:
“Konperensi Tradisional V
telah menelorkan suatu hasil yang besar, ialah berdirinya suatu
organisasi yang besar, yang meliputi seluruh warga negeri , baik yang di
rantau maupun yang dikampung. Organisasi itu bernama POWSA, singkatan
Persatuan Organisasi2 dan Warga Negeri Sulit Air. Konperensi ini telah
mengambil langkah2 penting di dalam segala kebutuhan hidup dan
penghidupan, meliputi 7 bidang, yakni Pemerintahan, Pembangunan,
Ekonomi, Pendidikan dan Agama, Adat, Sosial dan Keamanan dan Umum”.
Selanjutnya disebutkan rincian ketujuh bidang tsb. Kita patut
mencatat konperensi ini sebagai salahsatu peristiwa penting dan besar
dalam Sejarah Sulit Air. Inilah buat pertama kalinya masyarakat Sulit
Air mengadakan suatu pertemuan besar yang disebut konperensi, dengan
susunan acara, tempat, waktu dan pembicara yang demikian tertib dan
teratur, bagai layaknya organisasi modern. Hebatnya lagi, kebanyakan
pembicara telah menyerahkan bahan2 tertulis hingga semua terdokumentir
dengan baik dan dibukukan dengan cetakan yang bagus. Dalam buku itu
terdapat berbagai iklan perusahaan-perusahaan warga Sulit Air dan Ucapan
Selamat Idul Fitri dari berbagai perusahaan milik warga Sulit Air pada
masa itu.
Saya pandang buku ini mencatat suatu peristiwa yang bernilai
historis. Yang mungkin tidak terkalahkan oleh organisasi manapun pada
masa sekarang ini, konperensi itu berlangsung selama 8 hari, siang dari
pukul 09.30 s/d 14.00 dan malam pukul 21,00 s/d 24.00 (sesudah shalat
Tarawih), maklum diadakan dalam suasana puasa dan lebaran. Konperensi
tsb disebut sebagai yang ke-5, karena konperensi-konperensi sebelumnya,
yakni yang ke- 1 s/d ke-4, yang berlangsung sejak tahun 1935 (kecuali
Masa Jepang dan Revolusi Fisik), hanya berupa rapat-rapat biasa atau
musyawarah-ceramah dagang, yang dikoordinir oleh Alwin Dt. Sutan Malano
bersama Wali Nagari Sulit Air, pada setiap bulan puasa, belum tertib
dan belum terorganisir secara baik. Maka penyelenggaraan konperensi tsb
merupakan lompatan kemajuan dan salahsatu tonggak perjalanan sejarah
Sulit Air yang perlu diketahui dan diwarisi semangatnya oleh generasi
muda Sulit Air.
8. 17 Agustus 1971, (Menjadi Nagari Terbaik).
Atraksi Seni dalam acara pembukaan MTQ se-Kab Solok di Lap Koto Tuo |
Menteri Dalam Negeri Amir
Machmud menetapkan Sulit Air sebagai desa terbaik Sumatera Barat 1971,
baik untuk tingkat Kabupaten Solok maupun untuk tingkat Provinsi
Sumatera Barat. Ada 620 desa di Sumatera Barat yang diperlombakan,
meliputi rencana dan pelaksanaan proyek pembangunan, jalannya
pemerintahan, administrasi, kesehatan, pertanian, agama, pendidikan,
keamanan dan lain-lain. Sebagai juara pertama, pemerintah memberi hadiah
sebesar Rp 590.000,- kepada Sulit Air . Uang sebesar itu oleh Wali
Nagari Nasrullah Salim Dt. Polong Kayo SH dengan persetujuan DPRN Sulit
Air digunakan untuk pembuatan irigasi Rambun Gando (Rp 100.000,-),
penyelesaian Kantor Wali Nagari Sulit Air (Rp 190.000,-) dan pembuatan
jalan Sulit Air – Talawi (Rp 300.000,-).
Tanggal 17 Agustus 1971
ini pun layak kita catat sebagai salahsatu tonggak penting dalan sejarah
Sulit Air. Solok dan Payakumbuh merujuk hari jadinya dari tanggal dan
tahun SK Mendagri Amir Machmud yang meningkatkan status kedua kota itu
menjadi kotamadya. Maka Sulit Air pun dapat menjadikan tanggal dan
tahun SK Mendagri Amir Machmud yang menetapkan Sulit Air sebagai desa
terbaik di Sumatera Barat yakni tanggal 17 Agustus 1971 sebagai Hari
Jadi Sulit Air, jika kita mau. Tujuannya untuk membangkitkan semangat
juang anak nagari dengan mengabadikan suatu kenangan atas prestasi yang
pernah dicapai untuk dapat terjadi lagi, yakni sebagai nagari terbaik
di Sumatera Barat.
9. 7 Desember 1972, (SAS & KAN Polemik Pernikahan Satu Suku)
Musyawarah para Datuk-Datuk melengkapi peradaban Nagari |
Adalah tanggal
ditetapkannya Keputusan “Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sulit Air” tentang
Perluasan Pintu Perkawinan bagi Warga Sulit Air. Keputusan tsb diambil
sebagai jawaban KAN Sulit Air atas prasaran “Perbanyakan Suku, Suatu
Partisipasi Adat Dalam Pembinaan Orde Pembangunan di Sulit Air”, yang
disampaikan oleh Team Ketua DPP SAS (Rozali Usman, Kaharuddin Saleh
Bujang Sati, H. Ny. Rosma Rais dan H. Djamaluddin Tambam) yang
disampaikan dalam Sidang Istimewa KAN Sulit Air tanggal 7 September
1072. Dalam sidang istimewa tsb, DPP SAS pada pokoknya minta kepada KAN
Sulit Air, agar 4 suku di Sulit Air (Limo Panjang, Limo Singkek, Simabur
dan Piliang) diperluas (dimekarkan) menjadi 15 suku, sesuai dengan
jumlah datuk (penghulu) nyinyiek di Sulit Air.
Alasan permintaan tsb
banyak sekali. Namun yang terpenting adalah dengan diperbanyaknya suku,
maka pernikahan antara sesama warga Sulit Air akan semakin terbuka luas,
disebabkan banyaknya pilihan jodoh. Dari 3 anggota suku yang dapat
dikawini menjadi 14 anggota suku (yakni orang-orang di luar suku
sendiri). KAN diberi waktu 3 bulan untuk membahas dan memutuskan
permintaan DPP SAS itu. Dalam waktu selama 3 bulan itu, timbullah
kehebohan dan kegaduhan yang luar biasa dalam masyarakat Sulit Air. Ini
tergambar dari pemberitaan Suara SAS No. 04/1972 antara lain sebagai
berikut: “Di berbagai tempat perdebatan tsb telah berlangsung
sedemikian rupa, hingga dapat menimbulkan terundangnya ketegangan2 dan
ucapan2 yang bersifat negatif, perkataan2 yang berbau fitnah serta isyu2
yang tidak sedap. Lebih2 di Sulit Air sendiri , suhu perdebatan telah
berada pada tingkat yang demikian panas.
Dari kalangan mereka yang
beroposisi dengan DPP SAS telah dimuntahkan ucapan2 yang ‘over
emotional’ bahwa bila suku diperbanyak akan berhenti menjadi penghulu,
akan merombak rumahgadang, bahkan ada yang akan membakarnya, malah ada
yang akan bergantung di Pangka Titi. Sebaliknya dari kalangan yang
membela prasaran DPP SAS, hampir pula ada yang akan melakukan
penempelengan dan pengejaran terhadap oknum2 yang sudah terlalu ‘over
acting’ dalam mencuci maki prasaran”. Dalam suasana perbedaan
pendapat pro-kontra yang demikian tajam dan perdebatan yang demikian
lama serta berlarut-larut memakan waktu 3 bulan, akhirnya dapat dipahami
lahirnya Keputusan 7 Desember 1972 yang kompromistis namun aneh dan
membingungkan. Butir ke-2 keputusan tsb menyebutkan :
membolehkan/membenarkan perkawinan antara warga Sulit Air yang berlainan
Datuk Ninik dalam persukuannya secara adat di perantauan dan tidak akan
dituntut secara adat.
Keputusan tsb ditetapkan oleh 17
anggota perumus atas penunjukan KAN, yakni AB Dt. Bagindo Rajo, NS Dt.
Polong Kayo, MY Dt. Endah Bongsu, R. Dt. Tan Aceh, R, Dt. Rajo Putih,
Sy. Dt. Rajo Alam, Is. Dt. Malakomo, H. Dt. Majo Bosa, Y. Dt. Permato
Kayo, Y. Dt. Perhimpunan, Z. Dt. Paduko Rajo Lelo, K. Malin Marajo,
Darwis Damin, M. Tamim, Zainuddin Rasyad, Tamim Pakih Mudo, dan
Nadirsyah. Keputusan ini oleh sebagian masyarakat dirasakan aneh,
diskriminatif dan tidak adil, karena Kerapatan Adat Nagari
memperbolehkan warganya kawin dengan orang yang satu suku dengan ybs
tapi hanya bagi warga perantauan.
Walau dengan embel-embel
berlainan datuk ninik, tetap saja disebut kawin se-suku, yang
bertentangan dengan pilar utama adat Minangkabau. Dalam adat Minang,
kawin harus ke luar suku (exogami), tidak boleh dengan orang-orang yang
satu suku (endogami). Kalau penduduk suatu negeri sudah semakin banyak,
maka adat memperbolehkan suku itu ditambah atau dimekarkan, sesuai
dengan musyawarah dan hasil kesepakatan para penghulu di dalam kerapatan
adat. Banyak negeri di luar Sulit Air, yang jauh lebih kecil
penduduknya dibandingkan Sulit Air, yang pada masa itu mempunyai lebih
dari 4 suku, seperti Cupak, Pianggu dan Koto Hilalang (5 suku);
Singkarak, Enam Suku dan Tarung-tarung (6 suku); Selayo (7 suku) dan
seterusnya. Mengingat demikian banyaknya penduduk Sulit Air, maka wajar
sekali bila Sulit Air memiliki 15 suku. Apalagi menurut tambo, Sulit Air
itu dulu memang pernah memiliki 15 suku, sesuai dengan jumlah 15
kelompok orang satu Datuk Ninik yang terdapat dalam masyarakat Sulit
Air, sampai sekarang.
Mengapa bukan solusi 15 suku itu yang
diambil? Bukankah hal itu sudah diputuskan dalam Konperensi Tradisionil V
Tahun 1957, seperti dapat dibaca dan dijadikan kepala berita oleh
suratkabar HaLuan, Padang, tanggal 9 Mei 1957, seperti telah diungkap
pada butir 4 di atas? Bahkan sepanjang penelusuran saya, keinginan
seperti itu sudah pernah dikemukakan oleh ahli adat Jausa Dt. Majo
Bongsu pada rapat-rapat tradisionil bulan puasa di tahun 1935 di Sulit
Air, yang kemudian dipopulerkan sebagai Konperensi Tradisionil Sulit Air
ke- I. Dengan adanya Keputusan KAN 7 Desember 1972, maka sejarah
berjalan mundur, pola 4 suku tetap dipertahankan, hanya diperbolehkan
perkawinan antara orang-orang yang berlainan datuk ninik walau satu
suku, tapi harus dilaksanakan di perantauan.
Apa sebab DPP SAS dengan
berat hati menerima juga keputusan itu, bahkan merayakannya secara
besar-besaran dengan memotong sapi, pesta anak nagari menyantap gulai
jawi di Balairungsari dan Medan Nan Bapaneh Balai Lamo? Karena ada dua
butir keputusan tsb yang memberi peluang perbanyakan suku tsb akan
dapat diwujudkan juga nanti: Pertama, pada konsiderans Keputusan
KAN 7 Desember 1972 tsb ada disebutkan bahwa untuk membuat suku baru
diperlukan alat perlengkapan suatu suku (seperti urang nan 4 jinih)
yang memerlukan persyaratan adat tertentu, waktu yang lama dan biaya
yang tidak sedikit. Dan pada butir ke- 2 disebutkan bahwa belum
sependapat dengan perbanyakan suku atau penambahan suku sebagai usaha
perluasan pintu perkawinan secara adat. Dan pada butir ke- 3 ditegaskan
bahwa warga Sulit Air yang tinggal di kampung (Sulit Air) bila
menghendaki pula perkawinan serupa itu, akan dibicarakan lebih mendalam
dalam Kerapatan Adat Negeri Sulit Air.
SAS dalam perjalanan waktu memeberikan pembangunan yang nyata untuk nagari |
Maka DPP SAS mencoba
menghibur diri dengan menyebut Keputusan KAN 7 Desember 1972 yang telah
banyak menguras pikiran, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar ( 3
bulan masa persidangan) sebagai suatu lompatan yang amat penting dalam
sejarah Sulit Air. Suatu masa transisi dari pola 4 suku menjadi pola 15
suku. Hingga perlu berjuang terus sampai pola 15 suku tsb dapat segera
terwujud dalam masyarakat adat Sulit Air. Terutama dengan maksud mulia
untuk memperluas pintu perkawinan bagi putera-puteri Sulit Air. Namun
kenyataan tidak seindah impian dan harapan. Sejarah Sulit Air kemudian
berbicara lain. Walau pengurus KAN Sulit Air, demikian juga DPP SAS,
sudah silih berganti naik ke panggung Sejarah Sulit Air, pola 4 suku
tetap berlaku dan pola 15 suku tak pernah terwujud sampai sekarang.
Tak pernah pula kita dengar, orang melaksanakan pernikahan antar datuk
ninik sepersukuan di perantauan dengan merujuk atau memanfaatkan
Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb secara formal. Sebabnya, orang merasa
perkawinan dengan cara demikian itu masih tetap disebut orang sebagai
kawin sesuku, karena sukunya sama. Yang sering terjadi, keinginan
orangtua untuk mengawinkan putera-puterinya dengan sesama warga Sulit
Air terpaksa tidak dapat diteruskan, karena keduanya berasal dari suku
yang sama. Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb sering pula disebut orang
sebagai keputusan yang banci, karena kalau dilaksanakan, pelakunya bila
lelaki akan menjadi ninik-mamak, namun sekaligus juga menjadi urang
sumando di dalam persukuannya, yang bisa jadi olok-olok dalam masyarakat
Sulit Air. Kecuali bisa sukunya sudah dimekarkan dan dibuat suku-suku
baru berdasarkan keputusan KAN, ini dapat dibenarkan oleh adat Minang,
maka tidak dapat lagi disebut kawin sesuku.
Keputusan 7 Desember
1972, yang menyebutkan belum sependapat dengan perbanyakan suku karena
hal tsb memerlukan persyaratan tertentu, waktu yang lama dan biaya yang
tidak sedikit. Artinya, KAN Sulit Air bukan tidak setuju dengan
perbanyakan suku, tapi belum waktunya! Adalah menarik untuk mengetahui
apa yang terjadi di Sulit Air dua tahun setelah Keputusan KAN 7 Desember
1972 tsb dikeluarkan. Warta berita yang ditulis oleh wali nagari Sulit
Air sendiri di dalam majalah “Suara SAS” no.2 Tahun 1975, halaman
19-20, bercerita sebagai berikut: “ Sejak tahun 1974 sampai kini
(1975) tercatat perbuatan maksiat (zina) sebanyak 8 kali. Perbuatan ini
dilakukan antara mamak dengan kemenakan, mertua dengan menantu,
orang-orang satu persukuan, adik dengan ipar, dan lain-lain. Semua
pelakunya, begitu diketahui umum, pergi beterbangan menuju perantauan,
hingga sangat menyulitkan di dalam penyelesaiannya. Sejauh penelitian
yang diadakan, sebab-sebab terjadinya perbuatan terkutuk itu, tidak ada
sangkut-pautnya dengan tekanan ekonomi seperti halnya di kota-kota.
Tapi lebih banyak karena dorongan kebutuhan sexual (kebutuhan alamiah)
yang tidak dapat mereka kekang. Hampir pada setiap kesempatan,
Pemerintahan Nagari telah berulang kali meminta perhatian bersama akan
banyaknya ‘janda balaki’ (isteri-isteri yang ditinggalkan suaminya pergi
merantau bertahun-tahun) di Sulit Air, begitu juga gadis-gadis berumur
yang sudah waktunya untuk kawin”.
Karena dalam berita itu jelas
disebut bahwa pelaku perbuatan-perbuatan maksiat (zina) tsb adalah
mamak dengan kemenakan, orang-orang sepersukuan, di samping adik dengan
ipar, maka penyelesaiannya menjadi amat sulit , bila sebagai solusinya
mereka harus dinikahkan. Bagaimana akan menikahkannya, keduanya sesuku,
yang terlarang sekali menurut adat, apalagi ini terjadi di Sulit Air.
Maka sesuai dengan butir ke-3 Keputusan KAN 7 Desember 1972 tsb, KAN
Sulit Air seharusnya segera mengadakan Sidang Istimewa untuk
meninjaklanjuti keputusan tsb. Solusi yang paling tepat untuk berbagai
kasus maksiat tsb, tiada jalan lain kecuali perbanyakan suku, sesuai
dengan prasaran DPP SAS tsb. Namun hal yang ditunggu-tunggu tsb tidak
kunjung dan tidak pernah terjadi.
Sekarang sudah tahun 2015,
berarti sejak tahun 1972, sudah 43 tahun! Bila dihitung sejak tahun
1935, sejak pertama kali gagasan itu dicetuskan oleh ahli adat Jausa Dt.
Majo Bongsu, berarti sudah 80 tahun! Masih kurang jugakah kasus-kasus
maksiat dan waktu untuk menyatakan SUDAH sependapat dengan perbanyakan
suku, syarat-syarat apa lagi yang diperlukan? Keadaan masyarakat Sulit
Air sekarang sudah seperti tahun 1970-an tsb. Lihat saja facebook di
internet pada komputer kita masing-masing, ramai dan heboh anak-anak
muda kita warga Sulit Air membicarakan kasus-kasus maksiat dan perihal
kawin sesuku tsb. Banyak di antara mereka yang tidak memahami akar
permasalahan sesungguhnya, hingga debat berubah menjadi pro adat dan pro
syari’at Islam. Dua hal yang sebenarnya tidak perlu dipertentangkan,
bila mereka memahami akar dan pokok permasalahan sebenarnya!
Maka
bagi saya Keputusan KAN 7 Desember 1972 ini menjadi salahsatu peristiwa
penting dan menghebohkan dalam sejarah Sulit Air yang tidak kunjung juga
mendapat solusi dari KAN Sulit Air sampai sekarang. Dia telah menjadi
hutang dan beban sejarah bagi KAN Sulit Air secara kelembagaan untuk
menuntaskannya. Keputusan KAN tentang dibenarkannya perkawinan antara
orang berbeda datuk ninik di dalam persukuannya, tidak satu kali pun
terjadi, setidaknya secara formal keadatan sampai sekarang. Artinya
keputusan itu tak ada gunanya, telah gagal dalam pelaksanaannya!
Risikonya, keputusan tsb sesuai dengan salahsatu bunyi fasalnya, harus
ditindaklanjuti atau disempurnakan dengan keputusan yang sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan masa sekarang. Apalagi pada masa-masa sesudah
keluarnya keputusan tsb, seperti diungkapkan di atas, semakin banyak
terjadi kasus kemaksiatan. Semakin kerap kedengaran orang melakukan
perkawinan sesuku, tanpa sanksi apapun dari KAN Sulit Air dan masalah
kawin sesuku kembali marak dibicarakan oleh generasi muda Sulit Air
sekarang.
Masjid Raya bukti fisik sumbangsih perantau untuk nagari |
Selain prasaran, program pembangunan Rumah Sakit Balik
Parit dengan sponsor Jamaluddin Tambam pada tahun 1975, pembangunan
kembali Mesjid Raya Sulit Air dengan sponsor Yayasan Rozali Usman-Rais
Taim (RORA), yang diresmikan oleh Gubernur Sumbar Prof. Drs. Harun Zein
pada tgl 26 Februari 1976 (dan beliau nyatakan sebagai mesjid termodern
di Sumatra Barat), dan pembangunan lain-lain adalah merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan dengan prasaran perbanyakan suku itu. DPP
SAS masa itu menjadikan Persatuan, Pembaharuan, dan Pembangunan sebagai
Trilogi Perjuangan-nya. Pembangunan tidak mungkin dapat dilaksanakan
dengan baik tanpa Pembaharuan dalam arti menyeluruh. Pembaharuan tidak
pula dapat diwujudkan dengan baik tanpa Persatuan segenap potensi
masyarakat Sulit Air. Maka tgl 7 September 1972 dan berpuncak pada tgl 7
September 1972, patut ditulis sebagai peristiwa penting dalam sejarah
Sulit Air dimana DPP SAS mencoba mewujudkan “Trilogi Perjuanghan SAS”
tsb.
(Bersambung)
Sumber: Drs. Hamdullah Salim
--- Sekian ---